10 Perbedaan Pendapat Ulama tentang Hukum
Membaca Shalawat
Bagi seorang Muslim, membaca shalawat adalah
sebuah amalan yang tak asing lagi. Hal ini sering kita lakukan terutama ketika
nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebut. Namun, para ulama
sendiri ternyata tidak satu suara terkait hukum membaca shalawat. Para ulama
berbeda pendapat terkait hukum membaca shalawat, apakah wajib, sunnah, ataupun
mubah.
Ibn Ḥajar al-Asqalani (w. 852 H) menyebutkan
bahwa para ulama tidak satu kata dalam memberikan hukum membaca shalawat. Ibn Ḥajar
membagi perdebatan hukum shalawat ini menjadi sepuluh kelompok (lihat: Ibn Ḥajar
al-Asqalânî, Fatḥ al-Bârî Syarḥ Shaḥiḥ al-Bukharî, (Beirut: Dâr al-Fikr,
T.T), j. 11, h. 152.)
Kelompok pertama menyatakan bahwa
hukum membaca shalawat adalah sunnah. Salah satu ulama yang mendukung pendapat
ini adalah Ibn Jarir at-Thabari. At-Thabari menyebutkan bahwa pendapat ini
sudah menjadi kesepakatan para ulama.
Kedua, pendapat yang
menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah wajib tanpa ada batasan apa pun. Salah
satu pendukung pendapat ini adalah Ibn al-Qishar.
Ketiga, pendapat Abu Bakr
al-Razi, salah satu ulama Hanafiyah, dan Ibn Ḥazm yang menyebutkan bahwa hukum
shalawat adalah wajib, sebagaimana wajibnya kalimat tauhid, yang harus
diucapkan pada waktu melakukan shalat wajib dan shalat sunnah. Pendapat ini
juga didukung oleh al-Qurthubi dan Ibn ʽAthiyyah.
Keempat, pendapat Imam
al-Syafiʽi dan para pengikutnya, yang menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah
wajib, namun hanya pada waktu duduk di akhir shalat (duduk tahiyyat akhir),
antara ucapan tasyahud dan salam.
Kelima, pendapat al-Syaʽbi
dan Ishaq ibn Rahawaih, yang menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah wajib pada
saat tasyahud shalat.
Keenam, pendapat Abu Jaʽfar
al-Baqir yang menyatakan bahwa hukum shalawat adalah wajib pada saat shalat
tanpa batasan. Sehingga dalam pendapat ini shalawat bisa dibaca kapanpun,
asalkan dalam keadaan shalat.
Ketujuh, pendapat Abu Bakr
bin Bukair, ulama Malikiyyah, yang menyebutkan bahwa diwajibkan memperbanyak
shalawat tanpa batasan jumlah.
Kedelapan, pendapat Imam
al-Thahawi, Ibn ʽAraby, al-Zamakhsyari dan beberapa ulama lain, yang
menyebutkan bahwa diharuskan membaca shalawat saat nama Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam disebutkan, ini sebagai bentuk kehati-hatian. Jadi saat
ada yang menyebut nama Rasulullah kita diharuskan untuk membaca shalawat.
Kesembilan, pendapat
al-Zamakhsyari, yang menyebutkan bahwa wajib membaca shalawat satu kali di
setiap majelis, walaupun dalam majelis itu, kita sering menyebut nama
Rasulullah berulang-ulang.
Kesepuluh, membaca shalawat
diwajibkan dalam setiap doa yang kita panjatkan, hal ini juga disebutkan oleh
al-Zamakhsyarî.
Perbedaan pendapat ini dipengaruhi oleh
hadits-hadits yang dijadikan sebagai rujukan. Al-Ityûbi (l. 1366 H) misalnya,
menyebutkan bahwa ia lebih menguatkan pendapat yang kedelapan (wajib saat
disebutkan nama Rasulullah) karena didukung oleh sebuah hadits riwayat Abu
Hurairah.
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa
Rasulullah bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang merupakan perwujudan
dari Jibril. Saat itu Jibril berkata kepada Rasulullah bahwa jika ada orang
yang mendengar nama Rasulullah disebut, tapi ia tidak bershalawat kepada Rasul,
maka ketika ia meninggal dunia, ia masuk neraka. Hadits ini bisa ditemukan
dalam kitab Sahih Ibn Hibban. (Lihat: Muhammad ibn Ḥibbân, Shaḥîḥ Ibn Hibbân,
[Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993], j. 2, h. 140.)
Al-Ityubi berpendapat bahwa ancaman neraka
yang diberikan oleh Jibril dan diaminkan oleh Rasul menunjukkan bahwa hal itu
akan diberikan kepada orang yang meninggalkan kewajiban. Artinya, membaca
shalawat, dalam hadits tersebut, wajib ketika nama Rasulullah disebutkan.
(Muhammad ibn ʽAlî ibn Adam al-Ityûbî, Dakhîrah al-Uqbâ fi Syarḥ al-Mujtabâ,
(T.K: Dâr Alî Barûm, 2003), j. 15, h. 149.)
Imam al-Syafi’i yang memiliki pendapat
berbeda, yaitu memilih pendapat yang keempat dalam pembagian Ibn Ḥajar, juga
mendasarkan argumentasinya pada sebuah hadits lain riwayat Abu Mas’ud al-Badri,
أَقْبَلَ
رَجُلٌ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، وَنَحْنُ عِنْدَهُ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَمَّا
السَّلاَمُ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ ، فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ
صَلَّيْنَا فِي صَلاَتِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ ؟ قَالَ : فَصَمَتَ حَتَّى
أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ يَسْأَلْهُ ، ثُمَّ قَالَ : إِذَا أَنْتُمْ
صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَقُولُوا : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ
الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ
حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Artinya, “Seorang laki-laki menghadap Rasul
Saw hingga ia duduk di depan Rasulullah Saat itu kami (para sahabat) berada di
sampingnya. Kemudian laki-laki itu bertanya, “Wahai Rasulullah Adapun salam
kepadamu kami sudah tahu. Lalu bagaimana dengan shalawat kepadamu saat kami
melakukan shalat?” Rasul kemudian diam, hingga kami menyukai sesungguhnya
laki-laki itu tidak bertanya (lagi) kepada Rasulullah Rasul kemudian menjawab,
“Ketika kalian membaca shalawat kepadaku, maka ucapkanlah: “Ya allah berilah
shalawat kepada Muhammad dan keluarganya karena engkau memberi shalawat kepada
keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Penyayang Ya Allah
berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya karena engkau memberi shalawat
kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Penyayang.
(Lihat: Abu Bakr al-Bayhaqi, Sunan al-Bayhâqî, [Heyderbad: Majelis
Dairah al-Maʽârif, 1344 H], j. 2, h. 378.) Selain al-Bayhaqi, beberapa ulama
juga meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya, seperti: Ibn Khuzaimah, Ibn
Hibban, al-Daruqutni, dan Imam Ahmad.
Sighat amar dalam hadits di atas, dijadikan
sebagai dalil kewajiban mengucapkan shalawat pada saat shalat. Mengingat
konteks pertanyaan yang disampaikan seorang laki-laki dalam hadits di atas
adalah shalawat dalam keadaan shalat, bahkan Imam al-Syafii, sebagaimana
disebutkan Ibn ʽAbd al-Bar, bahwa tanpa mengucapkan shalawat di tasyahud
akkhir, maka diwajibkan untuk mengulangi shalat. (Lihat: Ḥamzah Muhammad Qâsim,
Manâr al-Qârî Syarḥ Muḥtaṣar Shaḥiḥ al-Bukharî, [Damaskus: Dâr al-Bayân,
1990], j. 5, h. 67.)
Hadits ini, oleh al-Qurthûbî dijadikan
sebagai penjelas (tafsir) atas firman Allah subhanahu wata'ala surat
al-Ahzab: 56:
إِنَّ
ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
Artinya, “Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
(QS al-Ahzab: 56).
Al-Qurthubî menyebutkan, karena anjuran
shalawat dalam ayat ini hanya disebutkan secara umum, maka hadits di atas
menjadi penafsirnya. (Lihat: Al-Qurthubî, al-Jâmi’ li-Aḥkâm al-Qur’ân,
[Kairo: Dar Kutub al-Miṣriyyah, 1964], j. 14, h. 234.)
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan 10
kelompok di atas, sudah selayaknya kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw. selalu
membaca dengan istiqamah shalawat kepadanya. Bukan karena hukumnya, baik wajib
atau sekedar sunnah, tapi lebih kepada penghormatan kita kepada Nabi Agung
Muhammad Saw. yang mulia akhlaknya serta pemberi syafaat kita kelak di hari
kiamat. Wallahu a’lam. []
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat
kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar