Kamis, 05 September 2019

(Ngaji of the Day) Strategi Dagang dalam Pandangan Hukum Islam


Strategi Dagang dalam Pandangan Hukum Islam

Karena situasi tertentu, terkadang pedagang terpaksa perlu menerapkan strategi dagang. Strategi tidak dimaksudkan sebagai upaya menipu, melainkan agar barang segera habis terjual dengan cara yang dibenarkan oleh syara’. Misalnya, dalam situasi hendak menghadapi pergantian harga, pedagang terpaksa melakukan banting harga. Barang yang asalnya dibeli dengan harga 15 ribu per unit dijual dengan harga 10 ribu per unit. Resiko rugi sedikit terpaksa diambil untuk menghindar dari resiko yang lebih besar berupa barang tidak laku karena sudah tidak up to date lagi. Style-nya sudah ketinggalan trending mode

Ada juga yang mengambil inisiatif berupa resiko tidak mengambil keuntungan sama sekali. Yang penting balik modal, demikian prinsip dagang orang awam. Dalam situasi yang lain, karena menghadapi kelangkaan barang di pasaran, tiba-tiba pedagang menaikkan harga barang dagangannya secara mendadak. Barang yang asalnya dijual 10 ribu, tiba-tiba dijual dengan harga 15 ribu. 

Itulah mengapa kalau kita pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, kita sering mendapati istilah-istilah yang terpampang di banner, seperti discount besar-besaran, cuci gudang, obral, pasar raya, dan lain-lain. Semua istilah yang dimaksud adalah merupakan bagian dari strategi dagang. Jadi, strategi dagang adalah sebuah trik atau cara berdagang yang tujuannya adalah untuk menarik konsumen sehingga barang dagangan  cepat laku dan tidak rusak di gudang akibat penyimpanan atau akibat ketinggalan mode zaman. 

Apakah strategi dagang ini diperbolehkan dalam syariat kita?

Orang kalau mendengar istilah strategi, pasti berfikir bahwa ada upaya untuk menipu pihak lawan. Jika pihak pelaku strategi adalah pedagang, maka yang dimaksud sebagai lawan adalah pembeli. Akhirnya disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strategi adalah upaya pedagang dalam menipu atau mengelabui pembeli. Benarkah? 

Jawabnya tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah. Bagi pedagang yang licik, strategi dimaknai sebagai upaya pengelabuan. Namun bagi pedagang yang baik, strategi dimaknai sebagai pengelolaan. Pengelolaan adanya pada manajemen. Manajemen yang mengatur agar aliran keluar dan masuknya barang dagangan sehingga berbuah lancar adalah bagian dari strategi. Seorang pedagang tanpa manajemen, maka dia akan mengalami kebangkrutan akut sehingga akhirnya gulung tikar. Membiarkan usaha yang dirintis sehingga berakibat gulung tikar merupakan tindakan yang dilarang oleh syariat.

Sebagaimana kita tahu, bahwa hukum dasar jual beli adalah mubah. Jual beli menjadi terlarang sehingga menjadi haram disebabkan adanya ‘illah yang membuatnya menjadi haram, seperti sebab adanya unsur menipu, menyembunyikan cacat, dan lain sebagainya. 

Dalam syariat agama kita dikenal ada dua jenis tipe strategi berdagang. Pertama disebut jual beli musawamah, dan kedua disebut jual beli amanah.

Jual beli amanah

Jual beli amanah adalah: 

وهو البيع الذي لايقطع فيه بربح أو خسارة

Artinya: “yaitu jual beli yang tidak ditentukan besaran laba atau kerugian yang bisa didapat.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Shidqi, tt., 59-60).

Menurut model pelaksanaannya, ada tiga jenis jual beli musâwamah ini, antara lain: bai’ murâbahah, bai’ al-tauliyah dan bai’ muwâdha’ah

1. Jual beli murabahah sering diistilahkan dengan jual beli yang disertai keuntungan bagi penjual. Harga pokok dengan harga jual diketahui secara ma’lum oleh kedua orang yang saling bertransaksi. Dalam fiqih, ia didefinisikan sebagai: 

وهو البيع برأس المال وربح معلوم ويشترط فيه علم المتعاقدين بقدر رأس المال

Artinya: “yaitu: jual beli dengan besaran harga pokok dan keuntungan yang ma’lum. Disyaratkan dalam jual beli ini pengetahuan dua orang yang saling bertransaksi terhadap harga pokok barang.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Shidqi, tt., 59-60).

Hukum jual beli ini adalah boleh

2. Jual beli tauliyah. Jual beli ini dilakukan dengan jalan menjual barang sesuai harga beli dengan tidak mengambil keuntungan atau kerugian sepeser pun bagi penjualnya. Secara fiqih, ia didefinisikan sebagai berikut:

وهو البيع بمثل ثمنه من غير نقص ولازيادة 

Artinya: “yaitu jual beli dengan harga yang sama dengan harga pokoknya dengan tanpa mengurangi atau menambah.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Shidqi, tt., 59-60).

Hukum jual beli ini adalah sah, asalkan cara pengabarannya adalah dilakukan dengan memberitahukan harganya. Contoh: barang diterima oleh seorang pedagang seharga 200 ribu per unit, kemudian dijual dengan harga yang sama sebesar 200 ribu per unit. 

3. Jual beli muwadla’ah, jual beli obral / diskon. Umumnya jual beli ini dilakukan dengan jalan memberitahukan harga pokoknya dan besaran diskon yang bisa diterima oleh pembeli. Dalam fiqih, jual beli seperti ini didefinisikan sebagai berikut:

وهو أن يخبر برأس ماله, ثم يقول: بعتك هذا به وأضع عنك كذا فلو قال مثلا اشتريت هذه الدار بمائة ألف, وأنا أبيعكها بنفس الثمن وأضع عشرة, كان ثمن بيعها تسعين

Artinya: “yaitu: jika seorang pembeli memberitahukan harga pokok barang, kemudian berkata: “Aku jual barang ini dengan harga segini dan aku beri diskon kepadamu sebesar ini. Perumpamaan lain, seorang penjual berkata: Aku telah membeli rumah ini seharga 100 ribu, dan aku jual ke kamu dengan harga sama dan aku potong 10, sehingga harganya menjadi 90 ribu.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Shidqi, tt., 59-60).

Biasanya jual beli ini dipraktikkan untuk memberi potongan harga kepada pelanggan. Pelanggan yang sering datang ke pedagang tertentu, akan dimanjakan olehnya dengan memberi berbagai fasilitas kemudahan dalam belanja. Hukumnya adalah mubah dan jual belinya sah.

Jual beli amanah

Tipe kedua jual beli adalah jual beli amânah, yaitu:

وهو البيع الذي يقطع فيه بربح أو خسارة أو عدمهما على أمانة البائع

Artinya: “Yaitu jual beli yang sudah ditetapkan harganya besaran labanya, atau kerugiannya atau ketiadaan keduanya, berdasarkan amanat pedagang.” (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’âwadlât al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Shidqi, tt., 59-60).

Penerapan jual beli amanah ini misalnya adalah penetapan harga tarif dasar listrik, tarif PDAM, tarif telepon, tarif pesawat, dan sejenisnya. Ada penetapan harga dari pedagang pusatnya sehingga harga barang tidak boleh melebihi harga bandrol.

Kedua tipe jual beli di atas, baik jual beli musâwamah maupun jual beli amânah merupakan dua bentuk strategi dagang. Hukumnya adalah boleh dalam syariat kita asalkan tidak dilakukan dengan cara-cara menipu, menyembunyikan cacat, dan sebagainya. Biasanya menipu dan menyembunyikan cacat ini terdapat dalam hal ihwal memberitahu harga ke konsumen. Kelak akan kita bahas masalah ini dalam tulisan selanjutnya. 

Wallahu a’lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar