Mengenal
Generasi Tabi’in dan Urgensinya dalam Kajian Hadits
Setelah masa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, pengajaran Islam dilanjutkan
kalangan sahabat. Para sahabat ini berdiaspora ke berbagai daerah, baik untuk
berdakwah maupun tugas kekhalifahan. Mereka berjumpa dengan generasi
selanjutnya yang tidak berjumpa Nabi semasa hidupmelanjutkan dakwah dan ajaran
Islam.
Generasi setelah
sahabat ini disebut tabi’in. Menurut ulama hadits, semisal seperti dicatat oleh
Imam as Suyuthi dalam Tadribur Rowi, definisi tabi’in yang masyhur adalah:
orang-orang yang berjumpa dengan sahabat dalam keadaan Muslim, serta wafat juga
dalam keadaan Muslim.
Disebabkan sanad
adalah salah satu elemen penting sebuah hadits, maka mengenal generasi tabi’in
dan cara penyandaran hadits mereka kepada Nabi maupun generasi sahabat menjadi
patut dicermati. Nabi Muhammad dan generasi sahabat yang notabene menjumpai beliau,
dan mengamalkan Islam sebagaimana mereka ketahui sendiri dari Nabi, adalah
rujukan berislam generasi setelahnya.
Ajaran-ajaran Nabi
yang tercatat dalam hadits mesti dilakukan penelusuran riwayat, demi mengetahui
keabsahannya. Ulama hadits dan sejarah menilai pentingnya membagi kelompok
generasi sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi setelahnya, salah satunya
sebagai cara menilai kesahihan suatu hadits baik segi ketersambungan sanad atau
pribadi perawinya.
Masa para tabi’in ini
merentang dari pasca wafatnya Nabi, sampai sekitar 150 H. Pakar rijalul hadits
atau biografi perawi membuat klasifikasi tentang tabi’in ini. Secara garis
besar, pembagian tabiin ini dibagi menjadi generasi tabi’in tua (akbarut
tabi’in) dan generasi tabi’in yang lebih muda (shigharut tabi’in) salah satunya
berdasarkan kedekatan dengan masa Nabi.
Sosok tabi’in yang
masyhur dari kalangan tua semisal Said bin Musayyib, Hasan Al Basri, dan Uwais
al Qarni, yang di daerahnya masing-masing dinilai sebagai tabi’in paling
istimewa.Kemudian dari golongan tabi’in muda yang lebih jauh dari masa Nabi,
semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas.
Tokoh yang membuat
klasifikasi tabi’in antara lain Imam Muslim, Imam Ibnu Sa’ad, dan Imam al
Hakim. Nama yang disebut terakhir membuat sampai 15 tingkatan tabi’in, dan di
urutan pertama adalah tabi’in yang berjumpa sepuluh orang yang dikabarkan masuk
surga (al-‘asyarah mubasysyarun bil jannah).
Mengenali posisi
generasi seorang perawi itu penting karena berkaitan erat dengan kesahihan
hadits. Jika seorang pengkaji hadits belum mengidentifikasi tokoh perawi dalam
sanad, maka penilaian atas hadits tersebut bisa kurang tepat.
Mengapa sedemikian
urgen mengenal generasi ini? Terkait posisi tabi’in, dikenal istilah hadits
mursal dan hadits maqthu’. Patut diketahui bahwa berdasarkan penyandarannya
dalam sanad dan matan, hadits dibagi menjadi tiga: marfu’, yaitu hadits-hadits
yang disandarkan pada Nabi; kemudian hadits mauquf, yaitu hadits yang
disandarkan kepada sahabat; dan kemudian hadits maqthu’, yang riwayatnya
disandarkan pada perilaku tabi’in.Jika riwayat yang disandarkan kepada tabi’in
ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan dengan Nabi atau generasi sahabat,
maka mayoritas ulama tidak menjadikannya hujjah suatu hukum.
Meskipun generasi
tabi’in hanya berselisih satu generasi dengan Nabi, namun karena masih terpaut
kalangan sahabat, perkataan tabi’in yang disandarkan langsung kepada Nabi
secara umum dinilai terputus sanadnya. Oleh para ulama hadits keadaan ini
disebut hadits mursal, yaitu hadits yang perawi dari kalangan sahabat tidak
disebutkan, dam kebanyakan ulama menilainya sebagai hadits dla’if. Demikian dari
sudut pandang ilmu hadits, mengenal tabi’in itu penting. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar