Hukum Penguburan Massal
Jenazah Korban Bencana
Di tengah kegentingan bencanya yang datang
tanpa terduga, perawatan jenazah korban bencana sering tidak bisa dilakukan
sebagaiman dalam kondisi normal. Sebagaimana penguburannya dilakukan secara
massal. Lalu bagaimana sebenarnya hukum melakukan penguburan massal jenazah
korban bencana alam?
Teknis Mengubur Jenazah dalam Mazhab Syafi’i
Menurut mazhab Syafi’i, dalam kondisi normal
kita tidak boleh mengubur dua jenazah atau lebih dalam satu liang kubur.
Masing-masing harus disendirikan dengan satu liang kubur. Namun demikian dalam
kondisi darurat kita diperbolehkan mengubur dua jenazah atau lebih dalam satu
liang kubur.
Salah satu contoh kondisi darurat adalah
jumlah jenazah yang banyak dan sulit untuk membuatkan liang kubur bagi
masing-asing jenazah karena terbatasnya lahan. Ulama Nusantara bergelar ‘Alimul
Hijaz (orang alimnya Makkah Madinah) Syekh Nawawi Banten (w 1316 H/1898 M)
menjelaskan:
وَلَا
يَجُوزُ جَمْعُ اثْنَيْنِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ بَلْ يُفْرَدُ كُلُّ وَاحِدٍ
بِقَبْرٍ ... نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ كَأَنْ كَثُرَتِ
الْمَوْتَى وَعَسُرَ إِفْرَادُ كُلِّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ لِضَيْقِ الْأَرْضَ،
فَيُجْمَعُ بَيْنَ الْاِثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ وَالْأَكْثَرِ فَي قَبْرٍ
بِحَسَبِ الضَّرُورَةُ.
Artinya, “Tidak boleh mengumpulkan dua
jenazah dalam satu liang kubur, namun masing-masing harus disendirikan dengan
liang kuburnya... Memang demikian, namun bila kondisi darurat mengharuskan dua
jenazah dikumpulkan dalam satu liang kubur, seperti jenazahnya banyak dan sulit
menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing jenazah karena areanya
terbatas, maka dua jenazah, tiga dan selebihnya boleh dikumpulkan sesuai
kondisi daruratnya,” (Lihat Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi Al-Jawi,
Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, [Beirut, Darul Fikr: tanpa keterangan
tahun], juz I, halaman 163).
Kondisi Darurat Kesulitan Menyediakan Liang
Kubur
Menariknya, ukuran ‘sulit’ dalam kalimat
‘sulit menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing jenazah’, menurut pakar
fiqih Syafi’i Al-Azhar Mesir, Imam Ibnu Qasim Al-‘Abadi (w 992 H/1584 M),
bahkan tidak mengharuskan jenazahnya banyak, namun cukup seperti bila upaya
menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing jenazah berakibat jarak antar
liang kubur berjauhan, sekiran sulit untuk diziarahi karena tidak saling
berdekatan, (Lihat Ibnu Qasim Al-‘Abadi, Hasyiyyatul Imam Ibn Qasim Al-'Abad‘ pada
Hawasyi Tuhfatil Muhtaj bi Syarhil Minhaj, [Mesir, At-Tijariyatul Kubra: tanpa
keterangan tahun], juz III, halaman 173-174).
Namun demikian hal ini tidak disetujui oleh
pakar fiqih Syafi’i asal Dagestan yang berdomisili di Makkah, Syekh Abdul Hamid
As-Syarwani (1301 H), yang lebih memilih pendapat pakar fiqih Syafi’i Al-Azhar
lainnya, Syekh Ali As-Syabramalisi (997-1087 H/1588-1676 M), dengan mengatakan:
وَفِيهِ
نَظَرٌ وَالظَّاهِرُ مَا فِي ع ش مِمَّا نَصُّهُ فَمَتَى سَهُلَ إفْرَادُ كُلِّ
وَاحِدٍ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَلَا يَخْتَصُّ الْحُكْمُ بِمَا
اُعْتِيدَ الدَّفْنُ فِيهِ بَلْ حَيْثُ أَمْكَنَ وَلَوْ غَيْرَهُ وَلَوْ كَانَتْ
بَعِيدًا وَجَبَ حَيْثُ كَانَ يُعَدُّ مَقْبَرَةً لِلْبَلَدِ وَيَسْهُلُ
زِيَارَتُهُ.
Artinya, “Dalam pendapat Ibn Qasim itu ada
kejanggalan. (Ukuran ‘sulit menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing
jenazah’) yang jelas adalah keterangan yang ada dalam catatan Syekh Ali
As-Syabramalisi dari redaksinya yang menyatakan, ‘Maka selama mudah
menyendirikan masing-masing jenazah dengan satu liang kubur, tidak boleh
mengumpulkan dua jenazah dalam satu liang kubur. Hukum ini tidak hanya berlaku
untuk area yang biasa digunakan untuk menguburkan jenazah, bahkan sekira
mungkin meski dengan area selainnya dan meski jauh, maka wajib menyendirikan
jenazah dengan liang kuburnya sekira area tersebut dianggap sebagai area
pekuburan bagi daerah tersebut dan mudah menziarahinya,’” (Lihat Abdul Hamid
As-Syarwani, Hasyiyyah As-Syaikh ‘Abdul Hamid As-Syarwani pada Hawasyi Tuhfah
al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, [Mesir, At-Tijariyatul Kubra: tanpa keterangan
tahun], juz III, halaman 174).
Jenazah Ditumpuk-Tumpuk?
Lalu bagaimana kalau dalam penguburan massal
jenazah ditumpuk-tumpuk antarsatu dengan lainnya? Syekh Ali As-Syabramallisi
menjelaskan:
فَرْعٌ) لَوْ
وُضِعَتْ الْأَمْوَاتُ بَعْضُهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ فِي لَحْدٍ أَوْ فَسْقِيَّةٍ
كَمَا تُوضَعُ الْأَمْتِعَةُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ فَهَلْ يَسُوغُ النَّبْشُ
حِينَئِذٍ لِيُوضَعُوا عَلَى وَجْهٍ جَائِزٍ إنْ وَسِعَ الْمَكَانُ وَإِلَّا
نُقِلُوا لِمَحَلٍّ آخَرَ الْوَجْهُ الْجَوَازُ بَلْ الْوُجُوبُ وِفَاقًا ل م ر سم
عَلَى الْمَنْهَجِ ا هـ
Artinya, “(Cabang permasalahan). Andaikan
sebagian jenazah ditumpuk di atas sebagian yang lain dalam liang lahad atau
dalam suatu kolam sebagaimana sebagian barang ditumpuk di atas barang lainnya,
maka apakah dalam kondisi seperti itu boleh digali untuk ditata ulang sesuai
cara yang benar bila areanya mencukupi, atau bila tidak mencukupi maka dipindah
ke area lain? Jawaban yang tepat adalah boleh, bahkan wajib sesuai pendapat
Syaikh Muhammad ar-Ramli. Demikian dalam keterangan Ibn Qasim al-‘Abadi pada
Syarh Manhaj at-Thullab,” (Lihat Abdul Hamid As-Syarwani, Hasyiyyatus Syekh
‘Abdul Hamid As-Syarwani pada Hawasyi Tuhfatil Muhtaj bi Syarhil Minhaj,
[Mesir: At-Tijariyatul Kubra: tanpa keterangan tahun], juz III, halaman 174).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa
boleh mengubur jenazah lebih dari satu dalam satu liang lahat dalam kondisi
darurat, baik karena jenazahnya banyak atau karena keterbatasan area pemakaman.
Namun yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh menumpuk jenazah atu dengan
lainnya sebagaimana tumpukan barang. Wallahu a‘lam. []
Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar