Kajian Hadits soal Puasa
Akhir dan Awal Tahun
Menjelang pergantian tahun baru hijriyah
sebagian umat Islam ada yang menyambutnya dengan puasa akhir dan awal tahun.
Namun demikian muncul berbagai pendapat, tulisan dan broadcast yang
menuduhnya sebagai amalan bidah. Alasannya adalah haditsnya lemah, yakni hadits
riwayat Ibnu Abbas RA:
عَنِ ابْنِ عَبَّاس مَرْفُوعًا:مَنْ صَامَ آخِرَ
يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ
السَّنَةَ الْمَاضِيَةِ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةِ بِصَوْمٍ جَعَلَ
اللهُ لَهُ كَفَارَةً خَمْسِينَ سَنَةً . أخرجه السيوطي في اللآلي المصنوعة
Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA
dengan status marfu’, ‘Orang yang puasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan
hari pertama bulan Muharram maka sungguh ia telah mengakhiri tahun yang telah
lewat dan mengawali tahun yang datang dengan puasa, di mana puasa itu Allah
jadikan untuknya sebagai pelebur (dosa) 50 tahun,’” Ditakhrij oleh As-Suyuthi
dalam Al-La’ali Al-Mashnu’ah.
Dalam perawinya terdapat Ahmad bin Abdillah
Al-Harawi dan Wahb bin Wahb yang termasuk perawi lemah, kadzzab alias pembohong.
(Abdurrahman As-Suyuthi, Al-La’ali Al-Mashnu’ah, [Beirut, Darul Kutub
Al-Ilmiyyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 92).
Dengan demikian apakah benar bahwa puasa
akhir dan awal tahun itu bidah dan tidak boleh dilakukan? Berikut ini penjelasannya.
Kesunnahan Puasa Akhir Tahun
Kesunahan puasa akhir tahun mendapatkan
legalitasnya berdasarkan hadits shahih:
عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضى الله عنهما: عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم:
أَنَّهُ سَأَلَهُ أَوْسَأَلَ رَجُلًا وَعِمْرَانَ يَسْمَعُ فَقَالَ: يَاأَبَا فُلَان، أَمَا صُمْتَ سَرَرَ هَذَا
الشَّهْرِ؟—قَالَ: أَظُنُّهُ.
قَالَ:
يَعْنِي رَمَضَانَ.—قَالَ الرَّجُلُ: لَا يَارَسُولَ اللهِ. قَالَ: فَإِذَا أَفْطَرْتَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ. لَمْ يَقُلِ
الصَّلْتُ أَظُنُّهَ يَعْنِي رَمَضَانَ. رواه البخاري.
Artinya, “Diriwayatkan dari Imran bin
Al-Husain RA, dari Nabi SAW bahwa ada orang bertanya kepada beliau, atau beliau
bertanya kepada seseorang, sementara Imran mendengarnya. Lalu Rasulullah
berkata, ‘Wahai Abu fulan, apakah kamu puasa akhir bulan (Sya’ban) ini?’—Abu
An-Nu’man berkata, ‘Saya duga maksudnya adalah bulan itu.’ As-Shalt bin
Muhammad berkata, ‘Maksud dugaan An-Nu’man adalah bulan Ramadhan.’—Orang yang
ditanya oleh Nabi SAW menjawab, ‘Tidak wahai Rasulullah.’ Nabi SAW
menyambungnya, ‘Apabila kamu tidak puasa, maka puasa lah dua hari (sebagai
gantinya).’ As-Shalt tidak mengatakan redaksi, ‘Saya menduganya itu adalah
bulan Ramadhan,’” (HR Bukhari).
Hadits ini secara sekilas memang hanya
menunjukkan kesunnahan untuk membiasakan puasa akhir bulan. Tetapi menurut
Az-Zain bin Al-Munir, melihat Imam al-Bukhari memasukkan hadits ini dalam Bab
Puasa di Akhir Bulan ini menunjukkan bahwa menurutnya kesunnahan membiasakan
puasa akhir bulan itu tidak hanya berlaku di bulan Sya’ban, tetapi juga di
bulan-bulan lainnya.
Anjuran puasa akhir bulan ini juga tidak
bertentangan dengan larangan mendahului puasa Ramadhan dengan satu atau dua
hari puasa sebelumya pada akhir bulan Sya’ban. Sebab larangan tersebut
mengecualikan orang yang sudah terbiasa memuasainya, (Ahmad bin Ali bin Hajar
Al-‘Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Ma’rifah: 1379
H], juz IV, halaman 230).
Kesunnahan Puasa Awal Tahun
Sementara kesunahan puasa awal tahun sangat
jelas haditsnya, yaitu hadits tentang anjuran berpuasa dalam hari-hari bulan
Muharram, sebagaimana diriwayatkan:
مَنْ
صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلَاثُونَ يَوْمًا. رواه
الطبراني في المعجم الصغير. وفي الكبير: ثَلَاثُونَ حَسَنَةً.
Artinya, “Orang yang berpuasa sehari dari
bulan Muharram, maka dengan puasa per harinya ia mendapatkan (pahala
puasa) 30 hari,’ (HR At-Thabarani dalam Al-Mu’jamus Saghir). Dalam Al-Mu’jamul
Kabir terdapat redaksi, ‘30 kebaikan,’ (Lihat Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani,
Al-Mu’jamus Shaghir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1403 H/1983 M], juz II,
halaman 71 dan Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani, Al-Mu’jamul Kabir, [Mosul,
Maktabah Al-‘Ulum wal Hikam: 1404 H/1983 M], juz XI, halaman 72).
Status sanad hadits ini memang
diperselisihkan antara dhaif dan tidak karena dalam jalur sanadnya terdapat
Al-Haitsam bin Habib yang menurut Az-Zhahabi adalah perawi yang dhaif.
Sedangkan menurut Ibn Hibban, ia adalah perawi yang tsiqah. Penilaian Ibn
Hibban ini juga diamini oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib dan Nurrudin
Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid. Bahkan ia mengatakan bahwa ia tidak
menemukan kritikus hadits yang menganggap lemah Al-Haitsam bin Habib selain
Adz-Dzahabi, (Lihat Nurrudin Ali bin Abi Bakr, Majma’uz Zawaid wa Manba’ul
Fawaid, [Beirut, Darul Fikr: 1412 H], juz III, halaman 436; dan Abdul Azhim
Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1417 H],
tahqiq: Ibrahim Syamsuddin, juz II, halaman 70).
Sementara dari sisi dirayahnya, hadits
riwayat At-Thabarani menunjukkan kesunnahan berpuasa di awal tahun, dan orang
yang memuliakan awal tahun dengan memuasainya maka akan mendapatkan pahala yang
agung yaitu puasa satu hari mendapatkan pahala sebagaimana puasa 30 hari,
sebagaimana penjelasan Al-Hafizh Al-Munawi, (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul
Qadir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1415 H/1994 M], cetakan pertama, juz
VI, halaman 210).
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan
bahwa:
1. Puasa akhir tahun dengan maksud melakukan
puasa akhir bulan hukumnya adalah sunnah berdasarkan ijtihad dan hadits riwayat
Imam Al-Bukhari.
2. Puasa awal tahun dengan maksud melakukan
puasa pada hari-hari di bulan Muharram adalah sunnah dan pahalanya sangat
banyak berdasarkan hadits riwayat Imam At-Thabarani.
3. Dengan demikian, asumsi yang menyatakan
bahwa puasa awal dan akhir tahun sebagai amalan bid’ah adalah asumsi tidak
tepat karena jelas-jelas terdapat dalil rujukannya dalam Islam.
Demikian penjelasan tentang kesunahan puasa
awal dan akhir tahun. Semoga bermanfaat. Amin. []
(Ahmad Muntaha AM, Wakil Sekretaris PW LBM NU
Jawa Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar