Selasa, 10 September 2019

(Ngaji of the Day) Imam Ahmad Pun Mengajarkan Cara Shalat yang ‘Bid’ah’


Imam Ahmad Pun Mengajarkan Cara Shalat yang ‘Bid’ah’

Sebagian orang sangat berlebihan dalam memahami bid’ah hingga mereka menyangka bahwa apa pun yang tak ada contohnya dari Nabi Muhammad atau para sahabat adalah bid’ah yang terlarang. Dalam benak mereka, seluruh hal baru dalam ibadah pastilah bid’ah dan seluruh bid’ah berarti sesat dan seluruh yang sesat berarti berujung neraka. Mereka memahami hadits tentang bid’ah hanya sepotong saja dan tak membaca seluruh tema ini secara komprehensif seperti yang dilakukan oleh para ulama muktabar. 

Bila anggapan mereka itu dipakai secara konsisten, maka akan banyak ulama besar yang dianggap melakukan bid’ah, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang notabene merupakan salah satu tonggak rujukan mereka dalam masalah akidah dan fiqih. Imam mujtahid pakar hadits yang biasanya dianggap paling ketat dan paling konsisten berpedoman pada sunnah Nabi ini menjelaskan tata cara berdoa dalam shalat yang sama sekali tak pernah diajarkan oleh Rasulullah . Dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qudamah al-Hanbali disebutkan:

قَالَ الْفَضْلُ بْنُ زِيَادٍ: سَأَلْت أَبَا عَبْدِ اللَّهِ فَقُلْت: أَخْتِمُ الْقُرْآنَ، أَجْعَلُهُ فِي الْوِتْرِ أَوْ فِي التَّرَاوِيحِ؟ قَالَ: اجْعَلْهُ فِي التَّرَاوِيحِ، حَتَّى يَكُونَ لَنَا دُعَاءً بَيْنَ اثْنَيْنِ. قُلْت كَيْفَ أَصْنَعُ.؟ قَالَ إذَا فَرَغْتَ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ فَارْفَعْ يَدَيْكَ قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ، وَادْعُ بِنَا وَنَحْنُ فِي الصَّلَاةِ، وَأَطِلْ الْقِيَامَ. قُلْت: بِمَ أَدْعُو؟ قَالَ: بِمَا شِئْت. قَالَ: فَفَعَلْت بِمَا أَمَرَنِي، وَهُوَ خَلْفِي يَدْعُو قَائِمًا، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ، وَقَالَ حَنْبَلٌ: سَمِعْت أَحْمَدَ يَقُولُ فِي خَتْمِ الْقُرْآنِ: إذَا فَرَغْت مِنْ قِرَاءَةِ {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ} فَارْفَعْ يَدَيْكَ فِي الدُّعَاءِ قَبْلَ الرُّكُوعِ. قُلْت: إلَى أَيِّ شَيْءٍ تَذْهَبُ فِي هَذَا؟ قَالَ: رَأَيْت أَهْلَ مَكَّةَ يَفْعَلُونَهُ، وَكَانَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ يَفْعَلُهُ مَعَهُمْ بِمَكَّةَ.

“Fadl Bin Ziyad berkata: Saya bertanya kepada Imam Ahmad (Abu Abdillah) demikian: ‘Saya mengkhatamkan Al-Qur’an (dalam shalat), apakah Al-Qur’an itu sebaiknya saya khatamkan di shalat witir atau di salat tarawih?’ Dia menjawab: ‘Jadikan khataman itu di shalat tarawih sehingga menjadi doa bagi kita di antara dua shalat.’ Saya berkata lagi: ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Imam Ahmad menjawab: ‘Bila kamu sudah sampai di akhir Al-Qur’an, maka angkat tanganmu sebelum rukuk, doakan kami dalam shalat dan lamakan berdirinya.’ Saya bertanya: ‘Dengan apa saya berdoa?’ Beliau menjawab: ‘Apa pun yang kamu suka.’ Lalu aku melakukan apa yang ia perintahkan sedangkan beliau di belakangku berdoa dengan berdiri sambil mengangkat tangannya. Hanbal juga bercerita: Aku mendengar Imam Ahmad berkata tentang khataman Al-Qur’an: “Kalau kamu sudah selesai membaca Al-Qur’an, maka bacalah Qul a’ûdzu birabbinnâs dan angkatlah tanganmu sebelum rukuk.” Saya bertanya kepadanya: “Anda bersandar pada apa dalam hal ini?’ Iman Ahmad berkata: ‘Aku melihat orang Makkah melakukannya dan Sofyan bin Uyainah juga melakukannya beserta mereka di Mekah.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz II, halaman 125-126)

Tatacara shalat yang diajarkan oleh Imam Ahmad itu bila dilihat dari kacamata orang-orang yang memahami bid’ah secara sempit akan menyebabkan vonis bid’ah juga menimpa Imam Ahmad, Imam Ibnu Qudamah, dan bahkan Imam Sufyan bin Uyainah. Unsur kebid’ahannya antara lain:

1. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an saat shalat tarawih.

2. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk berdoa khatam Al-Qur’an saat sebelum rukuk, apalagi menginstruksikannya agar lama.

3. Nabi tidak pernah mencontohkan atau memerintahkan untuk mengangkat tangan dalam doa ketika berdiri sebelum rukuk

Petunjuk dalam hal ibadah yang nyata-nyata tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah tersebut ternyata dilakukan oleh banyak orang di masa tersebut sehingga Imam Ahmad juga melakukannya. Hal ini bahkan menjadi ajaran resmi di mazhab Hanabilah. Bila ada yang mengatakan bahwa teknis ibadah seluruhnya haruslah selalu bergantung pada penjelasan Rasulullah (tawqîfi), maka hal ini nyata-nyata tidak dipakai oleh Imam Ahmad sebab beliau melakukan itu hanya karena mencontoh penduduk Makkah. 

Dari hal ini para penyanjung Imam Ahmad dapat memilih antara menjatuhkan vonis bid’ah pada Imam Ahmad yang berarti mengatakan bahwa beliau, beserta ulama mazhab Hanabilah, telah mengajarkan kesesatan atau memilih opsi kedua yang menjadi kesepakatan mayoritas ulama bahwa bid’ah (dalam arti hal baru) itu tak selalu haram, namun ada juga yang diperbolehkan (hasanah). Hanya opsi kedua inilah yang nampaknya bisa dipilih dan sesuai dengan kemuliaan dan kealiman Imam Ahmad.

Istilah bid’ah sendiri menurut para ulama mempunyai dua perspektif yang berbeda. Dalam perspektif istilah syariat ketika dimutlakkan, bid’ah adalah hal baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits atau ijmak, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam keterangannya yang sudah populer. Perspektif inilah yang dimaksud dalam hadits “seluruh bid’ah adalah sesat” itu. Adapun dari perspektif kebahasaan, maka bid’ah adalah segala hal yang baru secara umum sehingga status hukumnya harus diperinci sesuai unsur yang dikandungnya. Perspektif kebahasaan inilah yang dimaksud para ulama ketika mengatakan bahwa bid’ah terbagi secara global menjadi buruk (sayyi’ah) atau baik (hasanah) dan secara detail terbagi menjadi: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sebab itulah, Imam Ibnu Atsir mengatakan:

فأمَّا الابتداع من المخلوقين، فإن كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، فهو في حَيِّز الذمِّ والإنكار، وإن كان واقعًا تحت عموم ما ندب الله إليه، وحضَّ عليه أو رسوله، فهو في حيِّز المدح، وإن لم يكن مثاله موجودًا

“Adapun membuat hal-hal baru yang dilakukan oleh makhluk, apabila dalam hal yang bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya, maka itu masuk dalam kategori tercela dan diingkari. Apabila hal itu ada di bawah keumuman ajaran yang disarankan dan dianjurkan oleh Allah atau Rasulnya, maka itu masuk dalam kategori pujian meskipun tidak ada contoh sebelumnya.” (Ibnu Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, juz I, halaman 280)

Wallahu a'lam. []

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar