Lain Ucapan Lain Kenyataan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam wawancara dengan sebuah stasiun radio di Jakarta, seorang
pengamat menyatakan pemilu akan berjalan pada waktunya, namun hasilnya tidak
optimal. Keadaan tidak optimal itu menurutnya: memang para pemilih akan memilih
berdasarkan hati nurani, namun tidak tahu akibat-akibatnya. Menurut
pendapatnya, akibat paling fatal adalah rakyat tetap memilih mereka yang
menginginkan liberalisme politik. Mereka itu adalah orang yang ingin
menerapkan kapitalisme sebagai sistem dalam perekonomian negeri kita. Hal
inilah yang sebenarnya harus dilawan, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
Padahal kapitalisme internasional itu akan menghapuskan kemerdekaan ekonomi dan
selanjutnya kemerdekaan politik dan kemerdekaan budaya bangsa kita. Ini adalah
apa yang ditolak oleh para pendiri negara kita. Ironis juga, bukan?
Marilah kita lihat dalam tulisan ini, benarkah anggapan tersebut?
pertama-tama, para pemilih “tidak mengerti” pilihan mereka, sehingga mereka
akan memilih para pemimpin yang membawa kita kepada liberalisme politik yang
memiliki ciri khas dalam bentuk durasi (lamanya) memerintah sesuai dengan
kemampuan pihak eksekutif “memelihara kekuatan” di parlemen. Ini justru
merupakan sistem pemerintahan parlementer, yang dikenal oleh paham liberalisme.
Sistem politik inilah yang justru ditolak oleh Bung Karno melalui Dekrit 5 Juli
1959 yang intinya kembali kepada UUD 1945, ketentuan utamanya adalah kembali ke
pemerintahan eksekutif yang dipilih lima tahun sekali.
Dengan demikian, mungkinkah lahir kembali liberalisme politik yang
ditakutkan itu? Kalau liberalisme politik tidak akan kembali, jawaban atas
pertanyaan kedua juga dapat diperoleh dengan mudah. Pertanyaannya, mungkinkah
liberalisme ekonomi akan kembali menguasai kita sepenuhnya? Jawabannya, tidak
mungkin dalam bentuk sepenuhnya.
Upaya divestasi perusahaan-perusahaan negara diberbagai sektor
yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, tidak memungkinkan hal itu
dilakukan tanpa perlawanan. Upaya mengambil alih kembali indosat dan air minum,
jelas akan merupakan sesuatu yang serius dan berkelanjutan. Ini berarti
pemerintah akan meminta pihak Singtel, yang mewakili pemerintah Singapura dalam
pembelian Indosat, harus menjual kembali perusahaan tersebut kepada pemerintah negeri
ini, dengan harga yang semula di peroleh dari divestasi tersebut.
Begitu juga perusahaan air minum (PAM), yang menyangkut kebutuhan
orang miskin atas “kebutuhan pokok” itu, akan dikelola kembali oleh pemerintah.
Dengan demikian, langkah-langkah efisiensi yang dilakukan, tidak dapat
menghilangkan kehidupan pokok dari bangsa kita, berarti
pertimbangan-pertimbangan yang dipakai tidak hanya melulu bersifat mencari
keuntungan finansial (Profit motive). Tentu saja, ada hal-hal pokok yang
berdasarkan Undang-Undang Dasar yang kita miliki, harus tetap berada ditangan
pemerintah kepemilikannya arahnya, adalah untuk menjadi penyangga agar tidak
terjadi kenaikan harga/biaya, jika segala-galanya diserahkan kepada pihak
swasta. Tentu saja, persaingan bebas diantara perusahaan-perusahaan yang ada,
harus dijaga, jangan sampai perusahaan negara tidak mengikuti persaingan itu.
Jika ada yang sangsi akan hal ini, patutlah mereka melihat kepada efisiensi
yang ditujukan oleh perusahaan-perusahaan negara yang menguasai perekonomian
Singapura.
Prinsip mengikuti persaingan-persaingan bebas di lingkungan dunia
usaha itu, harus juga diikuti oleh dua buah prinsip lain, yaitu prinsip
mendasarkan keputusan-keputusan yang diambil dalam dunia usaha, pada upaya
efisiensi yang rasional. Tanpa efisiensi seperti ini, tidak mungkin dilakukan
persaingan bebas yang wajar-wajar saja. Efisiensi seperti itu memerlukan
kejelian yang ada dalam percaturan dunia usaha, dan inilah yang seharusnya
menjadi dasar perhitungan kita yang akan mempertahankan agar biaya yang harus
dikeluarkan menjadi semurah mungkin. Antara persaingan bebas dan efisiensi
rasional, memang ada hubungan simbiosis yang tidak dapat (dan seharusnya jangan
sampai) memikirkan para pengelola perekonomian bangsa kita dikemudian hari dari
kapitalisme. Hal inilah yang harus kita ambil, untuk menjaga jangan sampai
perekonomian kita “salah jalan”.
Baik persaingan bebas maupun pelaksanaan efisiensi rasional,
mengharuskan adanya prinsip ketiga, yaitu keharusan untuk tetap berada dalam lingkup
dan kerangka perdagangan Internasional yang bebas (International Free Trade
Frame Work). Kita harus menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (WTO)
World Trade Organization, umpamanya. Kita diminta untuk menggunakan WTO sebagai
“alat pengimbang” dalam perdagangan antar negara. Malaysia berhasil meminta WTO
mengijinkan penundaan berlakunya persaingan harga antara mobil-mobil produksi,
seperti Proton, karena ia belum siap untuk langsung bersaing dengan mobil-mobil
impor dari negara-negara lain. Hal ini diijinkan oleh WTO, untuk memberikan
perlindungan kepada mobil-mobil Proton buatan Malaysia, untuk memungkinkannya
mempunyai Pangsa tertentu dalam industri permobilan.
Hal ini berbeda, umpamanya, dengan dana moneter International
(IMF) International monetary Fund); Malaysia keluar dari keanggotaan IMF, untuk
melindungi perekonomiannya dari pengawasan terlalu ketat oleh organisasi
tersebut, tidak seperti perekonomian kita yang dikuasai oleh surat ketentuan
dengan IMF (Letter of Intention) yang kita capai dengan organisasi
tersebut. kita harus berani menentukan politik perekonomian kita sendiri,
terlepas dari keinginan IMF. Tetapi untuk itu kita juga tidak perlu harus
keluar dari keanggotannya, seperti lakukan Malaysia. Paul Krugman, seorang
ekonom AS, menyatakan kepada penulis, bahwa ia menganjurkan Malaysia keluar
dari IMF karena negeri itu memiliki birokrasi yang kecil dan bersih. Sedangkan
negeri anda katanya. Sedangkan negeri Anda katanya memiliki birokrasi yang
terlalu besar dan kotor.
Saat ini kita seharusnya sudah besipa-siap menhadapi era
persaingan bebas antar negara, demi untuk tetap menjaga agar perekonomian
nasional kita dapat bersaing dipasaran dunia. Ini adalah akibat langsung dari
perekonomian subsitusi untuk keperluan eksport-import yang kita anut selama
ini. Ekonomi substitutif seperti ini, membawakan keharusan-keharusannya sendiri
untuk menjaga pangsa pasar yang Bo eke, dalam artian perekonomian usaha-usaha
bebas bersaing, yang mengharusakn pembukuan rapi dan pajak yang nyata, harus didampingi
oleh sector informal yang tidak mengenakan tarif pajak, melainkan mengharuskan
para pengusaha untuk membayar retribusi tiap hari. Bagi sector ini, untuk dapat
tumbuh dan menjadi besar, haruslah ada dukungan ekonomi mewah. Menurut
pandangan Hernando de soto dalam “ Mystery of capital”, dua buah negara tidak
dapat menaikkan pajak-pajak, karena hal itu tentu berjalan seiring dengan pada
kepemilikan tanah yang ada didalamnya, bahkan usaha-usaha untuk menaikkan
kredit investasi yang sangat murah guna menutupi kekurangan modal usaha dengan
jalan memberikan kredit sangat murah, harus diterima sebagai
“keharusan-keharusan” memberikan kredit sangat murah untuk jangka panjang bagi
mereka.
Bermainnya alat ekonomi seperti pemberian kredit murah berjangka
panjang tentu mempunyai perbedaan dengan persaingan bebas, dimana pemerintah
tidak ikut campur tetapi bukankah ini merupakan sesuatu yang penting, bagi
kebangkitan perekonomian kita dimasa yang akan datang? Tentu saja
policy/kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan rasa memberdayakan manusia
dan yang terhemmpas persoalan romusha dan sebagainya, berusaha untuk
menunggu penulis bagi tiap-tiap masalah. Ini tentu tidak sehat, karena itu,
penulis mengusulkan konsep pendekatan ganda terhadap perekonomian nasional tersebut.
di satu pihak ada ekonomi formal yang tunduk pada perdagangan Internasional
yang sangat kompetentif itu dipihak lain, pemerintah harus mengembangkan UKM
(Usaha Kecil dan Menengah) untuk membesarkannya melalui pemberian kredit murah
inilah hakekat ekonomi kita yang sekarang ini berada dalam krisis, yang
sekaligus mengundang kita untuk menyusun kebijakan baru dalam memajukan
perekonomian nasional namun, ini mudah dikatakan, namun sulit sekali untuk
dilaksanakan, bukan? []
Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar