Jumat, 03 April 2020

Model Pembelajaran KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman


Model Pembelajaran KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman

KH Saifuddin Amsir mengakui kealiman, pengusaan ilmu keislaman yang mumpuni dari KH Muhammad Ali Alhamidi (1909-1985 M). Dikarenakan kealimannya, dia memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan tempat tinggalnya, yaitu di wilayah Matraman, Jakarta Pusat.

Banyak jamaah di Masjid Jami Matraman di Jalan Mataram, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat yang terpengaruh pemikirannya. Bahkan, tidak sedikit kerabat dari KH Saifuddin Amsir yang terpengaruh dengan paham keislaman KH Muhammad Ali Alhamidi.

Dalam melakukan pembelajaran, KH Muhammad Ali Alhamidi tidak mengajar kitab kuning dengan model sorogan atau bandongan, seperti ulama Betawi pada umumnya. Tetapi dia memilih cara diskusi atau mujadalah dengan topik-topik pilihan setiap diskusinya.

Pilihan metode diskusi atau mujadalah dalam penyampaian dakwah dan pembelajaran keislaman yang dilakukan oleh KH Muhammad Ali Alhamidi membuktikan tiga hal, yaitu: Pertama, KH Muhammad Ali Alhamidi terbukti sangat menguasai ilmu dakwah dan tahu cara memuaskan obyek dakwah (mad`u) atau peserta didik.

Dalam ilmu dakwah, metode mujadalah sangat efektif digunakan untuk memberikan kepuasan kepada obyek dakwah agar dapat menerima dakwah secara mantap atau untuk memberikan kepuasaan peserta didik.

Kedua, KH Muhammad Ali Alhamidi sangat menguasai teknik diskusi, yaitu dengan melakukan persiapan ilmu atau materi yang matang, dapat menyampaikan perkataan yang sebaik-baiknya dan tidak berlebihan; dapat menjauhkan terjadinya perdebatan yang sengit itu lebih baik dari pada dia turut terlibat di dalamnya.

Kiai Ali Alhamidi sangat berkhidmat dalam memberikan jawaban atas pertanyan-pertanyaan yang merupakan suatu tindakan yang bijaksana. Demikian pula jawaban yang ringkas lagi padat yang disertai dengan teknik-teknik tertentu yang tajam; dia tidak mencampuri sesuatu yang bukan bidang yang dia kuasai.

Sekiranya terpaksa harus mencampurinya, maka perkataannya disesuaikan serta disertai dengan isyarat atau penjelasan bahwa dia belum mempelajarinya secara detail dan mendalam; dia lemah lembut dan berhati-hati, yakni menaruh perhatian dan mendengarkan sungguh-sungguh dalam sebuah diskusi agar informasi informasi yang dikemukakan dalam forum diskusi tersebut menjadi pelajaran bagi anggota diskusi. Bahkan seseorang dapat mengambil faedah dari hal tersebut.

Kiai Ali memiliki etiket atau berbudi diskusi yang baik, seperti: tidak memutus pembicaraan orang yang sedang berbicara, menyebutkan nama orang dengan sebutan yang sebaik-baiknya dan tidak membeda-badakan antara satu dan yang lainnya.

Kiai Ali juga mampu memandu dan memberikan kesimpulan dalam diskusi (mujadalah) dengan sangat baik. Hal inilah yang membuat banyak orang menyukai dakwah atau pembelajaran dari KH Muhammad Ali Alhamidi.

Ketiga, KH Muhammad Ali Alhamidi terbukti menguasai ilmu keislaman secara mendalam. Dikarenakan metode ini mensyaratkan sang pendakwah atau pengajar memiliki penguasaan ilmu keislaman yang sangat mendalam sehingga bisa mendatangkan respon dan partisipasi yang tinggi dari obyek dakwah atau peserta didik yang menggembirakan perasaan atau memuaskan mereka.

Sedangkan untuk bahan panduan ceramah atau pembelajarannya, KH Muhammad Ali Alhamidi tidak membawa kitab atau risalah rujukan yang lazim digunakan alim ulama, khususnya di Betawi, atau membuat makalah. Tetapi dia membuat pointer-pointer materi di secarik kertas dan menyampaikannya dengan ceramah dan dilanjutkan dengan tanya jawab atau diskusi (mujadalah).

Namun untuk pertanyaan yang diajukan dibatasi hanya maksimal untuk lima penanya saja. Terkadang tempat ceramah dan diskusinya di masjid atau di rumah. Tempat-tempatnya antara lain di Masjid Said Naum Tanah Abang, Petojo, Pedurenan, Pos Pengumben, dan Masjid Jami` Matraman.

Mengenai pemahaman keislaman KH Muhammad Ali Alhamidi, menurut menantunya, Ahmad Syaukani, paham keislaman dari KH Muhammad Ali Alhamidi ini berpaham “netral”. Dia mengambil semua pemahaman keislaman yang ketika itu tumbuh berkembang, lalu dia simpulkan dan sikapi sendiri, menghasilkan pemahaman keislaman ala KH Muhammad Ali Alhamidi.

Karenanya, dalam mengaji ke alim ulama, dia hanya mengambil “kunci-kuncinya”, yang penting-penting saja, menurut pemikirannya. Karenanya, gurunya banyak, seperti Habib Ali Kwitang, Syeikh Ahmad Surkati, dan lain-lain. Dia juga pandai bergaul dengan semua kalangan, baik NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, dan lainnya.

Model pembelajaran dan paham keislamannya yang tidak lazim ini sempat menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat Betawi. KH Saifuddin Amsir, yang merupakan penduduk asli Matraman, mengisahkan tentang suasana mencekam yang tidak pernah dia lupakan saat dia kecil, yaitu ketika KH Abdullah Syafi`i, pendiri Perguruan Asy-Syafi'iyah, akan ceramah di Masjid Jami` Matraman harus dikawal dengan para pemuda yang membawa golok karena untuk keamanan dan keselamatan KH Abdullah Syafi`i.

Sebab, saat itu, Jama`ah dan bahkan sebagian pengurus Masjid Jami` Matraman sudah menjadi pengikut dari KH Muhammad Ali Alhamidi yang memiliki paham keislaman dan juga metode ceramah dan pembelajaran yang berbeda dengan KH Abdullah Syafi`i.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dan yang sebelumnya, saya berpendapat bahwa KH Muhamamd Ali Alhamidi adalah tipe ulama yang independen dan ”one man show”. Dia tidak berada di ormas Islam manapun dan tidak berkelompok kepada kelompok ulama tertentu.

Dalam dakwahnya, dia mengambil jenis dakwah fardiyah, yaitu ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan seorang dai (pendakwah) kepada orang lain secara perseorangan dengan kekuatan dirinya sendiri yang bertujuan untuk memindahkan al-mad`u (obyek dakwah) pada keadaan yang lebih baik dan diridhai Allah. Dakwah fardiyah merupakan antonim dari dakwah jama`iyah atau`ammah.

(selesai)

Penulis Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar