Gus Baha’ soal Jebakan Silat Lidah Setan
Jenis Manusia (2)
Setiap nabi mempunyai tantangan masing-masing
pada setiap zamannya. Di sini KH Bahaudin Nur Salim menguraikan tentang peran
setan dalam mengatur propaganda yang dilancarkan untuk menyerang Nabi Muhammad.
Gus Baha’ juga menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan penamaan
setan, baik yang dari unsur manusia maupun jin.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Artinya: “Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan
jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS Al-An’am:
112)
Ayat di atas menunjukkan, setiap nabi
mempunyai musuh setan dari unsur jin dan manusia. Perlu diketahui, setan itu
ada yang berupa nama yang melekat pada satu benda, ada pula yang mempunyai
makna sifat. Analoginya adalah seperti orang menyebut singa. Ada singa yang
mempunyai arti melekat pada hewan sejenis macan, ada pula singa yang disematkan
pada orang yang gagah pemberani. Karena keberaniannya, ia kemudian dipanggil
“singa”, tapi namanya tidak selalu menempel. Kapan-kapan ketika ia sudah mulai
melemah tubuhnya, penyematan nama “singa” tidak lagi menempel pada tubuhnya
karena sifatnya yang hilang.
Begitu pula anjing. Anjing berlaku sebagai
hewan berkaki empat sejenis kambing yang jika disentuh, kategori najisnya
secara fiqih adalah najis mughalladhah. Terdapat istilah lain, anjing
digunakan seseorang untuk mencaci sembari memanggil orang lain yang mempunyai
sifat terlalu buruk dengan panggilan “anjing!”. Pelabelan seperti ini bisa
menempel dan sewaktu-waktu sifatnya berubah, dan akan berpengaruh pada perubahan
nama yang disifati.
Setan juga demikian. Setan yang mempunyai
nama asli, yaitu Iblis dan keturunannya secara genetika. Ada juga setan berupa
sifat yang menempel baik pada jin ataupun manusia. Sehingga pada QS Al-An’am:
112 di atas disebutkan:
شَيَاطِينَ
الْإِنْسِ وَالْجِنِّ
Artinya: “Setan dari golongan manusia dan
jin.”
Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam QS
An-Nas:
الَّذِي
يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
Artinya: “Yang membisikkan (kejahatan) ke
dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS An-Nas: 5-6)
Sebagaimana setan, jin juga mempunyai
definisi sendiri, yaitu makhluk Allah yang tidak kasat mata. Berbeda dari
manusia yang kasat mata. Sehingga, orang gila dalam bahasa Arab disebut majnun,
artinya pikirannya tertutup. Kalau malam, karena gelap, tidak ada yang
terlihat, dalam bahasa Arab dipakailah istilah janna, sehingga antara jinn,
janna, majnun yang terdiri dari komposisi huruf jim dan nun
yang ditasydid, masing-masing mempunyai akar kata yang sama sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا
جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ
Artinya: “Ketika malam menjadi gelap.” (QS
Al-An’am: 76)
Yang terpenting pada pembahasan ini, tidak
bisa dipukul rata bahwa setiap jin dan manusia itu bernama setan, begitu pula
sebaliknya. Baru ketika manusia dan jin mempunyai perilaku buruk, tidak shalat,
menjadi pemabuk dan lain sebagainya, mereka bisa disebut sebagai setan. Manusia
yang tampak pakaiannya islami tapi menjual agama, namanya juga setan. Selama
sifat mereka masih seperti setan, maka keduanya dinamakan sebagai setan. Setan
di sini berdasar sifat, tidak nama asli. Sedangkan setan yang asli adalah iblis
dan keturunannya secara genetika.
Gus Baha’ melanjutkan tentang setan manusia
pada QS Al-An’am: 112 di atas:
يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Maksudnya, mereka saling melengkapi untuk
menciptakan kegaduhan agama. Yang bisa menciptakan kegaduhan melalui bahasa
verbal ini adalah setan manusia. Setan dari unsur jin tidak bisa karena mereka
tidak bisa membolak-balikkan perkataan, sedangkan setan dari unsur manusia
sangat canggih mengolah kata-kata.
Jadi kesimpulannya, kita sebagai manusia bisa
jadi termasuk sebagai setan. Kita bisa meneliti secara tampak pada doa yang
diajarkan oleh Nabi kepada kita:
وَنَعُوْذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
Artinya: “Kami meminta perlindungan kepada
Allah dari keburukan-keburukan pribadi kita.”
Padahal di saat yang lain kita disuruh Allah
berdoa agar terhindar dari setan.
أعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Saya meminta perlindungan kepada
Allah dari setan yang terkutuk.”
Maksudnya kita juga disuruh untuk berlindung
dari diri kita sendiri yang terkadang jadi setan juga. Kita mungkin saja
termasuk setan yang perlu dimintakan perlindungan kepada Allah apabila perilaku
kita buruk, merusak, dan berperilaku sebagaimana umumnya setan. Wallahu
a’lam. []
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar