Kemunduran Islamisme
Oleh: Azyumardi Azra
Melanjutkan tentang makna `Islamisme', ada pula kalangan akademisi
Amerika yang menolak pengertian `Islamisme' yang oleh sebagian ahli dianggap
semacam padanan bagi istilah lain, seperti `Islamo-fascism' atau
`fundamentalisme'. Akademisi yang bersikap demikian, misalnya Daniel Varisco,
guru besar Universitas Hoffstra, Long Islands New York, yang memandang istilah
tersebut tidak dapat diterima karena mengandung bias tertentu pada Islam.
Menurut Varisco, kalau ada Islamisme, mengapa tidak ada
Kristianisme, karena agama terakhir ini dalam sejarahnya juga bukan tidak
sering terlibat dalam berbagai bentuk kekerasan. Imam Feisal Abdul Rauf,
penggagas masjid di Lower Manhattan, New York City, yang dianggap terlalu dekat
dengan lokasi `Ground Zero' 9/11, memandang istilah Islamisme tidak menolong
bagi terciptanya pemahaman lebih baik terhadap Islam. Sebaliknya, istilah
Islamisme dengan cakupan makna dan konotasi yang tercakup di dalamnya dapat meningkatkan
ketegangan di antara masyarakat Barat dan kaum Muslimin.
Karena keberatan-keberatan itu, sebagian akademisi lain memberikan
beberapa kualifikasi meski tidak selalu memadai. James Piscatori, ahli tentang
politik Islam yang lama berkiprah di Oxford Centre for Islamic Studies, secara
hati-hati mengartikan Islamisme sebagai [ideologi yang dipegang] Muslimin yang
memiliki komitmen pada aksi politik untuk mengimplementasikan apa yang mereka
pandang sebagai agenda Islam".
Don Emmerson, ahli tentang Indonesia (Indonesianis) dari
Universitas Stanford, Palo Alto, California, menambahkan, "Islamisme
adalah komitmen dan isi dari agenda [Islam] tersebut".
Hemat saya, pengertian ini masih perlu penjelasan lebih lanjut
karena umumnya, Islamisme tetap dipahami secara pejoratif; yakni ideologi
dengan praksis kekerasan yang dipegangi dan diimplementasikan individu dan
kelompok Muslim tertentu dalam upaya mencapai agenda- agenda mereka, seperti
pembentukan `negara Islam' dan penegakan syari'ah. Padahal, jelas ada orang dan
kelompok Muslimin yang juga memiliki komitmen pada ideologi Islamisme berusaha
mencapai agenda Islam dengan cara-cara damai melalui proses politik demokratis
konstitusional.
Terlepas dari perbedaan pendekatan dan metode, Islamisme memiliki
agenda untuk meraih kekuasaan politik. Menurut para pendukung Islamisme, hanya
dengan memegang politik dan kekuasaan, agenda seperti konstitusi Islam dan
penegakan syari'ah oleh negara dapat diwujudkan.
Jika dalam beberapa tahun terakhir banyak pengamat menyatakan
adanya kemerosotan Islamisme, fenomena itu benar di banyak negara berpenduduk
mayoritas Muslim di Asia Barat dan Afrika Utara (WANA/West Asia and North
Africa) dan Asia Selatan. Banyak negara di kawasan ini mengalami sejarah
panjang dalam pergumulan dan tarik-menarik yang melibatkan kekuatan Islamisme
sejak masa kemerdekaan pasca-Perang Dunia II.
Sejak masa itu, sampai waktu lebih belakangan, terjadi kontestasi
antara kekuatan rezim otokratik, apakah militer ataupun sipil yang berhadapan
dengan kelompok dan organisasi Islamis, seperti al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir
atau Jama'ati Islami di Pakistan. Kedua organisasi ini menyebar ke
negara-negara Muslim lain dengan berbagai ramifikasinya.
Dari perspektif Islamisme, kontestasi ini se makin mendapatkan
dasar ideologisnya. Isla mis me berhadapan dengan ideologi negara yang tidak
kompatibel dengan Islam. Bahkan, terdapat ideologi yang bertentangan dengan
Islam sejak dari Kemalisme di Turki, Baathisme di Irak dan Syria.
Hasilnya adalah ledakan perlawanan kekerasan berkepanjangan (insurgency) di banyak
negara di dunia Muslim. Kekerasan yang bukan tidak termasuk terorisme bisa
meledak kapan saja memunculkan apa yang sering disebut sebagai `non-state
terrorism'. Aksi terorisme seperti ini juga muncul sebagai balasan terhadap
aksi kekerasaan atau terorisme yang dilakukan negara (state-sponsored terrorism).
Akibat kontestasi dan kekerasan berkepanjangan itu, fenomena
paling menonjol di banyak negara mayoritas Muslim adalah bertahannya
"unbroken vicious circles of violence or terrorism"--lingkaran setan
kekerasan atau terorisme yang tidak pernah bisa diselesaikan.
Keadaan nestapa seperti ini mengakibatkan tidak bisa
berlangsungnya pembangunan untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat.Mayoritas negara berpenduduk Muslim di banyak bagian dunia berada dalam
kemiskinan. Mereka juga tidak mampu meningkatkan kualitas hidup warganya dalam
berbagai segi sejak dari pendidikan, lapangan kerja, dan kesejahteraan.
Sementara itu, segelintir negara Muslim yang kaya minyak dan gas,
tidak mampu memanfaatkan kekayaan alamnya untuk peningkatan kualitas SDM
masing-masing. Satu per satu negara-negara kaya ini terjerumus ke dalam
fenomena yang disebut para ahli sebagai `oil curse', kutukan minyak. []
REPUBLIKA, 05 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar