Virus
Oleh
Alissa Wahid
Sejak
awal tahun 2020, dunia berjibaku melawan Covid-19 yang merajalela dari kota
Wuhan, China, ke seluruh penjuru mata angin. Sampai 13 Maret 2020, wabah
penyakit ini menyebar ke 136 negara dengan 142.000-an kasus infeksi dan 5.300
lebih kematian. Pada Rabu, 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendeklarasikan wabah penyakit ini sebagai pandemi.
Setelah
China dan Italia, beberapa kota di Amerika Serikat mendeklarasikan status
kedaruratan seiring bertambahnya jumlah kasus infeksi.
Di
Indonesia, kasus korona pertama diumumkan pada 2 Maret. Berikutnya, angka itu
terus meningkat tajam.
Fakta
menunjukkan bahwa virus korona menyerang siapa saja tanpa terkecuali. Warga
negara biasa, pemain film, atlet olahraga, politisi, menteri dan kepala negara,
bahkan dokter dan perawat pun dapat terinfeksi. Yang membedakan tingkat
keparahan hanyalah kondisi daya tahan tubuh penderita, bukan kondisi ekonomi,
sosial, pendidikan, ataupun lingkungan tempat tinggal.
Sang
virus juga bergerak lintas agama: di Korea Selatan dan Singapura, di kluster
gereja terdeteksi penderita terjangkit korona setelah misa. Sementara Malaysia
menghadapi dampak tablig akbar, terdeteksi korona menginfeksi peserta dari
Brunei, Singapura, dan Malaysia. Bagaimanapun, acara keagamaan berskala besar
memang berisiko tinggi mempercepat penularan penyakit ini karena model
interaksi yang biasanya berkerumun tak berjarak.
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengambil keputusan menunda Munas Ulama dan
Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang sedianya akan dilaksanakan pada 18-19
Maret 2020 di Pesantren Al-Anwar Rembang, hal itu didasari kesadaran tersebut.
Namun
tradisi khas warga NU, yaitu mencium tangan sesepuh dan bersalaman antarwarga,
bukanlah tradisi yang dapat begitu saja diubah. Barokah kiai dan nyai bernilai
sangat tinggi bagi para nahdliyin sehingga tak dapat dibayangkan tingkat
kesulitan ”memasarkan” tradisi baru social distancing (mengambil jarak fisik).
Begitu juga tradisi komunal seperti makan dan tidur bersama. Tradisi-tradisi
ini membawa risiko penularan virus yang lebih tinggi.
Maka,
dengan perspektif kaidah dar’u al-mafasid muqoddamun ’ala jalbi al-mashalih
(mencegah keburukan diutamakan dari mendapatkan kebaikan), para pemimpin NU
bersepakat untuk menunda perhelatan yang akan dihadiri ribuan orang tersebut.
Pemerintah
Indonesia belum mengatur hal ini dengan tegas. Namun, beberapa negara telah
membatasi kegiatan agama berskala massal, misalnya Iran, Arab Saudi, Korea
Selatan, dan Singapura. Dalam kondisi tantangan global seperti ini, kita memang
dapat mengobservasi respons kepemimpinan nasional yang berbeda-beda.
Arab
Saudi mengambil keputusan drastis melarang umrah dan mengosongkan Masjidil
Haram untuk sterilisasi. Alhasil, sampai hari ini tercatat 62 kasus tanpa
kematian. Singapura berhasil menekan penyebaran kasus infeksi. Taiwan
menjalankan strategi komprehensif berbasis pengalaman manajemen SARS.
Hasilnya,
sebagai negara yang sangat rentan karena kedekatan geografis dengan Wuhan,
Taiwan mencatatkan 50 kasus dengan satu kematian akibat virus korona.
Sementara
itu, Korea Selatan dan Italia mengumumkan kasus pertama pada akhir Januari
2020. Korsel segera memberlakukan kebijakan ketat dan berhasil menahan laju
penyebaran virus. Italia merespons dengan lebih saksama setelah angka infeksi
dan kematian melejit. Akibatnya, saat ini Italia menghadapi epidemi yang belum
dapat dikendalikan sepenuhnya. Tingkat fatalitas dan jumlah kasus per 1 juta
orang Italia bahkan telah melampaui China.
Apabila
dianalisis dengan menggunakan Eisenhower Matrix, yaitu konsep prioritas
berdasarkan kegentingan (urgency) dan tingkat pentingnya (importance), ada
beberapa hal yang dapat kita simpulkan. Italia dan negara-negara lain yang
cukup terlambat merespons situasi cenderung bekerja di ruang kuadran
”genting-penting”. Sebelum menjadi genting, dianggap belum perlu direspons
dengan saksama. Problemnya, kuadran ini membuat negara jadi tergesa-gesa dan
ceroboh.
Negara-negara
yang berhasil ternyata berfokus pada kuadran ”penting-belum genting”, tidak
menunggu terjadi ledakan persoalan untuk bertindak. Dengan begitu, negara
berhasil mengantisipasi dan menahan wabah.
Jelas
sekali, kepemimpinan menentukan segala-galanya. Peter Drucker menyebutkan,
management is doing things right, while leadership is doing the right things.
Dalam konteks ini, kita membutuhkan pemimpin manajerial yang memiliki kedua
aspek tersebut. Bukan hanya pemahaman atas persoalan, melainkan cara pandang
atau paradigma atas persoalan menjadi aspek penting dalam ketepatan strategi
respons pemimpin.
Perdana
Menteri Singapura Lee Hsien Loong menunjukkan hal ini dalam pidatonya mengenai
wabah penyakit ini. Ia membeberkan langkah-langkah dan strategi dengan tajam,
runut, jelas, dan tegas sehingga publik tahu apa yang perlu mereka lakukan. Ia
juga menyampaikan hal-hal yang lebih fundamental, yaitu bagaimana Singapura
sebagai bangsa akan melewati bencana ini dengan bersatu dan bergotong royong.
Sebagai
pandemi, seluruh dunia perlu bahu-membahu dan saling belajar. Indonesia dapat
menggunakan berbagai contoh negara-negara lain untuk membangun sendiri sistem
kepemimpinan dalam masa krisis.
Demi
menyelamatkan nyawa warga negara Indonesia dan memperjuangkan perdamaian di
bumi, Presiden Joko Widodo perlu memimpin timnya untuk mengakselerasi dan
memperkuat strategi penanggulangan virus korona di bumi Indonesia. Saatnya
bertindak dengan strategis dan taktis demi bangsa. []
KOMPAS,
15 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar