Keistimewaan Umat Nabi
Muhammad Dibanding Umat Terdahulu
Dicintai dan dimuliakannya Rasulullah
Muhammad ﷺ oleh Allah berdampak
pada ikut dimuliakannya umat beliau. Dalam syariat Islam banyak ajaran yang
menunjukkan betapa Allah begitu memuliakan umat ini dibanding dengan umat-umat
sebelumnya, termasuk Bani Israil.
Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki di dalam
kitabnya Syaraful Ummah Al-Muhammadiyyah menuturkan berbagai kemulian
yang diberikan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad di mana kemuliaan-kemuliaan
itu tidak diberikan kepada umat Bani Israil.
Di antara perlakuan Allah yang
mengistimewakan umat akhir zaman ini adalah:
Pertama, bila pakaian seorang
Bani Israil terkena najis maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk
mensucikan kembali pakaian tersebut adalah dengan memotong bagian yang terkena
najis. Bahkan menurut sebagaian ulama bahwa bila anggota badan seorang Bani
Israil terkena najis maka ia mesti memotong bagian anggota badan yang terkena
najis tersebut untuk mensucikannya.
Imam Abu Dawud meriwayatkan:
كَانُوا
إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَوْلُ قَطَعُوا مَا أَصَابَهُ الْبَوْلُ مِنْهُمْ
Artinya: “Adalah Bani Israil bila mereka
terkena air kencing maka mereka memotong apa yang terkena air kencing itu.”
(Abu Dawud As-Sijistani, Sunan Abi Dâwûd [Beirut: Muassasah Ar-Rayan],
1998, juz I, hal. 159)
Ini berbeda dari umat Nabi Muhammad di mana
untuk mensucikan apa saja yang terkena najis Allah memerintahkan pensuciannya
cukup dengan air dan dengan debu untuk najis tertentu.
Kedua, bila seorang
perempuan Bani Israil sedang mengalami haid atau menstruasi maka ia akan
ditinggal sendirian di rumah. Mereka tidak diperbolehkan berhubungan, tinggal,
dan makan bersamanya
Berbeda dari umat Nabi Muhammad yang
diperbolehkan bergaul, makan bersama, tinggal serumah, dan juga tidur sekasur
dengan istri yang sedang haid. Hanya saja mereka tidak diperbolehkan
berhubungan intim dengannya.
Ketiga, ketika seorang Bani
Israil melakukan tindak pidana pembunuhan maka satu-satunya hukuman yang
diterapkan baginya adalah hukuman mati, baik pembunuhan yang dilakukan itu
berupa pembunuhan yang disengaja ataupun pembunuhan yang tidak disengaja. Di
dalam hukum Bani Israil juga tidak diberlakukan diyat dalam kasus pembunuhan
ataupun pencederaan terhadap anggota badan.
Berbeda dari umat Rasulullah Muhammad ﷺ di mana Allah
memberikan keringanan bagi umat ini dalam hal pembunuhan. Dalam syari’at Islam
diberlakukan diyat sebagai pengganti qishash apabila keluarga orang yang
dibunuh memberika maaf bagi orang yang membunuh.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah di
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ
بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ
مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah
diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan
dengan perempuan. Maka barang siapa yang mendapat suatu permaafan dari
saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kalian dan suatu rahmat.”
Keempat, ketika Bani Israil
melakukan kesalahan berupa penyembahan terhadap sapi maka satu-satunya jalan
untuk bertaubat adalah dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Orang yang
menyembah sapi menyerahkan diri kepada orang yang tak menyembahnya untuk
dibunuh. Dengan jalan seperti itu Bani Israil melakukan pertaubatan.
Tidak hanya itu. Ketika mereka melakukan
sejumlah tindakan dosa tertentu pun cara taubatnya dengan memotong anggota
badan yang melakukan kesalahan tersebut. Lidah harus dipotong ketika mengucapkan
kebohongan, kemaluan mesti dipotong manakala melakukan perzinahan, dan biji
mata dicukil ketika melihat perempuan yang bukan mahramnya.
Berbeda dari umat Nabi Muhammad, di mana
Allah memberikan jalan yang mudah bagi mereka untuk melakukan pertaubatan atas
dosa-dosa yang dilakukan. Bahkan Allah mengabarkan bahwa Ia akan menerima
taubat dan memaafkan setiap kesalahan.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 110:
وَمَنْ
يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ
اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Barang siapa yang melakukan
kejelekan atau berbuat aniaya pada diri sendiri kemudian ia meminta ampun
kepada Allah maka ia akan mendapati Allah sebagai Tuhan yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Kelima, bila salah seorang
Bani Israil melakukan satu perbuatan dosa atau kemaksiatan maka di pagi hari
akan ia temui di pintu rumahnya satu tulisan “Si Fulan telah melakukan
perbuatan dosa ini dan itu. Sebagai tebusannya adalah ini dan itu.” Tulisan ini
dapat dibaca oleh siapapun secara umum.
Sedangkan umat Nabi Muhammad selalu
ditutup-tutupi oleh Allah manakala melakukan perbuatan dosa. Allah tidak
membuka dan mengumbar kesalahan mereka kepada orang lain. Ia selalu menutup
rapat kesalahan tersebut hingga terkadang justru pelakunya sendiri yang membuka
aib dirinya.
Keenam, Allah tetap akan
menyiksa Bani Israil yang melakukan perbuatan salah meskipun itu hanya
merupakan kata hati mereka dan tidak dilakukan oleh anggota badannya. Dahulu
mereka pernah mendatangi para nabi dan rasul yang diutus kepada mereka. Kepada
para nabi dan utusan itu mereka memprotes atas syari’at yang tetap akan
menyiksa mereka atas apa yang dibatinkan oleh hati mereka meskipun tidak sampai
dilakukan oleh anggota badan. Maka mereka mengkufuri syari’at tersebut dengan
mengatakan sami’nâ wa ‘ashainâ (kami dengar namun kami membangkangnya).
Berbeda dari umat ini, ketika mereka
mengetahui bahwa Allah akan menghisab setiap perilaku baik yang berupa
perbuatan anggota badan maupun yang berupan bisikan hati, umat Nabi Muhammad
mengucapkan kami mendengar, kami mematuhi, kami berserah diri dan percaya
kepada Allah, malaikat, dan para rasul-Nya. Maka kemudian Allah mengkhabarkan
bahwa Ia mengampuni (tidak akan menghisab) apa-apa yang dibatinkan di dalam
hati. Allah hanya akan menghisab perbuatan yang secara nyata dilakukan oleh
anggota badan.
Ketujuh, dosa yang
dihasilkan oleh Bani Israil karena salah dalam berbuat atau karena lupa tetap
beresiko dengan disegerakannya hukuman atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah
telah mengharamkan suatu makanan dan minuman atas mereka sebagai hukuman atas
suatu dosa yang mereka lakukan.
Berbeda dari umat Nabi Muhammad di mana Allah
tidak menjatuhkan hukuman kepada mereka atas kesalahan, kelupaan, dan apa saja
yang dilakukan karena terpaksa. Ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah:
إِنَّ
اللَّهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا
اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Artinya: “Sesunguhnya Allah memaafkan karena
aku dari umatku kesalahan, lupa, dan apapun yang mereka dipaksa untuk
melakukannya.” (HR. Ibnu Majah, Baihaki, dan lainnya).
Kedelapan, Allah mengharamkan
Bani Israil melakukan kegiatan-kegiatan duniawi di hari Sabtu sebagai hari raya
mereka. Pada hari itu Bani Israil hanya diperbolehkan melakukan peribadatan
kepada Allah saja. Maka ketika mereka melanggarnya dengan tetap berburu ikan di
lautan Allah mengubah wujud menjadi seekor kera.
Sedangkan umat Nabi Muhammad tidak
diperlakukan seperti itu oleh Allah. Mereka diberi kebebasan untuk melakukan
kegiatan apapun meskipun di hari Jum’at sebagai hari raya umat Islam. Baik
sebelum maupun sesudah shalat Jum’at umat Nabi Muhammad diperkenankan melakukan
aktifitas duniawi tanpa ada ancaman hukuman apapun dari Allah.
Kesembilan, bagi Bani Israil
dan kaum yang lain penyakit thâ’ûn merupakan kotoran dan siksaan. Sedangkan
bagi umat Nabi Muhammad penyakit thâ’ûn dijadikan oleh Allah sebagai rahmat dan
kesyahidan bagi mereka.
Kesepuluh, ada beberapa
makanan yang diharamkan oleh Allah bagi Bani Israil. Beberapa makan itu di
antaranya adalah setiap binatang yang memiliki kuku dan lemak yang ada pada
binatang, kedua haram bagi Bani Israil. Keduanya diharamkan oleh Allah sebagai
hukuman bagi mereka karena perilaku mereka yang berbuat dzalim, menentang dan
mempermainkan syariat Allah.
Hal ini direkam oleh Allah dalam firman-Nya
pada surat An-Nisa ayat 160:
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا
Artinya: “Maka disebabkan perbuatan aniaya
dari orang-orang yahudi Kami haramkan atas mereka beberapa makanan yang
baik-baik yang sebelumnya dihalalkan bagi mereka, dan juga dikarenakan mereka
serig menghalang-halangi jalan Allah.“
Adapun umat Nabi Muhammad Allah menghalalkan
bagi mereka segala yang baik, tanpa kecuali, dan mengharamkan atas mereka
setiap yang jelek. Ini ditegaskan-Nya dalam ayat 5 surat Al-Maidah:
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Artinya: “Pada hari ini telah Aku halalkan
bagi kalian yang baik-baik.”
Kesebelas, ketika Bani Israil
mendapatkan barang rampasan perang (ghanimah) mereka diharamkan untuk mengambil
dan membagikannya. Yang diperintahkan kepada mereka adalah mengumpulkan barang
rampasan itu, lalu akan turun api dari langit yang menyambar dan membakarnya
sebagai tanda bahwa diterimanya peperangan yang mereka lakukan.
Sedangkan umat Nabi Muhammad diperbolehkan
mengambil dan memanfaatkan barang rampasan perang, bahkan dijadikannya sebagai
sesatu yang halal dan penuh berkah.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anfal ayat 69:
فَكُلُوا
مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا
Artinya: “maka makanlah dari apa yang kalian
rampas sebagai sesuatu yang halal dan baik.”
Kedua belas, umat-umat terdahulu
tidak diperbolehkan melakukan shalat kecuali di tempat-tempat yang telah
ditentukan seperti gereja dan pagoda. Bila mereka tidak datang bersembahyang di
tempat yang telah ditentukan itu maka mereka tidak bisa menggantinya di sembarang
tempat. Mereka mesti datang ke tempat peribadatan yang ada untuk mengganti
shalat yang ditinggalkannya itu.
Al-Bazar dalam satu hadis yang diriwayatkan
dari Ibnu Abas mengatakan bahwa tak ada seorang nabi pun yang melakukan shalat
hingga ia berada di mihrabnya.
Sementara umat Nabi Muhammad tidak demikian.
Allah menjadikan setiap jengkal tanah di bumi ini sebagai tempat shalat mereka.
Kapanpun dan di manapun mereka hendak melakukan shalat bisa dilakukan di tempat
manapun asalkan bersih dan suci dari najis. Tak ada tempat yang dikhususkan
untuk shalat bagi umat Baginda Muhammad ﷺ.
Ketiga belas, dalam syariat
umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad mereka hanya bisa bersuci dengan air saja.
Tak ada aturan yang membolehkan mereka bersuci dengan menggunakan media selain
air. Maka ketika mereka hendak shalat dan tidak menemukan air, mereka tidak
bisa melakukannya sampai menemukan air untuk bersuci dan kemudian mengqadla
shalat yang telah ditingalkannya.
Berbeda dari umat Nabi Muhammad, ketika
mereka hendak melakukan shalat dan tidak menemukan air maka mereka bisa bersuci
dengan menggunakan debu yang suci.
Demikian Allah—melalui
syari’at-Nya—memperlakukan umat Nabi Muhammad ﷺ secara istimewa bila
dibandingkan dengan perlakukan Allah kepada umat-umat terdahulu. Ada kemudahan
dan keringanan dalam syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah.
Atas semua itu maka selayaknya bila umat Nabi
Muhammad bersyukur kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ketakwaan yang
semestinya dan berterima kasih kepada Rasulullah dengan mengikuti akhlak
mulianya.
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar