Jumat, 06 September 2019

(Ngaji of the Day) Larangan Penimbunan atau Monopoli Dagang dalam Islam


Larangan Penimbunan atau Monopoli Dagang dalam Islam

Monopoli dari sudut pandang bisnis diartikan sebagai suatu kondisi bisnis di mana ada satu perusahaan yang memiliki layanan yang dibutuhkan oleh banyak orang. Dengan demikian, perusahaan ini ada dalam kondisi tidak memiliki pesaing (competitor). Perusahaan yang bersifat monopoli, dapat mengambil keuntungan yang maksimal akibat tekanan yang diberikannya terhadap pasar. 

Praktik monopoli yang kita maksudkan di sini adalah praktik menimbun harta sehingga menyebabkan barang dan harga menjadi naik karenanya. Praktik membuat langka barang di pasar akibat aksi penimbunan inilah yang disebut monopoli. Dari sudut pandang syara’, Al Fayoumy, mendefinisikan monopoli atau ihtikar, sebagai berikut:

احتكر زيد الطعام: إذا حبسه ارادة الغلاء

Artinya: Sebuah kalimat "Zaid telah memonopoli makanan, maksudnya adalah Zaid menahan makanan tersebut untuk tujuan mahalnya harga." (Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayoumy al-Muqry, Al Misbahul al Munir fî Gharîbi al-Syarhi al-Kabîr, Kairo: Daru al-Ma’ârif, 2016: 90)

Hukum asal praktik monopoli adalah haram. Ada banyak dasar dalil yang dipergunakan oleh para fuqaha' untuk menetapkan status haramnya monopoli. Rasulullah bersabda:

من احتكر حكرة يريد أن يغلى بها على المسلمين فهو خاطئ وقد برئت منه ذمة الله ورسوله" رواه أحمد والحاكم عن أبى هريرة في روايات في النهى عن الاحتكار.

Artinya: "Di sini terdapat pengecualian jika yang dimaksudkan untuk memahalkan harga barang. Barangsiapa menahan peredaran barang untuk niat membuat paceklik kaum Muslimin, maka dia bersalah (berdosa). Aku berlepas diri daripadanya terhadap tanggung jawabnya di hadapan Allah dan Rasul-Nya." Hadits riwayat Ahmad dan Al Hakim dari jalur sanad Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu dalam bab riwayat larangan monopoli. (Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’ân, Beirut: Daru al-Fikr, tt., 9/204).

Al-Khathi’ merupakan isim fail dari khatha-a yang menunjukkan maka orang yang bersalah. Imam Al-Syaukany dalam Nailu al-Athar, juz 5 halaman 250, menjelaskan maknanya sebagai orang yang berdosa dan telah berbuat maksiat akibat perbuatannya melakukan penimbunan/monopoli. 

Ada banyak hadits lain yang senada dengan di atas, seluruhnya menunjukkan pengertian larangan dari Baginda Rasulillah . Dalam hadits riwayat sahabat Umar radliyallahu ‘anhu, beliau Rasulullah menyampaikan ancaman:

قال عمر: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالإفلاس أو بجذام

Artinya: “Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa melakukan monopoli makanan atas orang Muslim, maka Allah akan timpakan kebangkrutan dan penyakit judzam.” (Al-Hafidh ‘Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir, Tafsir Al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: Maktabah Aulâdu al-Syeikh li al-Turath, 2000: 1/492)

Rasulullah menegaskan bahwa akibat perbuatan orang yang melakukan monopoli adalah kebangkrutan dan penyakit judzam. Mengaitkan praktik monopoli dengan penyakit judzam (sejenis lepra) adalah memang hal yang aneh. Sebuah hal yang tentunya Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Namun, bila mengaitkan antara praktik monopoli dengan kebangkrutan, memang ada benarnya. Akibat ulah satu pihak oknum yang menguasai pasar barang, ulah penimbunannya bisa menyebabkan krisis bagi satu negara. 

Dalam kesempatan lain, sahabat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata, bahwasanya Rasulullah bersabda:

من احتكر حكرة يريد أن يغلي بها على المسلمين فهو خاطئ, رواه أحمد

Artinya: “Barangsiapa menimbun barang yang dibutuhkan orang Muslim, dengan niat membuatnya mahal (paceklik), maka dia orang yang bersalah (pendosa). (HR. Ahmad)

Imam Al-Syaukany mengomentari semua hadits yang bercerita tentang bab monopoli ini, sebagai berikut: 

لا شك أن أحاديث الباب تنهض بمجموعها للإستدلال على عدم جواز الإحتكار

Artinya: “Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya semua hadits dalam bab ini secara global membangkitkan arah dalil akan ketidakbolehan praktik monopoli.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailu al-Authâr Syarah Muntaqiy al-Akhbâr min Ahâdîthi Sayyida al-Akhbâr, Maktabah Mushthofa al-Halaby, tt., 5/250)

Imam Khatib Al-Syirbiny dalam Mughny al-Muhtâj, Juz 2 halaman 38 menjelaskan keharaman praktik monopoli, dengan ulasannya sebagai berikut: 

ويحرم الإحتكار للتضييق على الناس

Artinya: “Haram melakukan monopoli karena niat menyulitkan orang banyak.” (Syamsudin Muhammad bin Ahmad Al-Khathib al-Syirbiny, Mughny al-Muhtâj, Beirut: Daru al-Ma’rifah, 1997: 2/38). 

Dari sudut pandang ilmu ekonomi, jika permintaan bertambah dan jumlah barang berkurang, maka secara otomatis harga barang akan menjadi naik. Konsep ini sering dipergunakan oleh banyak pelaku ekonomi guna melakukan monopoli barang, demi meraup keuntungan yang diinginkannya akibat inflasi harga. Oleh karena hal inilah maka praktik monopoli adalah termasuk perbuatan zalim. Al-Kassâny menjelaskan:

ولأن الاحتكار من باب الظلم لأن ما بيع في المصر فقد تعلق به حق العامة فإذا امتنع المشتري عن بيعه عند شدة حاجتهم إليه فقد منعهم حقهم ومنع الحق عن المستحق ظلم وأنه حرام وقليل مدة الحبس وكثيرها سواء في حق الحرمة لتحقق الظلم 

Artinya: “Sesungguhnya praktik monopoli adalah termasuk bab kezaliman, karena apa yang dijual di pasar betul-betul berhubungan dengan hajat umum masyarakat. Jika seorang pembeli terhalang dari membelinya karena sangat membutuhkannya, maka sebab praktik menahannya penjual atas pembeli dari mendapatkan hak serta menahan hak dari yang berhak menerima adalah kezaliman, sehingga haram. Baik jangka waktu sebentar maupun lama upaya penahanan tersebut, hukumnya adalah sama dalam keharamannya karena nyatanya sifat zalim.” (Abu Bakar Mas’ud bin Ahmad al-Kassâny, Badai’u al-Shanai’ fî Tartîbi al-Syarâi’, Beirut: Daru al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1986 M, Juz 5, hal. 129). 

Secara tegas al-Kassâny menyampaikan keharaman dari praktik monopoli ini karena syarat kezaliman. Namun, al-Kassâny sedikit agak memberikan batasan bahwa barang yang dilarang ditimbun adalah barang yang menjadi hajat hidup orang banyak. Baik lama atau sebentar upaya penimbunan itu dilakukan oleh penjual, hukumnya adalah haram.

Walhasil, praktik monopoli adalah haram. Ia termasuk bagian dari kezaliman. Praktik monopoli yang dilarang adalah menimbun harta atau barang yang menjadi hajat hidup orang banyak. Baik lama atau sebentar, upaya penimbunan yang menyebabkan kelangkaan barang di pasaran itu hukumnya adalah sama-sama haram. Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Ponpes Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar