KH Ahmad Syaikhu
Tokoh NU Pendiri Pesantren Al-Hamidiyah Depok
Jika melakukan
pencarian Ahmad Syaikhu di Google, maka mesin pencari itu akan mengarahkan
kepada seorang pejabat di Bekasi dan segala aktivitasnya. Padahal ada Ahmad
Syaikhu lain yang populer di masa orde lama dan orde baru. Dialah tokoh pendiri
Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok. Juga tokoh NU kenamaan yang perannya tak
hanya nasional, tapi juga internasional.
Namun, peran dan jasa
KH Ahmad Syaikhu jarang sekali diketahui orang, bahkan mungkin oleh warga NU
sendiri. Penulisan namanya pun tidak seragam ada yang menulis Achmad Syaichu,
Achmad Syaikhu, Ahmad Syaichu, Ahmad Syaikhu. Untuk memudahkan, dalam tulisan
ini menggunakan yang disebut terakhir.
Riwayat Masa Kecil
dan Pendidikannya
KH Ahmad Syaikhu
dilahirkan di daerah Ampel, Surabaya, pada Selasa Wage, 29 Juni 1921. Ia adalah
putra bungsu dari dua bersaudara pasangan H. Abdul Chamid dan Ny Hj Fatimah.
Pada usia 2 tahun ia sudah yatim, ditinggal wafat ayahnya. Sepeninggal ayahnya,
Ahmad Syaikhu bersama kakaknya, Achmad Rifa'i, diasuh ibunya.
Untuk memperoleh
pendidikan agama, Syaikhu belajar kepada Kiai Said, guru mengaji bagi anak-anak
di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun ia sudah mengkhatamkan Al-Qur'an 30
Juz. Selain belajar agama, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Mardi
Oetomo, sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah.
Tak lama belajar di
sekolah ini, oleh H. Abdul Manan, ayah tirinya, dipindahkan ke Madrasah
Tashwirul Afkar. Lembaga pendidikan ini didirikan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH
Mas Mansur, dan KH Dahlan Ahyad. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai
cikal-bakal Nahdlatul Ulama.
Untuk membantu
meringankan beban ibunya yang harus menghidupi putra-putranya, setelah H. Abdul
Manan wafat, pada usia kanak-kanak Syaikhu sudah sudah mulai bekerja di
perusahaan sepatu milik, Mohammad Zein bin H. Syukur. Dan terpaksa untuk
beberapa lama ia tidak melanjutkan sekolah.
Syaikhu kembali ke
bangku sekolah sesudah selama dua tahun bekerja dan memiliki bekal yang relatif
cukup. Ia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan, sebuah lembaga pendidikan yang juga
didirikan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah. Sambil belajar, ia kembali bekerja
pada seorang tukang jahit kenamaan di Pacar Keling, Mohamad Yasin. Di Nahdlatul
Wathan ia dibimbing seorang guru yang kemudian sangat mempengaruhi
perkembangannya yaitu KH Abdullah Ubaid. Selain itu ia juga berguru kepada KH
Ghufron untuk belajar ilmu fikih.
Tahun 1937, setamat
dari Nahdlatul Wathan, Ny Fatimah yang sudah dua kali menjanda diperistri KH
Abdul Wahab Hasbullah. Di bawah bimbingan ayah tirinya itulah Syaikhu
berkembang menjadi pemuda yang menonjol. Kepemimpinannya mulai tumbuh.
Sekolah sambil
bekerja seolah-olah menjadi pola hidup pemuda Syaikhu. Setamat dari Nahdlatul
Wathan, ia kembali bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut. Selama
bekerja di bengkel itu, ia melakukan kegiatan dakwah di lingkungan kawan-kawan
sekerja.
Setahun kemudian,
1938, KH Abdul Wahab Chasbullah mengirimkan Syaikhu ke Pesantren Al-Hidayah,
Lasem asuhan KH Ma'shum. Selama di pesantren ini, ia menjadi santri kesayangan
KH Ma'shum. Sesudah 3 tahun belajar di Lasem, ia terpaksa harus boyong ke
Surabaya, karena ia terserang penyakit tipes (typus) yang cukup serius.
Pada tanggal 5
Januari 1945, pada usia 24 tahun, Syaikhu mempersunting Solichah, putri Mohamad
Yasin, penjahit kondang asal Pacar Keling yang pernah menjadi majikannya.
Sesudah berkeluarga, ia membuka home industry sepatu di rumahnya, dengan 15
orang karyawan.
Berjuang melalui NU
Ketika terjadi
penyerbuan tentara Sekutu ke kota Surabaya, ia bersama istrinya mengungsi ke
Bangil. Pada tahun 1948, sesudah Surabaya kembali aman, ia pulang ke kota
kelahirannya. Mulailah ia terjun sebagai sebagai pengajar di Madrasah NU. Di
samping mengajar, ia juga menjadi Ketua Ranting NU Karang Menjangan. Itulah
awal mula Syaikhu mulai terlibat di organisasi NU.
Pada kepengurusan NU
Cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan
Pimpinan Umum (tanfidziyah), bersama KH Thohir Bakri, KH Thohir Syamsuddin dan
KH A. Fattah Yasin. Karier Syaikhu di organisasi terus menanjak dengan cepat.
Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPRDS Kota Besar
Surabaya.
Awal tahun 1950-an ia
mendaftarkan diri menjadi pegawai pemerintah dan bekerja di Kantor Pengadilan
Agama Surabaya dan kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala.
Baru setahun di Pengadilan Agama, ia pindah ke Kantor Agama Kotapraja Surabaya.
Pada tahun 1953,
Syaikhu terpilih menjadi ketua LAPUNU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah
pemilihan Jawa Timur. Dan pada pemilu 1955, ia diangkat menjadi anggota DPR
dari Fraksi NU, dan pada tanggal 25 November 1958 ia ditunjuk sebagai Ketua
Fraksi NU.
Dalam kurun waktu 15
tahun sejak ia menjadi anggota DPRDS di Surabaya, akhirnya ia mencapai puncak
karir di gelanggang politik, dengan menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966. Di NU
sendiri ia pernah menjadi salah seorang ketua PBNU, sampai tahun 1979 (ketika
berlangsung Muktamar NU di Semarang).
Kepemimpinan dan
ketokohan KH Ahmad Syaikhu tidak hanya diakui secara nasional, melainkan juga
sampai ke level internasional. Pengakuan itu terbukti dengan dipilihnya KH Ahmad
Syaikhu sebagai Presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) dalam
konferensinya yang pertama di Bandung, tanggal 6-14 Maret 1965.
KH Ahmad Syaikhu yang
dikenal sebagai pengagum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu berhasil
mengembangkan misi dakwah Islamiyah dan misi perjuangan bangsa Indonesia dalam
pentas politik internasional.
Sekian lama KH Ahmad
Syaikhu menekuni dunia politik, tak menyurutkan perhatian dan minatnya dalam
dunia dakwah Islamiyah. Malahan semangat mengembangkan dakwah Islamiyah itulah
yang dijadikan motivasi dalam keterlibatannya di pentas politik. Pada tanggal
27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1978, ia
mendirikan organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, yaitu Ittihadul
Muballighin. Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkannya menuju terminal
pengabdian terakhirnya, yaitu dunia dakwah dan pesantren.
Pesantren
Al-Hamidiyah yang kini berdiri cukup megah di daerah Depok, merupakan saksi
bisu yang menunjukkan betapa besar dan luhurnya cita-cita yang dikandung KH
Ahmad Syaikhu. Dari pesantren juga berakhir di pesantren. []
(Abdullah Alawi, dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar