Jumat, 06 September 2019

(Ngaji of the Day) Macam-macam Hukum Menimbun Barang dalam Fiqih Jual Beli


Macam-macam Hukum Menimbun Barang dalam Fiqih Jual Beli

Bukankah barang ini sudah aku beli? Apa hak anda melarang saya menimbunnya? Pertanyaan seperti ini sering menjadi acuan oleh sejumlah penimbun komoditas, khususnya bahan makanan bilamana diberitahu tentang keharaman ihtikâr. Mereka bertanya untuk maksud menolak diberlakukannya hukum haram. Apakah penolakan ini dibenarkan? Tentu saja ada benarnya, meskipun tidak seluruhnya serta merta bisa disebut benar.

Pada tulisan yang lalu  telah disampaikan bahwa menumpuk harta/monopoli/ihtikâr terhadap bahan makanan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan niat menaikkan harganya, hukumnya adalah haram. Turut disertakan pula dalam tulisan tersebut beberapa dasar dalil yang terdiri atas hadits dan pendapat ulama. Persoalannya adalah apakah monopoli atau tindakan menimbun makanan ini bisa diputus sebagai haram secara mutlak dan berlaku untuk semua jenis penimbunan bahan makanan? Inilah masalah pokoknya.

Praktik di lapangan, ada masyarakat yang sengaja menimbun bahan makanan untuk maksud berjaga-jaga menghadapi paceklik, atau musim kemarau. Ada juga masyarakat yang menimbun makanan karena memang sengaja niat akan dijual pada saat harga mulai merangkak naik, disebabkan kalau dijual sekarang maka ia bisa tekor. Ongkos produksinya bisa tidak kembali, dan lain sebagainya. Dan alasan ini memang riil ada di masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan perincian hukum terhadap hakikat monopoli itu sendiri.

Jika kita mencermati nash-nash yang menjelaskan hukum ihtikâr, memang kita akan menemukan sejumlah batasan-batasan hukum. Ada beberapa dasar nash yang mendukung bagi keputusan tidak mutlak haramnya monopoli/ihtikâr ini. Hujjah yang dipergunakan adalah dengan memakai dhahir teks nash yang bersifat muqayyad – berlaku terbatas pada jenis komoditas tertentu saja. Misalnya hadits riwayat Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu:

من احتكر قوت المسلمين أربعين يوماً يريد الغلاء، فقد برئ من ذمة الله وبرئ الله منه

Artinya:  “Siapa menimbun makanan kaum Muslimin selama empat puluh malam maka terlepas dari naungan Allah dan Allah melepaskan naungan darinya.” (HR. Ahmad).

Dalam riwayat yang lain disampaikan:

 روى أبو أمامة الباهلى أن النبى صلى اهلل عليه وسلم نهى أن يحتكر الطعام )رواه احلاكم فى املستدرك

Artinya: “Abu Umamah al-Bahili meriwayatkan bahwa Nabi telah melarang penimbunan makanan.” (HR. Hakim). 

Lafal kedua hadits ini menunjukkan pengertian umum sehingga mafhum-nya yang dinamakan ihtikâr adalah bila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Sesuatu yang ditimbun adalah barang yang dibeli.
2. Menimbun dengan niat untuk dijual kembali pada waktu harga melambung
3. Menimbun pada waktu barang dibutuhkan oleh banyak orang. 
4. Sesuatu yang ditimbun melebihi kebutuhannya. 
5. Sesuatu yang ditimbun adalah berupa bahan makanan. 
6. Menimbun pada waktu tertentu. 

Menurut fuqaha’ Syafi‘iyah, Isma‘iliyah dan sebagaian Imamiyah, ihtikâr sebagaimana di atas tidak serta merta diputuskan sebagai haram. Mereka lebih memilih bahwa ihtikâr hukumnya adalah makruh. Alasan yang disampaikan adalah ada kontradiksi antara maksud menimbun ini dengan hak seseorang untuk mendapatkan keuntungan melalui jual beli. 

Barang yang ditumpuk adalah sudah menjadi hak milik pedagang dan berada di bawah kekuasaan mereka. Dengan kata lain, sah-sah saja bagi mereka menjual barang tersebut dengan harga berapa pun seiring halalnya keuntungan dari jual beli. Toh, yang dimaksudkan untuk jual beli adalah untuk mendapatkan keuntungan. Namun, karena kebolehan jual beli ini bertabrakan dengan maqashid syariah, maka kebolehan jual belinya menjadi dibatasi oleh teks larangan ihtikâr. Untuk itulah ditetapkan status makruh secara umum terhadap praktik ihtikâr

Illat (alasan dasar) hukum yang menyatakan haramnya ihtikâr adalah bilamana disertai adanya unsur tadlyîq – yaitu mempersulit ruang gerak kaum Muslimin. Selagi tidak ada niatan tadlyîq, maka hukum ihtikâr bahan makanan sebagaimana hal di atas adalah berstatus makruh, demikian menurut kajian fiqih Syafi’i.

Mencermati terhadap pendapat terakhir ini, maka hukum ihtikâr menurut mazhab Syafi’i, menjadi dapat lebih diperinci lagi. Ada kemungkinan suatu ketika ihtikâr ini hukumnya adalah boleh (jaiz), atau bahkan sunnah. Belum lagi apabila melihat objek ihtikâr-nya yang bukan terdiri atas bahan makanan, maka bisa jadi hukumnya adalah boleh. 

Untuk itu penting kiranya dibuat perincian hukum. Secara umum, kita klafisikan hukum ihtikâr sebagai berikut:

1. Haram. Keharaman ihtikâr yang disepakati berdasarkan nash, adalah: 

• Barang yang ditimbun adalah terdiri dari bahan makanan pokok negara atau tempat penimbun
• Barang dibeli dari pasaran dengan niat menghilangkan dari pasaran sehingga dapat menambah tingginya harga
• Penimbunan terjadi melebihi kebutuhan keluarganya

2. Makruh. Kemakruhan ihtikâr adalah terjadi bilamana: 

• Menimbun tanpa tujuan untuk maksud menghilangkan komoditas dari pasaran 
• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan
• Menimbun pada waktu barang itu ada dalam jumlah banyak. 
• Menimbun untuk keperluannya dan keluarganya.

3. Jaiz. Jaiz atau boleh melakukan ihtikâr, apabila:

• Barang yang ditimbun terdiri atas bahan pokok makanan negara
• Menimbun pada waktu lapang. 
• Niat menimbun adalah bukan untuk mempengaruhi harga di pasaran
• Seseorang menyimpan untuk kebutuhannya dan keluarganya. 
• Menimbun di negara yang penduduknya musyrik

4. Sunnah. Kesunnahan melakukan ihtikâr, adalah apabila:

• Objek yang ditimbun adalah bahan pokok makanan
• Penimbunan dilakukan saat harga barang itu sedang surplus dan murah 
• Dalam kondisi surplus, barang tidak sedang sangat dibutuhkan masyarakat
• Barang akan dikeluarkan kembali sampai ia dibutuhkan 
• Menimbun dengan niat menjaga kemaslahatan masyarakat

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa, pertanyaan pedagang sebagaimana yang diungkapkan pada awal tulisan ini memang ada benarnya. Sebagai pedagang, mereka berhak untuk mendapatkan keuntungan. Efeknya, tidak serta merta praktik monopoli/menimbun bahan makanan bisa diputus sebagai haram secara mutlak. Ada beberapa illat lain yang turut diperhatikan. Keharaman praktik penimbunan/monopoli/ihtikâr adalah bilamana ada unsur tadlyîq–menyulitkan–terhadap masyarakat karena mereka harus menebus pembelian dengan harga yang tinggi. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar