Selasa, 10 September 2019

(Hikmah of the Day) Gus Baha’ soal Jebakan Silat Lidah Setan Jenis Manusia (2)


Gus Baha’ soal Jebakan Silat Lidah Setan Jenis Manusia (2)

Setiap nabi mempunyai tantangan masing-masing pada setiap zamannya. Di sini KH Bahaudin Nur Salim menguraikan tentang peran setan dalam mengatur propaganda yang dilancarkan untuk menyerang Nabi Muhammad. Gus Baha’ juga menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan penamaan setan, baik yang dari unsur manusia maupun jin. 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: 

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS Al-An’am: 112) 

Ayat di atas menunjukkan, setiap nabi mempunyai musuh setan dari unsur jin dan manusia. Perlu diketahui, setan itu ada yang berupa nama yang melekat pada satu benda, ada pula yang mempunyai makna sifat. Analoginya adalah seperti orang menyebut singa. Ada singa yang mempunyai arti melekat pada hewan sejenis macan, ada pula singa yang disematkan pada orang yang gagah pemberani. Karena keberaniannya, ia kemudian dipanggil “singa”, tapi namanya tidak selalu menempel. Kapan-kapan ketika ia sudah mulai melemah tubuhnya, penyematan nama “singa” tidak lagi menempel pada tubuhnya karena sifatnya yang hilang. 

Begitu pula anjing. Anjing berlaku sebagai hewan berkaki empat sejenis kambing yang jika disentuh, kategori najisnya secara fiqih adalah najis mughalladhah. Terdapat istilah lain, anjing digunakan seseorang untuk mencaci sembari memanggil orang lain yang mempunyai sifat terlalu buruk dengan panggilan “anjing!”. Pelabelan seperti ini bisa menempel dan sewaktu-waktu sifatnya berubah, dan akan berpengaruh pada perubahan nama yang disifati. 

Setan juga demikian. Setan yang mempunyai nama asli, yaitu Iblis dan keturunannya secara genetika. Ada juga setan berupa sifat yang menempel baik pada jin ataupun manusia. Sehingga pada QS Al-An’am: 112 di atas disebutkan: 

شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ

Artinya: “Setan dari golongan manusia dan jin.” 

Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam QS An-Nas:

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ 

Artinya: “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS An-Nas: 5-6) 

Sebagaimana setan, jin juga mempunyai definisi sendiri, yaitu makhluk Allah yang tidak kasat mata. Berbeda dari manusia yang kasat mata. Sehingga, orang gila dalam bahasa Arab disebut majnun, artinya pikirannya tertutup. Kalau malam, karena gelap, tidak ada yang terlihat, dalam bahasa Arab dipakailah istilah janna, sehingga antara jinn, janna, majnun yang terdiri dari komposisi huruf jim dan nun yang ditasydid, masing-masing mempunyai akar kata yang sama sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ

Artinya: “Ketika malam menjadi gelap.” (QS Al-An’am: 76) 

Yang terpenting pada pembahasan ini, tidak bisa dipukul rata bahwa setiap jin dan manusia itu bernama setan, begitu pula sebaliknya. Baru ketika manusia dan jin mempunyai perilaku buruk, tidak shalat, menjadi pemabuk dan lain sebagainya, mereka bisa disebut sebagai setan. Manusia yang tampak pakaiannya islami tapi menjual agama, namanya juga setan. Selama sifat mereka masih seperti setan, maka keduanya dinamakan sebagai setan. Setan di sini berdasar sifat, tidak nama asli. Sedangkan setan yang asli adalah iblis dan keturunannya secara genetika. 

Gus Baha’ melanjutkan tentang setan manusia pada QS Al-An’am: 112 di atas:

يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Maksudnya, mereka saling melengkapi untuk menciptakan kegaduhan agama. Yang bisa menciptakan kegaduhan melalui bahasa verbal ini adalah setan manusia. Setan dari unsur jin tidak bisa karena mereka tidak bisa membolak-balikkan perkataan, sedangkan setan dari unsur manusia sangat canggih mengolah kata-kata. 

Jadi kesimpulannya, kita sebagai manusia bisa jadi termasuk sebagai setan. Kita bisa meneliti secara tampak pada doa yang diajarkan oleh Nabi kepada kita: 

وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا 

Artinya: “Kami meminta perlindungan kepada Allah dari keburukan-keburukan pribadi kita.” 

Padahal di saat yang lain kita disuruh Allah berdoa agar terhindar dari setan.

أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ 

Artinya: “Saya meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” 

Maksudnya kita juga disuruh untuk berlindung dari diri kita sendiri yang terkadang jadi setan juga. Kita mungkin saja termasuk setan yang perlu dimintakan perlindungan kepada Allah apabila perilaku kita buruk, merusak, dan berperilaku sebagaimana umumnya setan. Wallahu a’lam. []

(Ahmad Mundzir) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar