Larangan Penimbunan atau
Monopoli Dagang dalam Islam
Monopoli dari sudut pandang bisnis diartikan
sebagai suatu kondisi bisnis di mana ada satu perusahaan yang memiliki layanan
yang dibutuhkan oleh banyak orang. Dengan demikian, perusahaan ini ada dalam
kondisi tidak memiliki pesaing (competitor). Perusahaan yang bersifat
monopoli, dapat mengambil keuntungan yang maksimal akibat tekanan yang
diberikannya terhadap pasar.
Praktik monopoli yang kita maksudkan di sini
adalah praktik menimbun harta sehingga menyebabkan barang dan harga menjadi
naik karenanya. Praktik membuat langka barang di pasar akibat aksi penimbunan
inilah yang disebut monopoli. Dari sudut pandang syara’, Al Fayoumy,
mendefinisikan monopoli atau ihtikar, sebagai berikut:
احتكر
زيد الطعام: إذا حبسه ارادة الغلاء
Artinya: Sebuah kalimat "Zaid telah
memonopoli makanan, maksudnya adalah Zaid menahan makanan tersebut untuk tujuan
mahalnya harga." (Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayoumy al-Muqry, Al
Misbahul al Munir fî Gharîbi al-Syarhi al-Kabîr, Kairo: Daru al-Ma’ârif,
2016: 90)
Hukum asal praktik monopoli adalah haram. Ada
banyak dasar dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha' untuk menetapkan status
haramnya monopoli. Rasulullah ﷺ bersabda:
من
احتكر حكرة يريد أن يغلى بها على المسلمين فهو خاطئ وقد برئت منه ذمة الله
ورسوله" رواه أحمد والحاكم عن أبى هريرة في روايات في النهى عن الاحتكار.
Artinya: "Di sini terdapat pengecualian
jika yang dimaksudkan untuk memahalkan harga barang. Barangsiapa menahan
peredaran barang untuk niat membuat paceklik kaum Muslimin, maka dia bersalah
(berdosa). Aku berlepas diri daripadanya terhadap tanggung jawabnya di hadapan
Allah ﷻ dan Rasul-Nya." Hadits
riwayat Ahmad dan Al Hakim dari jalur sanad Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
dalam bab riwayat larangan monopoli. (Muhammad bin Ahmad al-Anshary
al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Beirut: Daru al-Fikr, tt.,
9/204).
Al-Khathi’ merupakan isim fail
dari khatha-a yang menunjukkan maka orang yang bersalah. Imam
Al-Syaukany dalam Nailu al-Athar, juz 5 halaman 250, menjelaskan
maknanya sebagai orang yang berdosa dan telah berbuat maksiat akibat
perbuatannya melakukan penimbunan/monopoli.
Ada banyak hadits lain yang senada dengan di
atas, seluruhnya menunjukkan pengertian larangan dari Baginda Rasulillah ﷺ. Dalam hadits
riwayat sahabat Umar radliyallahu ‘anhu, beliau Rasulullah ﷺ menyampaikan ancaman:
قال
عمر: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه
الله بالإفلاس أو بجذام
Artinya: “Umar berkata: Aku mendengar
Rasulullah ﷺ bersabda: Barangsiapa
melakukan monopoli makanan atas orang Muslim, maka Allah ﷻ akan timpakan
kebangkrutan dan penyakit judzam.” (Al-Hafidh ‘Imaduddin Abu al-Fida’
Ismail bin Katsir, Tafsir Al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: Maktabah Aulâdu
al-Syeikh li al-Turath, 2000: 1/492)
Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa
akibat perbuatan orang yang melakukan monopoli adalah kebangkrutan dan penyakit
judzam. Mengaitkan praktik monopoli dengan penyakit judzam
(sejenis lepra) adalah memang hal yang aneh. Sebuah hal yang tentunya Allah ﷻ dan Rasul-Nya yang
tahu. Namun, bila mengaitkan antara praktik monopoli dengan kebangkrutan,
memang ada benarnya. Akibat ulah satu pihak oknum yang menguasai pasar barang,
ulah penimbunannya bisa menyebabkan krisis bagi satu negara.
Dalam kesempatan lain, sahabat Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu berkata, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
من
احتكر حكرة يريد أن يغلي بها على المسلمين فهو خاطئ, رواه أحمد
Artinya: “Barangsiapa menimbun barang yang
dibutuhkan orang Muslim, dengan niat membuatnya mahal (paceklik), maka dia
orang yang bersalah (pendosa). (HR. Ahmad)
Imam Al-Syaukany mengomentari semua hadits
yang bercerita tentang bab monopoli ini, sebagai berikut:
لا
شك أن أحاديث الباب تنهض بمجموعها للإستدلال على عدم جواز الإحتكار
Artinya: “Tidak diragukan lagi bahwa
sesungguhnya semua hadits dalam bab ini secara global membangkitkan arah dalil
akan ketidakbolehan praktik monopoli.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad
Al-Syaukani, Nailu al-Authâr Syarah Muntaqiy al-Akhbâr min Ahâdîthi Sayyida
al-Akhbâr, Maktabah Mushthofa al-Halaby, tt., 5/250)
Imam Khatib Al-Syirbiny dalam Mughny
al-Muhtâj, Juz 2 halaman 38 menjelaskan keharaman praktik monopoli, dengan
ulasannya sebagai berikut:
ويحرم
الإحتكار للتضييق على الناس
Artinya: “Haram melakukan monopoli karena
niat menyulitkan orang banyak.” (Syamsudin Muhammad bin Ahmad Al-Khathib
al-Syirbiny, Mughny al-Muhtâj, Beirut: Daru al-Ma’rifah, 1997:
2/38).
Dari sudut pandang ilmu ekonomi, jika
permintaan bertambah dan jumlah barang berkurang, maka secara otomatis harga
barang akan menjadi naik. Konsep ini sering dipergunakan oleh banyak pelaku
ekonomi guna melakukan monopoli barang, demi meraup keuntungan yang
diinginkannya akibat inflasi harga. Oleh karena hal inilah maka praktik
monopoli adalah termasuk perbuatan zalim. Al-Kassâny menjelaskan:
ولأن
الاحتكار من باب الظلم لأن ما بيع في المصر فقد تعلق به حق العامة فإذا امتنع
المشتري عن بيعه عند شدة حاجتهم إليه فقد منعهم حقهم ومنع الحق عن المستحق ظلم
وأنه حرام وقليل مدة الحبس وكثيرها سواء في حق الحرمة لتحقق الظلم
Artinya: “Sesungguhnya praktik monopoli
adalah termasuk bab kezaliman, karena apa yang dijual di pasar betul-betul
berhubungan dengan hajat umum masyarakat. Jika seorang pembeli terhalang dari
membelinya karena sangat membutuhkannya, maka sebab praktik menahannya penjual
atas pembeli dari mendapatkan hak serta menahan hak dari yang berhak menerima
adalah kezaliman, sehingga haram. Baik jangka waktu sebentar maupun lama upaya
penahanan tersebut, hukumnya adalah sama dalam keharamannya karena nyatanya
sifat zalim.” (Abu Bakar Mas’ud bin Ahmad al-Kassâny, Badai’u al-Shanai’ fî
Tartîbi al-Syarâi’, Beirut: Daru al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1986 M, Juz 5, hal.
129).
Secara tegas al-Kassâny menyampaikan
keharaman dari praktik monopoli ini karena syarat kezaliman. Namun, al-Kassâny
sedikit agak memberikan batasan bahwa barang yang dilarang ditimbun adalah
barang yang menjadi hajat hidup orang banyak. Baik lama atau sebentar upaya
penimbunan itu dilakukan oleh penjual, hukumnya adalah haram.
Walhasil, praktik monopoli adalah haram. Ia
termasuk bagian dari kezaliman. Praktik monopoli yang dilarang adalah menimbun
harta atau barang yang menjadi hajat hidup orang banyak. Baik lama atau
sebentar, upaya penimbunan yang menyebabkan kelangkaan barang di pasaran itu
hukumnya adalah sama-sama haram. Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Ponpes Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar