Jumat, 03 April 2020

(Ngaji of the Day) Tafsir Shiratal Mustaqim: Apa Jalan Lurus Itu?


Tafsir Shiratal Mustaqim: Apa Jalan Lurus Itu?

Menurut Imam Abu Ja’far ibnu Jarir semua kalangan ahli tafsir telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan shiratal mustaqim ialah “jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)”. Namun ketika bicara secara konkrit apa yg dimaksud, Tafsir at-Thabari kemudian menampilkan sejumlah riwayat berbeda untuk mengurai makna konkrit shiratal mustaqim:

1. Kitabullah (Al-Qur’an)

وحدثنا أحمد بن إسحاق الأهوازي، قال: حدثنا أبو أحمد الزبيري، قال: حدثنا حمزة الزيات، عن أبي المختار الطائي، عن ابن أخي الحارث الأعور، عن الحارث، عن علي، قال: «الصراط المستقيم كتاب الله تعالى

2. Islam

حدثني محمود بن خداش الطالقاني، قال: حدثنا حميد بن عبد الرحمن الرواسي، قال: حدثنا علي، والحسن، ابنا صالح، جميعا عن عبد الله بن محمد بن عقيل، عن جابر بن عبد الله: ” {اهدنا الصراط المستقيم} [الفاتحة: ٦] قال: الإسلام

3. Thariq (jalan)

وحدثنا القاسم بن الحسن، قال: حدثنا الحسين بن داود، قال: حدثني حجاج، عن ابن جريج، قال: قال ابن عباس في قوله: ” {اهدنا الصراط المستقيم} [الفاتحة: ٦] قال: الطريق

4. Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar bin Khattab

حدثنا عبد الله بن كثير أبو صديف الآملي، قال: حدثنا هاشم بن القاسم، قال: حدثنا حمزة بن أبي المغيرة، عن عاصم، عن أبي العالية، في قوله: ” {اهدنا الصراط المستقيم} [الفاتحة: ٦] قال: هو رسول الله صلى الله عليه وسلم وصاحباه من بعده: أبو بكر وعمر قال: فذكرت ذلك للحسن، فقال: «صدق أبو العالية ونصح»

Sekarang kita tahu paling tidak ada empat makna yang berbeda. Namun, Tafsir a-Razi punya pandangan tersendiri:

قال بعضهم: الصراط المستقيم: الإسلام، وقال بعضهم: القرآن، وهذا لا يصح، لأن قوله: صراط الذين أنعمت عليهم بدل من الصراط المستقيم، وإذا كان كذلك كان التقدير اهدنا صراط من أنعمت عليهم من المتقدمين، ومن تقدمنا من الأمم/ ما كان لهم القرآن والإسلام، وإذا بطل ذلك ثبت أن المراد اهدنا صراط المحقين المستحقين للجنة،

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa shiratal mustaqim itu Islam atau ada juga yang bilang itu al-Qur’an (lihat kutipan Tafsir at-Thabari di atas). Menurut Imam ar-Razi, pandangan Ini tidak benar, karena ayat selanjutnya (ayat 7) shiratalladzina an’amta ‘alaihim secara nahwu (gramatika Arab) adalah badal atau pengganti yang memperjelas makna shiratal mustaqim di ayat 6.

Ini menunjukkan ayat ihdinas shiratal mustaqim itu berkenaan dengan orang-orang terdahulu (yang telah diberi nikmat), dan orang-orang terdahulu itu tidak memiliki Islam dan Qur’an. Ketika kemungkinan pemahaman di atas dihilangkan, maka makna yang lebih pas adalah: tunjuki kami ke jalan orang-orang yang benar dan berhak mendapatkan surga.

Pendapat Imam ar-Razi kelihatannya diikuti oleh Tafsir al-Maraghi, tapi bukan berarti pendapat yang dikutip Tafsir at-Thabari dibuang semuanya. Syekh Mustafa al-Maraghi mencoba menjembataninya:

وقد أمرنا باتباع صراط من تقدمنا، لأن دين الله واحد فى جميع الأزمان: فهو إيمان بالله ورسله واليوم الآخر، وتخلق بفاضل الأخلاق وعمل الخير وترك الشر، وما عدا ذلك فهو فروع وأحكام تختلف باختلاف الزمان والمكان،

Kita telah diperintah untuk mengikuti jalan orang-orang sebelum kita (ini seperti diungkap oleh Tafsir ar-Razi), karena agama Allah itu satu di setiap jaman, yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hari akhir, dan berakhlak dengan akhlak utama dan amal yang baik serta meninggalkan kejelekan. Selain dari itu adalah perkara cabang dan hukum yang berbeda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Di sini, al-Maraghi tidak menolak pandangan bahwa shiratal mustaqim yang dimaksud adalah agama Allah yang intinya satu, dengan pokok ajaran yang sama, meski berbeda tempat dan waktunya.

Tafsir al-Qurtubi menyebutkan pendapat lain selain yang sudah disebutkan di atas, yaitu:

وقال الفُضيل بن عِيَاض: «الصراط المستقيم» طريق الحج، وهذا خاص والعموم أولى. قال محمد بن الحنفية في قوله عزّ وجل: { ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ } [الفاتحة: 6]: هو دين الله الذي لا يقبل من العباد غيره. وقال عاصم الأحْوَل عن أبي العالية: { ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ } رسول الله صلى الله عليه وسلم وصاحباه من بعده. قال عاصم فقلت للحسن: إن أبا العالية يقول: «الصراط المستقيم» رسول الله صلى الله عليه وسلم وصاحباه، قال: صدق ونصح.

Pertama, disebutkan pendapat Fudhail bin ‘Iyad bahwa shiratal mustaqim itu maksudnya jalan menuju ibadah haji. Kata Imam al-Qurthubi, ini makna khusus, sedangkan makna umum lebih baik. Beliau terus mengutip keterangan dari Muhammad bin al-Hanafiyah bahwa yang dimaksud itu adalah agama Allah. Sedangkan kutipan berikutnya sama dengan yang ada di Tafsir at-Thabari di atas, yaitu makna shiratal mustaqim adalah Rasulullah dan kedua sahabatnya.

Ungkapan Imam al-Qurthubi bahwa makna umum dari shiratal mustaqim lebih baik, boleh jadi dipenuhi oleh Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir:

والصراط المستقيم: الطريق المعتدل: طريق الإسلام الذي بعثت به أنبياءك ورسلك، وختمت برسالاتهم رسالة خاتم النبيين، وهو جملة ما يوصل إلى السعادة في الدنيا والآخرة، من عقائد وأحكام وآداب وتشريع ديني، كالعلم الصحيح بالله والنبوة وأحوال الاجتماع.

Ini jalan yang moderat/tengah. Jalan Islam yang diutus dengan para Nabi dan Rasul, dan ditutup dengan khataman nabiyyin (Nabi Muhammad SAW). Dan ini adalah keseluruhan dari apa yang dapat membawa kepada kebahagiaan di dunia dan akherat, baik dari sisi aqidah, hukum, adab, dan tasyri’ diniy seperti ilmu yang benar tebtang Allah, kenabian dan hal-ihwal kemasyarakatan.

Tafsir Ibn Katsir memberikan kesimpulan yang bagus dari diskusi dan perbedaan pendapat para ulama di atas:

“Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sahabat yang sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar), berarti dia mengikuti jalan yang haq (benar); dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam. Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur’an, yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.”

Terakhir M. Abu Zahrah dalam kitab tafsirnya Zaharatut Tafasir mengingatkan kita semua bahwa doa itu intinya ibadah. Beliau mengutip sebuah riwayat, “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah dibandingkan doa”. (HR Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Ini artinya, kawan-kawan sekalian, doa yang dilakukan pada amalan utama seperti shalat, dan redaksi doanya telah diajarkan langsung oleh Allah pada surat yang utama (al-Fatihah), dan kita baca setiap hari minimal 17 kali (saat shalat fardhu) tentu merupakan sesuatu yang sangat penting. Ihdinas shiratal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus).

Next time, saat kita mengucapkan doa ini, resapilah semua makna doa ini sebagaimana yang telah dijelaskan kandungannya oleh para ulama di atas. Menggetarkan! []

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Tidak ada komentar:

Posting Komentar