Nasihat Sayyidina Luqman al-Hakim untuk
Anaknya
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal
mengumpulkan beberapa nasihat Sayyidina Luqman al-Hakim untuk anaknya. Berikut
dua dari sekian banyak nasihatnya:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، عَنْ
مَالِكٍ يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ قَالَ: قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ: يَا بُنَيَّ،
اتَّخِذْ طَاعَةَ اللَّهِ تِجَارَةً تَأْتِكَ الْأَرْبَاحُ مِنْ غَيْرِ بِضَاعَةٍ
Diceritakan oleh Abdullah, dari ayahku, dari
Sayyar, dari Ja’far, dari Malik, yaitu Ibnu Dinar, ia bekata: ‘Luqman berkata
pada anaknya: “Wahai anakku, jadikan ketaatan kepada Allah sebagai perniagaan,
maka keuntungan akan mendatangimu tanpa modal barang dagangan.” (Imam Ahmad bin
Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 64)
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا
أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ قَالَ: كَانَ لُقْمَانُ عَلَيْهِ
السَّلَامُ يَقُولُ لِابْنِهِ: يَا بُنَيَّ، اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا تُرِ النَّاسَ
أَنَّكَ تَخْشَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؛ لِيُكْرِمُوكَ بِذَلِكَ، وَقَلْبُكَ
فَاجِرٌ
Diceritakan oleh Abdullah, dari ayahku, dari
Yazid bin Harun, menceritakan Abu al-Asyhab, dari Muhammad bin Wasi’, ia
berkata: Luqman al-Hakim as berkata pada anaknya: “Wahai anakku, bertakwalah
kepada Allah, dan jangan tunjukkan pada manusia bahwa kau takut kepada Allah
‘azza wa jalla karena (mengharap) mereka memuliakanmu dengan itu, sedangkan
hatimu (mudah) terhanyut.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar
al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 64)
****
Bicara soal Sayyidina Luqman al-Hakim memang
tidak ada habisnya. Dari mulai perbedaan pendapat ulama tentang kenabiannya,
sampai asal-usulnya. Dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas (3-68 H), Luqman
berasal dari Ethiopia. Menurut riwayat Sayyidina Sa’id bin Musayyab (15-94 H)
dan Jabir bin Abdullah (16-78 H), ia berasal dari Nubia, Mesir atau Sudan. Ia
berkulit hitam, berhidung pesek, pendek, dan berbibir tebal, menurut sebagian
besar riwayat. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadl: Dar
Thayyibah, 1999, juz 6, h. 333)
Sayyidina Luqman adalah seorang bijak
bestari. Bukti bahwa semua orang punya peluang yang sama menjadi kekasih Tuhan,
tanpa memandang warna kulit, latar belakang, dan muasal kelahirannya. Ia tidak
sekedar memberi inspirasi, tapi inspirasi itu sendiri. Jejaknya terus hidup,
mengajarkan semangat pada generasi setelahnya, terutama orang-orang yang
berkeadaan sepertinya. Dalam satu riwayat, ketika seorang berkulit hitam
datang, Sayyidina Sa’id bin Musayyab berkata:
لا
تحزن من أجل أنك أسود، فإنه كان من أخير الناس ثلاثة من السودان: بلال، ومهجع مولى
عمر بن الخطاب، ولقمان الحكيم، كان أسود نوبيا
“Jangan bersedih karena kau berkulit hitam.
Karena sesungguhnya ada tiga manusia terbaik (berkulit hitam) dari Sudan:
Bilal, Mahja’ maula (budak) Umar bin Khattab, dan Luqman al-Hakim, ia orang
kulit hitam dari Nubia.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 6,
h. 333)
Seorang budak yang tidak memiliki kebebasan
dan hak menentukan hidupnya, bisa menjadi orang saleh yang bijaksana. Kenapa
kita yang dilahirkan merdeka, dengan segala kemudahannya, kadang tidak menjadi
apa-apa. Hanya diingat oleh sebagian kecil keluarga dan teman, yang kemudian
perlahan-lahan dilupakan orang-orang, sedangkan Sayyidina Luqman, dari masih
berstatus budak, telah menunjukkan kebijaksanaannya. Artinya, di sela-sela
keterbatasannya sebagai budak, ia meluangkan waktu untuk belajar, meluaskan
kelapangan pikiran dan hatinya.
Dua nasihatnya di atas adalah bukti
kecerdasannya. Ia mampu menyederhanakan pengetahuan berlevel tinggi agar
dimengerti anaknya. Kita asumsikan “bunayya—anakku” di sini adalah anak kecil
atau remaja, yang pemahamannya terhadap sesuatu belum sempurna. Dengan
menggunakan diksi “tijârah—perniagaan”, ia sedang menanamkan benih ketulusan di
hati anaknya, bahwa untuk permulaan, anggaplah ketaatan kepada Allah sebagai
perniagaan, dan kau akan mendapatkan keuntungan tanpa mengeluarkan modal.
Seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup (berniaga sesama manusia),
perlahan-lahan ia akan menyadari tidak ada mitra niaga yang sebaik Allah
subhanahu wa ta’ala.
Di kalimat berikutnya, Sayyidina Luqman
mengatakan, “maka keuntungan akan mendatangimu tanpa modal barang dagangan”.
Kalimat ini mengandung dua hikmah penting. Pertama, penguat benih ketulusan
yang telah ditanamkan. Kalimat, “tanpa modal barang dagangan”, merupakan proses
pengajaran agar tidak terlalu terikat dengan sifat kebendaan. Mudahnya begini,
ketika seseorang berniaga dengan modal, ia mengharapkan keuntungan yang lebih
dari modal yang dikeluarkannya, jika gagal ia akan diselimuti kekecewaan.
Berbeda dengan perniagaan yang iming-iming keuntungannya tanpa mengeluarkan
modal. Orang yang melakukannya tidak akan berhitung untung-rugi.
Kedua, ajaran untuk berprasangka baik kepada
Tuhan (husnudhan), bahwa berbisnis dengan Tuhan tidak mungkin gagal. Karena sebenarnya
Tuhan telah memberikan banyak modal kepada kita, dari mulai kehidupan yang
tidak pernah diminta, hingga pengetahuan bahwa setiap yang bernyawa pasti mati.
Ini menunjukkan pentingnya arti kehidupan dan pentingnya berbuat sesuatu dalam
hidup dan memaknainya. Jadi, gagal dan tidaknya tergantung prasangka kita
kepada Tuhan sebagaimana firmanNya (hadits qudsi): “Anâ ‘inda dhanni ‘abdî
bî—Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”
Di nasihat yang kedua, Sayyidina Luqman
menginginkan anaknya untuk menjadi orang yang bertakwa. Menariknya, nasihat
tersebut disertai dengan peringatan, bahwa kebaikan sangat dekat dengan riya
dan ujub. Maka, Sayyidina Luqman meminta anaknya untuk menyembunyikan
ketakwaannya kepada Allah agar tidak sampai dimuliakan dan dipuji. Sebab, hati
manusia itu sangat rapuh, mudah tertarik dan benci atas sesuatu, dan mudah
terhanyut dan terbuai akan sesuatu. Sebagai permulaan, cara teraman menghindari
pujian adalah menyembunyikan amal baik dari orang lain.
Karena itu, sangat penting bagi kita untuk
menasihati diri kita sendiri sebelum menasihati orang lain. Untuk menjadi
penasihat dan orangtua yang baik seperti Sayyidina Luqman, kita harus
memantaskan diri terlebih dahulu dengan belajar. Karena dengan pengetahuan,
kita bisa memilih kata yang paling baik untuk menasihati. Jika Sayyidina Luqman
saja, yang tidak tumbuh di lingkungan terbaik bisa menjadi orang saleh dan
bijak. Tidak ada alasan bagi kita, yang tidak pernah menjadi budak, tidak bisa
melakukannya. Benar, bukan?
Wallahu a’lam... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar