Hukum Asal Pematokan Harga
Rekayasa pasar merupakan sebuah upaya
pemerintah dalam memodifikasi pasar dengan jalan membedah barrier
to entry - ruang penyekat kompetisi usaha. Tujuan dari rekayasa pasar
adalah memaksa perusahaan pelaku monopoli menghadapi persaingan pasar. Dengan
demikian, rekayasa pasar memungkinkan terjadinya seleksi pasar oleh pengguna
jasa/barang terhadap pelaku monopoli yang saling bersaing. Perusahaan monopoli
akan terpaksa menghadapi persaingan usaha. Siapa yang siap dengan kompetisi,
maka dia akan bertahan dan tetap eksis, dan barang siapa yang tidak siap, maka
usahanya akan gulung tikar.
Bentuk lain upaya pemerintah mengintervensi
pasar guna menghadapi aksi monopoli adalah dengan jalan melakukan pematokan
harga dan operasi pasar. Pematokan harga dan operasi pasar ini dalam konteks
fiqihnya dikenal dengan istilah tas’ir. Apakah rekayasa pasar bukan termasuk
tas’ir? Iya, ia merupakan bentuk tas’ir juga, karena di dalam kompetisi memaksa
wajib adanya lembaga arbitrase yang berfaedah menengahi iklim persaingan usaha.
Namun, kali ini kita akan membahas persoalan tas’ir (pematokan harga) ini
secara lebih khusus lagi, karena pemerintah langsung melakukan intervensi
terhadap harga komoditas produk.
Sebagaimana di atas sudah disampaikan bahwa
dalam fiqih, istilah penetapan harga disebut tas'ir. Asal katanya dari kalimat
sa'ara-yusa'iru-tas'iran. Secara syara', Al Syaukani mendefinisikan:
هو
أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من امور المسلمين أمرا أهل السوق الا
يبيعوا أمتهتهم الا بسعر كذا فيسنعوا من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة
Artinya: "Yaitu jika seorang pemimpin
atau wakilnya atau setiap orang yang menguasai urusannya kaum Muslimin
memerintahkan sesuatu hal kepada ahli pasar untuk tidak menjual harta bendanya
selain daripada harga tertentu, lalu mereka menjual harga tersebut dengan
tambahan atau pengurangan harga sesuai dengan yang telah ditetapkan karena
kemaslahatan." (Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nailu al-authar Syarah
Muntaqiy al-Akhbar, Beirut: Baitu al-Afkar al-Dauliyah, 2005: 248).
Dalil asal hukumnya tas'ir adalah haram, dan
tidak boleh kecuali karena kondisi dlarurat. Dalil yang keharaman pematokan
harga ini adalah hadits riwayat Anas bin Malik:
غلا
السعبر على عهد ريول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يارسول الله لوسعرت؟ فقال:
إن الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإن لارجو أن ألقى الله عز وجل ولايطلبني
احد بمظلمة ظلمتها اياه في دم ولامال رواه الخمسة الا النسائي وصححه الترمذي
Artinya: "Suatu ketika terjadi krisis di
zaman Rasulullah ﷺ,
kemudian para sahabat meminta kepada beliau menetapkan harga² barang:
"Andaikan tuan mahu menetapkan harga barang?" Beliau menjawab:
Sesungguhnya Allah swt Dzat Yang Maha Mengendalikan, Maha membeber, Maha
Pemberi Rizki dan Maha Penentu Harga. Sesungguhnya tiada suatu pengharapan pun
jika Allah ﷻ sudah mentakdirkan,
maka jangan ada seorang pun yang memintaku untuk melakukan suatu kedhaliman
yang aku perbuat atas diri seseorang terhadap darah dan juga hartanya.” (HR
Imam lima selain al-Nasai. Dishahihkan oleh al Tirmidzy)
Wajah dalil keharaman tas'ir dalam hadits ini
ada dua, yaitu:
Pertama: Rasulullah ﷺ belum menetapkan
harga tapi sudah diminta oleh para sahabat agar menetapkan pematokan harga
tersebut. Seandainya beliau berkenan, pasti akan dilakukan.
Kedua, penyebab utama krisis adalah karena
adanya unsur saling mendhalimi, dan berlaku dhalim adalah haram. Karena dalam
inflasi ada kenaikan harga, mencegah pedagang dari menjual harta bendanya
dengan harga tinggi merupakan salah satu bentuk kedhaliman. Oleh karena itu
tidak boleh melakukan tindakan pencegahan melalui tas'ir tersebut, karena
bagaimanapun penetapan harga, asal-asalnyanya adalah hak kuasa pemilik.
Sementara tugas pemimpin adalah menjaga kemaslahatan kaum muslimin dan tidak
sekedar menjaga kemaslahatan pembeli dengan murahnya harga sementara
mengabaikan hak pedagang dalam menaikkan harga jual dagangannya. Ketika dua
orang penjual dan pembeli saling berhadapan, yang wajib bagi keduanya adalah
saling memperjuangkan haknya. Memaksa pemilik barang menjual barang miliknya
dengan harga yang tidak diridlainya adalah sama dengan mengabaikan perintah
Allah ﷻ:
إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya: "Kecuali perdagangan yang
saling ridla di antara kaliam." (QS an-Nisa: 29)
Berdasarkan alasan inilah kemudian jumhur
ulama' menetapkan status asal hukum haramnya tas'ir (pematokan harga).
Sebagaimana hal ini dikutip oleh al Syaukany dalam Nailu al Authar-nya, dan
juga disebutkan dalam kitab Mukhtashar Al-Thahawy, sebagai berikut:
ولا
يجوز التسعير على الناس ولايصلح
Artinya: "TIdak boleh memaksakan harga
kepada manusia, dan tidak patut." (Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nailu
al-Authar Syarah Muntaqiy al-Akhbar, Beirut: Baitu al-Afkar al-Dauliyah, 2005:
5/248, dan Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salâmah, Mukhtashar Al Thahawy,
Istanbul: Thab’ah Lajnah Ihyâu al-Ma’ârif Al-Utsmâniyyah, tt.: 90).
Dalam mughny al muhtaj, juga disebutkan
pendapat yang senada, namun lebih tegas lagi pernyataan keharamannya meskipun
harga barang mengalami kenaikan - inflasi. Demikian juga Ibnu Qudamah dalam
al-Mughny, sepakat dengan pendapat keharaman ini. Beliau menyampaikan:
ويحرم
التسعير ولو في حال الغلاء
Artinya: "Dan diharamkan pematokan harga
meskipun dalam kondisi inflasi tinggi." (Ibnu Qudâmah al-Maqdisy,
Al-Mughny Syarah Matn al-Kharâqy, Kairo: Thab’ah Maktabah al-Qâhirah, 1970:
4/164, Khathib al-Syirbiny, Mughny al Muhtaj ilâ Ma’rifati Ma’âniy Alfâdhi
al-Minhâj, Beirut: Thab’ah Dâru al-Ma’rifah, tt.: 2/38)
Sampai di sini jumhur ulama berpendapat bahwa
hukum asal tas'ir - pematokan harga - adalah haram, baik dalam kondisi krisis
(al-ghallâ’) maupun dalam kondisi normal (al-hâlutu al-‘adiyah). Bagaimana
takyif fiqhy (dialektika fiqih) mengikut aspek sosial kekiniannya? Tunggu
tulisan berikutnya! Wallâhu a’lam bish shawâb. []
(Bersambung)
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar