Model Pembelajaran KH
Muhammad Ali Alhamidi Matraman
KH Saifuddin Amsir mengakui kealiman, pengusaan ilmu keislaman yang mumpuni dari KH Muhammad Ali Alhamidi (1909-1985 M). Dikarenakan kealimannya, dia memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan tempat tinggalnya, yaitu di wilayah Matraman, Jakarta Pusat.
Banyak jamaah di
Masjid Jami Matraman di Jalan Mataram, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng,
Jakarta Pusat yang terpengaruh pemikirannya. Bahkan, tidak sedikit kerabat dari
KH Saifuddin Amsir yang terpengaruh dengan paham keislaman KH Muhammad Ali Alhamidi.
Dalam melakukan
pembelajaran, KH Muhammad Ali Alhamidi tidak mengajar kitab kuning dengan model
sorogan atau bandongan, seperti ulama Betawi pada umumnya. Tetapi dia memilih
cara diskusi atau mujadalah dengan topik-topik pilihan setiap diskusinya.
Pilihan metode
diskusi atau mujadalah dalam penyampaian dakwah dan pembelajaran keislaman yang
dilakukan oleh KH Muhammad Ali Alhamidi membuktikan tiga hal, yaitu: Pertama,
KH Muhammad Ali Alhamidi terbukti sangat menguasai ilmu dakwah dan tahu cara
memuaskan obyek dakwah (mad`u) atau peserta didik.
Dalam ilmu dakwah,
metode mujadalah sangat efektif digunakan untuk memberikan kepuasan kepada
obyek dakwah agar dapat menerima dakwah secara mantap atau untuk memberikan
kepuasaan peserta didik.
Kedua, KH Muhammad
Ali Alhamidi sangat menguasai teknik diskusi, yaitu dengan melakukan persiapan
ilmu atau materi yang matang, dapat menyampaikan perkataan yang sebaik-baiknya
dan tidak berlebihan; dapat menjauhkan terjadinya perdebatan yang sengit itu
lebih baik dari pada dia turut terlibat di dalamnya.
Kiai Ali Alhamidi
sangat berkhidmat dalam memberikan jawaban atas pertanyan-pertanyaan yang
merupakan suatu tindakan yang bijaksana. Demikian pula jawaban yang ringkas
lagi padat yang disertai dengan teknik-teknik tertentu yang tajam; dia tidak
mencampuri sesuatu yang bukan bidang yang dia kuasai.
Sekiranya terpaksa
harus mencampurinya, maka perkataannya disesuaikan serta disertai dengan
isyarat atau penjelasan bahwa dia belum mempelajarinya secara detail dan
mendalam; dia lemah lembut dan berhati-hati, yakni menaruh perhatian dan
mendengarkan sungguh-sungguh dalam sebuah diskusi agar informasi informasi yang
dikemukakan dalam forum diskusi tersebut menjadi pelajaran bagi anggota
diskusi. Bahkan seseorang dapat mengambil faedah dari hal tersebut.
Kiai Ali memiliki
etiket atau berbudi diskusi yang baik, seperti: tidak memutus pembicaraan orang
yang sedang berbicara, menyebutkan nama orang dengan sebutan yang
sebaik-baiknya dan tidak membeda-badakan antara satu dan yang lainnya.
Kiai Ali juga mampu
memandu dan memberikan kesimpulan dalam diskusi (mujadalah) dengan sangat baik.
Hal inilah yang membuat banyak orang menyukai dakwah atau pembelajaran dari KH
Muhammad Ali Alhamidi.
Ketiga, KH Muhammad
Ali Alhamidi terbukti menguasai ilmu keislaman secara mendalam. Dikarenakan
metode ini mensyaratkan sang pendakwah atau pengajar memiliki penguasaan ilmu
keislaman yang sangat mendalam sehingga bisa mendatangkan respon dan
partisipasi yang tinggi dari obyek dakwah atau peserta didik yang
menggembirakan perasaan atau memuaskan mereka.
Sedangkan untuk bahan
panduan ceramah atau pembelajarannya, KH Muhammad Ali Alhamidi tidak membawa
kitab atau risalah rujukan yang lazim digunakan alim ulama, khususnya di
Betawi, atau membuat makalah. Tetapi dia membuat pointer-pointer materi di
secarik kertas dan menyampaikannya dengan ceramah dan dilanjutkan dengan tanya
jawab atau diskusi (mujadalah).
Namun untuk
pertanyaan yang diajukan dibatasi hanya maksimal untuk lima penanya saja.
Terkadang tempat ceramah dan diskusinya di masjid atau di rumah.
Tempat-tempatnya antara lain di Masjid Said Naum Tanah Abang, Petojo,
Pedurenan, Pos Pengumben, dan Masjid Jami` Matraman.
Mengenai pemahaman
keislaman KH Muhammad Ali Alhamidi, menurut menantunya, Ahmad Syaukani, paham
keislaman dari KH Muhammad Ali Alhamidi ini berpaham “netral”. Dia mengambil
semua pemahaman keislaman yang ketika itu tumbuh berkembang, lalu dia simpulkan
dan sikapi sendiri, menghasilkan pemahaman keislaman ala KH Muhammad Ali
Alhamidi.
Karenanya, dalam
mengaji ke alim ulama, dia hanya mengambil “kunci-kuncinya”, yang
penting-penting saja, menurut pemikirannya. Karenanya, gurunya banyak, seperti
Habib Ali Kwitang, Syeikh Ahmad Surkati, dan lain-lain. Dia juga pandai bergaul
dengan semua kalangan, baik NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, dan lainnya.
Model pembelajaran
dan paham keislamannya yang tidak lazim ini sempat menimbulkan kesalahpahaman
di tengah masyarakat Betawi. KH Saifuddin Amsir, yang merupakan penduduk asli
Matraman, mengisahkan tentang suasana mencekam yang tidak pernah dia lupakan
saat dia kecil, yaitu ketika KH Abdullah Syafi`i, pendiri Perguruan
Asy-Syafi'iyah, akan ceramah di Masjid Jami` Matraman harus dikawal dengan para
pemuda yang membawa golok karena untuk keamanan dan keselamatan KH Abdullah
Syafi`i.
Sebab, saat itu,
Jama`ah dan bahkan sebagian pengurus Masjid Jami` Matraman sudah menjadi
pengikut dari KH Muhammad Ali Alhamidi yang memiliki paham keislaman dan juga
metode ceramah dan pembelajaran yang berbeda dengan KH Abdullah Syafi`i.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan di atas dan yang sebelumnya, saya berpendapat bahwa KH
Muhamamd Ali Alhamidi adalah tipe ulama yang independen dan ”one man show”. Dia
tidak berada di ormas Islam manapun dan tidak berkelompok kepada kelompok ulama
tertentu.
Dalam dakwahnya, dia
mengambil jenis dakwah fardiyah, yaitu ajakan atau seruan ke jalan Allah yang
dilakukan seorang dai (pendakwah) kepada orang lain secara perseorangan dengan
kekuatan dirinya sendiri yang bertujuan untuk memindahkan al-mad`u (obyek
dakwah) pada keadaan yang lebih baik dan diridhai Allah. Dakwah fardiyah
merupakan antonim dari dakwah jama`iyah atau`ammah.
(selesai)
Penulis Rakhmad Zailani
Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Sekretaris
RMI-NU DKI Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar