Ketika KH Hasyim
Asy’ari Hadapi Hoaks Penjajah
Sejarah mencatat
bahwa sejumlah Pahlawan Kemerdekaan Indonesia terjebak oleh bujuk rayu dan tipu
muslihat penjajah Belanda yang awalnya menawarkan perdamaian, tetapi berujung
penangkapan lewat pertemuan yang mereka inisiasi. Hal ini menimpa Pangeran
Diponegoro saat Belanda merasa kewalahan dalam Perang Jawa (1825-1830 M),
selain itu Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lain-lain.
Tipu muslihat dan
kebohongan atau yang saat ini familiar disebut hoaks menjadi salah satu senjata
ampuh karena Belanda memahami karakter bangsa Indonesia yang cenderung terbuka
terhadap jalan keluar terbaik. Senjata hoaks ini juga menimpa perjuangan para kiai
ketika berhadapan dengan penjajah Belanda.
Salah satu sorotan
menarik penjajah Belanda yaitu ketika umat Islam dari berbagai jalan pemikiran
dan madzhab membentuk perkumpulan atau organisasi. Memang, di satu sisi Belanda
juga mempunyai rasa khawatir dengan perkumpulan-perkumpulan tersebut. Karena
menyebabkan mereka semakin kuat dalam hal doktrin dan konsolidasi.
Kekhawatiran
munculnya perlawanan dari kaum pribumi melalui berbagai organisasi seperti NU,
Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan organisasi Islam lainnya juga menjadi
alasan Belanda mencari celah untuk melawan mereka. Melawan secara frontal tentu
tidak akan dilakukan Belanda karena bisa memunculkan perlawanan yang lebih
dahsyat dari rakyat pribumi.
Belanda melihat celah
di mana setiap organisasi mempunyai pandangan-pandangan tersendiri perihal
paham keagamaan dan madzhab. Mereka dilihat Belanda juga sering berbeda
pendapat bahkan saling ‘serang’ argumen sehingga tak jarang menimbulkan friksi
atau gesekan.
Untuk menjalankan
misinya itu, Belanda kerap mencampuri urusan agama, melakukan politik adu
domba, dan kebohongan. Namun, strategi adu domba belum juga membuahkan hasil
yang diharapkan sehingga langkah akhirnya mereka lakukan ketika menyebarkan
tulisan-tulisan atau kabar bohong (hoaks) yang cenderung menghina prinsip
ajaran Islam.
Namun, perdebatan dan
pertengkaran di antara umat Islam dari berbagai perkumpulan organisasi lewat
politik adu domba pun semakin memberikan sinyal bahwa Islam harus bersatu melawan
penjajah Belanda.
Nahdlatul Ulama (NU)
dalam forum Muktamar tahun 1936 di Banjarmasin menegaskan pentingnya persatuan
umat Islam untuk melawan berbagai propaganda Belanda. Rais Akbar NU KH Muhammad
Hasyim Asy’ari (1871-1947) memanfaatkan forum tertinggi di NU tersebut untuk
menggaungkan tali kuat persatuan di kepada para peserta Muktamar dan umat Islam
pada umumnya, baik dari golongan ulama maupun masyarakat umum.
Dalam amanatnya, Kiai
Hasyim Asy’ari menyerukan terjalinnya persatuan umat Islam dan membunag jauh
pertengkaran soal khilafiyah guna menghadapi siapa saja yang sengaja memusuhi
Islam, terutama kaum penjajah. Kiai Hasyim (Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, 2010) mengatakan:
"Wahai sekalian
ulama yang berta’assub kepada sebagian madzhab atau qaul ulama, tinggalkanlah
ta’assub kalian terhadap perkara-perkara furu’ (cabang)."
Kiai Hasyim
berpandangan, sebesar apapun kepentingan suatu kelompok, jika hanya memunculkan
perpecahan di antara umat Islam Indonesia harus segera diakhiri untuk prospek
perjuangan yang lebih besar mengingat bangsa Indonesia masih terjajah oleh
Belanda kala itu. Apalagi pemicu perpecahan dari intrik-intrik yang dilakukan
penjajah.
Untuk memperkuat
persatuan tersebut, langkah tindak lanjut dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari ketika
NU menyelenggarakan Muktamar ke-12 tahun 1937 di Malang, Jawa Timur. Kiai
Hasyim mengajak golongan Islam manapun untuk ikut menghadiri Muktamar NU
tersebut. Ajakan itu tertulis dalam sebuah undangan yang berbunyi:
“.....kemarilah
tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kami, marilah kita
bermusyawaralah tentang apa-apa yang terjadi baiknya agama dan umat, baikpun
urusan agamanya dan dunianya; sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan
kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan...”
Seruan dan ajakan
Kiai Hasyim Asy’ari selaku pemimpin tertinggi NU itu cukup mengetuk kesadaran
seluruh pemimpin perkumpulan Islam. Jika sejak 1927-1936 tidak lagi terdengar
kegiatan Kongres Al-Islam (setelah Muktamar Dunia Islam di Mekkah tahun 1926
diubah namanya menjadi MAIHS, Muktamar ‘Alam Islami Far’ul Hidis Syarqiah),
yang biasanya diprakarsai Syarikat Islam dan Muhammadiyah, maka sejak ada
seruan Kiai Hasyim itulah usaha untuk mengumpulkan kembali sisa-sisa persatuan
dan melepaskan simpul-simpul pertengkaran, mulai tampak dirintis kembali atas
kepeloporan Kiai Hasyim.
Upaya Kiai Hasyim
tidak hanya berhasil menyatukan seluruh komponen umat Islam, tetapi juga mampu
mengikis usaha Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia. Karena walau
bagaimana pun, seluruh elemen masyarakat masih menjadikan ulama dan kiai
sebagai tokoh panutan dan subjek utama untuk dimintai pandangan dan
pemikirannya. Hal ini menjadikan titik utama kenapa Belanda berupaya
menggemboskan peran dan posisi ulama dengan menjadikan mereka terus bertengkar
lewat kabar-kabar bohong.
Tidak hanya di zaman
penjajahan Belanda, saat Pasukan Nippon (Jepang) datang menjajah Indonesia,
negeri matahari terbit ini juga menyasar pergerakan KH Hasyim Asy’ari di
Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Aksi kebohongan Jepang ialah
melontarkan tuduhan dan fitnah kepada Kiai Hasyim soal pemberontakan rakyat di
Desa Cukir, Jombang.
Dengan bekal kabar
bohong yang sampai di telinga para petinggi Jepang di Jakarta, pasukan Nippon bergerak
ke Jombang untuk menangkap Kiai Hasyim Asy’ari atas tuduhan pemberontakan di
Cukir. Atas tindakan semena-mena tersebut, santri Tebuireng tidak tinggal diam.
Mereka melawan dan mencegah penangkapan gurunya itu.
Namun, Kiai Hasyim
bersedia ditangkap, bukan karena dia salah tetapi untuk keselamatan pesantren
secara luas. Peristiwa ini sekaligus memberikan pelajaran berharga untuk putra
KH Wahid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari) dalam berdiplomasi dengan penjajah.
Dibantu KH Wahab Chasbullah, Gus Wahid berhasil membebaskan ayahnya dari
penjara dan siksa tentara Jepang. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar