Rabu, 04 September 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Penjual Menolak Pengembalian Barang Cacat yang Sudah Dibeli


Hukum Penjual Menolak Pengembalian Barang Cacat yang Sudah Dibeli

Ketika kita belanja di toko-toko bahan bangunan atau toko-toko elektronik tertentu, kita sering mendapati adanya bon yang tertulis “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.” Apakah secara hukum positif negara, hal ini dibenarkan?

Pemerintah lewat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah melarang penyantuman tulisan semacam dalam bon. Merujuk Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ayat 1 poin c disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang menyatakan bahwa mereka berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen. Artinya, dengan penulisan klausul baku yang berbunyi “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”, seorang pedagang telah melanggar pasal ini dan bisa dijerat hukuman. 

Pasal 18 ayat 3 juga menyebutkan bahwa setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 

Melihat fakta undang-undang ini, berarti bahwa dalam setiap pembelian barang yang kedapatan adanya cacat, ada hak bagi konsumen yang dijamin undang-undang untuk meminta kembali harga atau meminta ganti barang yang telah dibeli disebabkan cacat yang diketahuinya. 

Dalam konteks syariat, ada istilah khiyar ‘aib. Syeikh Ahmad Yusuf, mendefinisikan khiyar ‘aib ini sebagai berikut:

خيار عيب معناه أن يكون للمشتري حق امضاء العقد أو فسخه إذا تبين له وجود عيب في المبيع لم يطلع عليه عند التعاقد إذا كان محل البيع متعينا

Artinya: “Khiyar 'aib artinya hak melanjutkan atau merusak akad yang dimiliki oleh pembeli ketika nampak baginya wujudnya cacat yang terdapat dalam barang dagangan yang sebelumnya tidak nampak olehnya saat transaksi sedang berlangsung, ketika tempat transaksi berada di lokasi tertentu.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Shidqi, tt., 80).

Khiyar 'aib mensyaratkan bolehnya mengembalikan barang dengan syarat-syarat adanya cacat yang sudah disepakati oleh syariat, antara lain:

1. Jika cacat yang terdapat pada barang, merupakan cacat lama sebelum adanya penyerahan ke pembeli

2. Pembeli tidak tahu dengan keberadaan cacat barang, dan seandainya tahu, ia pasti menolak barang itu disebabkan cacat berat. 

3. Aib tidak hilang setelah penerimaan

4. Menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi, terdapat syarat yang lain, yaitu jika penjual tidak mensyaratkan bebasnya tanggung jawab dia terhadap barang yang sudah dibeli, dan pembeli sepakat dengan syarat yang diajukan. Namun menurut konteks Malikiyah dan Hanabilah, keberadaan syarat yang ditetapkan oleh pembeli ini ditolak secara mutlak. Pembeli tetap boleh memiliki hak untuk melakukan khiyar 'aib sehingga berhak untuk mengajukan pengembalian terhadap barang yang ditemui aib padanya, dengan catatan bahwa aib tersebut sudah ada semenjak barang itu belum diterima. 

Melihat adanya khilaf ini, maka ditinjau dari sudut pandang fiqih, hukum menetapkan adanya klausul di atas bon berupa tulisan “barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan” terbagi menjadi 2, yaitu:

1. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanafi, hukumnya tidak boleh bila pembeli tidak menyepakati akan syarat yang ditetapkan itu. 

2. Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, hukumnya mutlak tidak boleh. 

3. Namun, karena hukum positif perundang-undangan kita menyebutkan ketidakbolehan penetapan klausul sebagaimana dimaksud dan dihukumi sebagai batal semua klausulnya maka sebagai jalan tengahnya adalah dikembalikan kepada diri si pembeli, apakah dia menerima syarat itu atau tidak. Bila menerima syarat tersebut, maka pembeli tidak bisa mengembalikan barang bila terdapat cacat di kemudian hari, dan sebaliknya bila tidak menerima syarat yang disodorkan, pembeli memiliki hak untuk membatalkan jual beli di awal akad transaksi berjalan. 

Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar