Efek Sosial Hoaks Menurut
Al-Imam Al-Mawardi
Hoaks atau kabar yang tidak sesuai dengan
realitas menjadi tantangan besar dalam era media sosial kini. Hoaks sejauh ini
sudah menciptakan suasana yang tidak nyaman. Bahkan pada titik tertentu hoaks
melahirkan bibit kecurigaan sesama anak bangsa bahkan sesama umat Islam. Berita
bohong berkali-kali disebarkan untuk mendelegitimasi figur, pemerintah,
lembaga, organisasi, bahkan institusi formal bernama negara.
Penyebar hoaks yang melakukan aksinya berkali-kali secara tidak bertanggung jawab di media sosial untuk menciptakan kaos, kondisi kacau-balau, mendapat teguran tegas dari Allah SWT sebagai Surat Ali Imran ayat 61 berikut ini:
ثُمَّ
نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Artinya, “Mari kita ber-mubahalah agar laknat Allah jatuh menimpa mereka yang berdusta.”
Mubahalah adalah masing-masing pihak di antara mereka yang berbeda pendapat untuk berdoa sungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat-Nya kepada pihak yang berdusta.
Pada Surat An-Nahl ayat 105, Allah mengaitkan pembuat atau penyebar berita bohong dan krisis keimanan terhadap ayat-ayat suci:
إِنَّمَا
يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِآياتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Artinya, “Orang yang mengada-adakan kebohongan itu hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka itulah pembohong,” (Surat An-Nahl ayat 105).
Hubungan pembuat atau penyebar berita bohong dan krisis keimanan ini juga disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam riwayat hadits berikut ini:
وروى
صفوان بن سليم قال: قيل للنبي صلى الله عليه وسلم: أيكون المؤمن جبانا؟ قال: نعم.
قيل: أفيكون بخيلا؟ قال: نعم. قيل: أفيكون كذابا؟ قال: لا.
Artinya, “Sofwan bin Salim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah ditanya, ‘Bisakah seorang Mukmin adalah penakut?’ ‘Bisa jadi,’ jawab Nabi SAW. ‘Dapatkah orang beriman itu adalah orang yang kikir?’ ‘Boleh jadi,’ kata Nabi SAW. ‘Mungkinkah orang beriman itu adalah pendusta?’ ‘Tidak mungkin,’” jawab Rasulullah SAW.
Berita bohong atau hoaks tidak melulu memuat 100% kebohongan. Hoaks bisa jadi merupakan pelintiran berita benar atau jahitan antara berita benar. Hal ini pernah disampaikan oleh Sahabat Ibnu Abbas RA ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 42 sebagaimana dikutip dalam riwayat berikut ini:
وقال
ابن عباس رضي الله عنهما في قوله تعالى: وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ أي
لا تخلطوا الصدق بالكذب.
Artinya, “Ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 42, yaitu ‘Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan,’ Ibnu Abbas RA mengatakan, ‘Janganlah kalian mencampur kejujuran dengan kebohongan,’” (Lihat Al-Imam Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut: Darul Fikr, 1992 M/1412 H], halaman 191).
Mengapa berita bohong mendapat tempat luar biasa kejinya dalam pandangan agama? Di mana letak keburukan atau kejahatan berita palsu? Kejahatan hoaks terletak pada manipulasi kebenaran yang menyesatkan kesadaran penerima pesan dalam mengambil sikap atau menjatuhkan sebuah pilihan sebagaimana dikutip dari Adabud Dunya wad Din karya Al-Imam Al-Mawardi berikut ini:
وقيل
في منثور الحكم: الكذاب لص؛ لأن اللص يسرق مالك، والكذاب يسرق عقلك
Artinya, “Dikatakan dalam Mantsurul Hikam bahwa pendusta adalah ‘pencuri’. Kalau pencuri itu mengambil hartamu, maka pendusta itu mencuri akalmu,” (Lihat Al-Imam Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut: Darul Fikr, 1992 M/1412 H], halaman 191).
Lebih lanjut Al-Imam Al-Mawardi secara sosiologis mencoba mengikuti jalan panjang berita hoaks atau informasi palsu hingga muaranya yang ia sebut hilangnya rasa aman dan rasa tenteram. Yang ada kecurigaan, waswas, dan ketegangan.
والكذب
جماع كل شر، وأصل كل ذم لسوء عواقبه، وخبث نتائجه؛ لأنه ينتج النميمة، والنميمة
تنتج البغضاء، والبغضاء تئول إلى العداوة، وليس مع العداوة أمن ولا راحة
Artinya, “Bohong itu pusat kejahatan dan asal segala perilaku tercela karena keburukan konsekuensi dan kekejian dampaknya. Bohong melahirkan adu domba. Adu domba menghasilkan kebencian. Kebencian mengundang permusuhan. Di dalam suasana permusuhan tidak ada rasa aman dan relaksasi,” (Lihat Al-Imam Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut: Darul Fikr, 1992 M/1412 H], halaman 191).
Uraian di atas memang tidak sepenuhnya benar, tetapi hampir semua keterangan ini kerap kita jumpai dalam pengalaman keseharian kita di era media sosial sekarang ini. Wallahu a ‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar