Jumat, 03 April 2020

Zuhairi: Ketika Masjidil Haram dan Masjid Nabi Muhammad Ditutup


Ketika Masjidil Haram dan Masjid Nabi Muhammad Ditutup
Oleh: Zuhairi Misrawi

Setelah jumlah positif corona di Arab Saudi mencapai 1.000 orang, pemerintah yang menjadi pelayan bagi dua kota suci Mekah dan Madinah itu langsung mengambil langkah antisipatif dengan menutup dan mengkarantina tiga kawasan strategis, yaitu Mekah, Madinah, dan Riyadh.

Mekah dan Madinah yang merupakan kota suci dengan latar historis yang panjang hingga ke zaman Nabi Adam merupakan tempat perkumpulan manusia untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, dan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW yang menjadi jantung spiritualitas umat Islam.

Pada hari-hari biasa, dua kota suci tersebut tidak pernah sepi dari para peziarah. Umat Islam dari berbagai penjuru dunia merindukan bisa hadir langsung beribadah di dua kota suci itu. Lihat saja lama antrean jemaah haji kita yang bisa mencapai 25 tahun. Jemaah umrah kita juga semakin membludak, baik orang-orang yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan.

Arab Saudi sebenarnya mendulang keuntungan finansial yang lumayan besar dari ibadah haji dan umrah. Bahkan, saat ini Arab Saudi sedang melakukan perluasan kawasan Masjidil Haram untuk menampung jemaah haji dan umrah dalam jumlah yang besar. Arab Saudi sedang menyusun rencana besar untuk menjadikan umrah sebagai sumber keuangan negara, di samping visi megaprogyek NEOM 2030.

Namun ketika wabah corona mulai merambah Arab Saudi, langkah-langkah preventif dilakukan oleh pihak kerajaan. Langkah yang diambil pertama kali dengan menutup pelayanan ibadah umrah dari berbagai negara yang ditengarai sudah mempunyai pasien positif corona, tak terkecuali Indonesia.

Langkah tersebut terasa berat bagi jemaah umrah, tapi diambil Arab Saudi untuk mencegah dampak yang lebih besar. Masjidil Haram sempat ditutup total untuk para peziarah, termasuk bagi warga Arab Saudi. Dan kini Arab Saudi mengambil langkah tegas dengan mengkarantina Mekah, Madinah, dan Riyadh. Itu artinya, Masjidil Haram dan Masjid Nabi Muhammad tidak akan diperbolehkan diziarahi untuk sementara waktu.

Langkah Arab Saudi tersebut tidak menimbulkan reaksi keras dari negara mana pun, termasuk dunia Islam. Sebab negara-negara Muslim yang lainnya sudah lebih dahulu mengambil langkah untuk menutup masjid untuk menunaikan salat berjamaah, termasuk Salat Jumat.

Mesir, misalnya, dalam dua minggu ini menutup masjid dengan mengubah redaksi adzan hayya 'alash shalat (mari melaksanakan shalat) menjadi ala shallu fi buyutikum (hendaklah kalian melaksanakan salat di rumah-rumah kalian).

Masjid al-Azhar yang biasanya dipadati oleh warga Mesir dan para mahasiswa dari berbagai penjuru dunia pun turut ditutup selama dua minggu untuk mencegah penyebaran virus corona. Masjid yang selama ini menjadi tempat salat berjemaah dan forum-forum pendidikan keagamaan itu harus mengikuti protokol kesehatan yang menyatakan perlunya pembatasan sosial (social distancing).

Langkah Arab Saudi melakukan karantina untuk Mekah, Madinah, dan Riyadh merupakan ikhtiar pahit yang harus diambil, karena banyak sekali fakta bahwa mereka yang ditanyakan positif corona, yang menyebabkan meninggal dunia, di antaranya mereka yang terakhir punya riwayat melaksanakan ibadah umrah sebelum diberlakukan penutupan.

Wabah corona bukan wabah yang biasa, melainkan wabah yang luar biasa. Ia wabah yang mematikan. Di zaman lampau, peristiwa semacam ini dicatat dengan baik, termasuk pada zaman Nabi Muhammad dan zaman khalifah Umar bin Khattab. Karantina dan pembatasan sosial menjadi langkah yang harus diambil, karena jika tidak bisa berakibat fatal bagi hilangnya nyawa.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya mencatat beberapa sahabat yang wafat akibat wabah, di antaranya Abu Ubaidah al-Jarrah dan Mu'adz bin Jabal. Di banyak buku, disebutkan Mua'dz bin Jabal menyerukan orang agar menetap di rumah masing-masing, baik mereka yang tinggal di pegunungan maupun daratan. Intinya, karantina dan pembatasan sosial merupakan salah satu ikhtiar untuk mencegah penyebaran wabah, sehingga tidak menelan korban yang lebih besar. Karenanya, Mua'dz bin Jabal dikenal sebagai sosok yang dulu pernah menyerukan pentingnya karantina dan pembatasan sosial di zaman wabah.

Ibnu Hajar dalam kitab Inba' al-Ghumr bi Abna al-'Umr mencatat peristiwa wabah yang mematikan di Mekah, termasuk di Masjidil Haram. Tercatat sedikitnya 40 orang meninggal dunia setiap hari. Bahkan dalam sebulan ada sekitar 1.700 orang meninggal dunia. Peristiwa tersebut menyebabkan orang-orang mengambil keputusan untuk tidak melaksanakan salat di Masjidil Haram.

Maka dari itu, meskipun kebijakan untuk mengkarantina Masjidil Haram dan Masjid Nabi merupakan sebuah keputusan yang terasa pahit, tapi di dalamnya menyimpan manfaat yang besar, yaitu menyelamatkan jiwa orang banyak. Para ulama mengedepankan kemaslahatan daripada kemudaratan. Dan pada hakikatnya Islam sangat menekankan dimensi kemudahan daripada dimensi kesulitan, apalagi mempersulit diri sendiri dan orang lain.

Dalam konteks tersebut, sebenarnya kita bisa mengambil pelajaran berharga. Jika Masjidil Haram dan Masjid Nabi saja dikarantina untuk menghindari dan mencegah penyebaran wabah, maka sebenarnya masjid-masjid kita juga sah, bahkan dianjurkan untuk ditutup selama adanya wabah.

Ingat bahwa agama kita khususnya Islam sangat menekankan pentingnya keselamatan jiwa setiap umatnya. Beragama di zaman wabah harus mengedepankan keselamatan dan kemaslahatan publik. Kita dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk beragama dengan menggunakan akal dan hati nurani. Karenanya beragama tanpa akal dan hati nurani akan menjerumuskan kita dalam kubangan kehancuran, di antaranya hilangnya nyawa.

Dari rumah-rumah kita hendaknya berdoa agar wabah cepat berlalu, dan seluruh ikhtiar dari para ahli medis dan ilmuwan segera mendapatkan jalan keluar dari wabah ini. Dalam keyakinan setiap agama, setiap penyakit pasti ada obatnya. Dan semoga Tuhan memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita semua, dan negeri ini secepatnya merdeka dan bebas dari wabah yang mematikan ini. Amin Allahumma amin. []

DETIK, 26 Maret 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar