Ketika Ulama Ditanya Siapa yang Lebih Berilmu
Dalam kitab al-Muntadham fi Tarîkh al-Mulûk
wa al-Umam, Imam Ibnu al-Jauziy merekam sebuah riwayat menarik tentang orang
desa (Arab Badui) yang bertanya kepada seorang ulama. Berikut riwayatnya:
جاء
أعرابي إلى القاسم بن محمد رحمه الله، فقال: أنت أعلم أو سالم؟ قال: ذاك منزل
سالم، فلم يزد عليها حتى قام الأعرابي. قال ابن إسحاق: كره أن يقول: هو أعلم
مني فيكذب، أو يقول: أنا أعلم منه فيزكي نفسه
Seorang Arab Badui (orang desa) datang kepada
al-Qasim bin Muhammad rahimahullah. Ia berkata: “Kau yang lebih berilmu atau
Salim?”
Al-Qasim bin Muhammad menjawab: “Itu tempat
tinggal Salim.” Karena al-Qasim tidak menambahi ucapannya, orang Arab Badui itu
pun beranjak (pergi).
(Tentang jawaban singkat al-Qasim) Ibnu Ishaq
berkata: “al-Qasim enggan berucap bahwa Salim lebih berlimu darinya, karena
(takut) berbohong. Ia pun (enggan) berucap bahwa aku lebih berilmu darinya,
karena itu (artinya) ia memuji diri sendiri.” (Abû al-Farj Ibnu al-Jauziy,
al-Muntadham fi Tarîkh al-Mulûk wa al-Umam, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah,
1992, juz 7, h. 123)
****
Sebelum membahas lebih jauh, penting kiranya
mengetahui siapa al-Qasim bin Muhammad (35-107 H) dan Salim (w. 106 H) dalam
kisah di atas. Al-Qasim adalah cucu Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Nasabnya
adalah al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Sementara Salim adalah cucu
Khalifah Umar bin Khattab. Nasabnya adalah Salim bin Abdullah bin Umar.
Keduanya termasuk dalam al-Fuqahâ’ al-Sab’ah
(Tujuh Ahli Fiqih) atau Fuqahâ’ al-Madînah (Para Ahli Fiqih Madinah), sebuah
gelar khusus yang diberikan kepada ulama besar dari kalangan tabi’in yang
tinggal di Madinah (melanjutkan tradisi Madinah). Meski jumlahnya lebih dari
tujuh, mereka tetap disebut “Tujuh Ahli Fiqih Madinah” karena setiap
generasinya saling mengisi. Mereka adalah orang yang paling berperan dalam
pelestarian tradisi dan keilmuan Islam melalui murid-muridnya.
Mereka adalah Sa’id bin Musayyab (15-94 H),
Urwah bin Zubair (w. 94 H), al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (35-107 H),
Kharijah bin Zaid bin Tsabit (w. 99 H), Salim bin Abdullah bin Umar (w. 106),
Aban bin Utsman bin Affan (w. 105 H), Abu Salmah bin Abdurrahman bin Auf (22-94
H), Abu Bakar bin Abdurrahman (w. 94 H), Sulaiman bin Yasar (34-107 H), dan
Ubaidillah bin Abdullah (w. 98 H). (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, A’lâm
al-Muwaqqi’în, juz 1, h. 23).
Kembali ke pembahasan. Menurut Muhammad bin
Ishaq, jawaban singkat Sayyidina al-Qasim bin Muhammad karena kekhawatiran dan
kehati-hatiannya. Jawaban Sayyidina al-Qasim yang hanya, “dzâka manzil
sâlim—itu tempat tinggal Salim”, menunjukkan hal itu. Ia enggan menjawab
pertanyaan orang Badui itu karena jawaban apapun akan berdampak buruk pada
dirinya. Jika ia menjawab Salim lebih berilmu darinya, ia takut berbohong,
karena kealiman seseorang sulit diukur dengan adil, meski dalam bahasa Ibnu
Ishaq ada kesan bahwa al-Qasim lebih berilmu dari Sayyidina Salim. Jika
menjawab aku lebih berilmu darinya, itu artinya ia telah memuji dirinya
sendiri. Karena itu, ia memilih jawaban yang paling baik untuk dirinya dan
Salim.
Jawaban, “dzâka manzil sâlim—itu tempat
tinggal/rumah Salim”, dapat berarti banyak hal. Pertama, kerendahan hati
(tawaddu’). Dengan menunjuk rumah Sayyidina Salim, ia seakan hendak berucap
bahwa Salim lebih berilmu darinya, tapi ia takut akan terjebak pada kebohongan.
Kedua, prasangka yang baik (husnudhan). Andai orang Badui itu tiba-tiba
mendatangi Sayyidina Salim bin Abdullah dan menanyakan hal yang sama, ia yakin
Salim akan memberikan jawaban yang kurang lebih sama meski dengan cara yang
berbeda. Ketiga, pencegahan fitnah. Meskipun hampir tidak mungkin terjadi,
bukan berarti pencegahan tidak boleh dilakukan. Dalam keadaan ramai (kejadian
tersebut disaksikan banyak orang), jawaban paling bijak adalah “di situ
rumahnya”. Karena jawaban “dia” atau “saya” yang lebih alim bukanlah opsi.
Jawaban diplomatis (bertele-tele) pun akan meninggalkan kesan tertentu.
Sayyidina al-Qasim pun diam setelah menjawab
dengan ringkas, tidak menambahkan ucapannya. Orang Badui yang lama menunggu,
akhirnya beranjak pergi. Diamnya Sayyidina al-Qasim juga mengandung makna yang
dalam. Ia menahan diri untuk tidak berbasa-basi. Bisa jadi karena takut
terjebak dalam perasaan “lebih berilmu” barang sedetik atau dua detik ketika
sedang berbasa-basi, apalagi yang bertanya adalah orang Badui (orang desa),
yang seringkali pertanyaannya berasal dari keluguannya, bukan bermaksud
menguji. Karena itu, ia memilih diam.
Dari kisah di atas, kita harus mulai belajar
mengenali semua konsekuensi positif dan negatif dari setiap perbuatan kita.
Satu perkataan saja kadang memiliki konsekuensi lain yang tidak dikenali.
Contohnya kisah di atas, Sayyidina al-Qasim begitu berhati-hati dalam menjawab.
Ia memikirkan semua konsekuensinya dengan hati-hati. Tentu saja kita heran
dengan respon Sayyidina al-Qasim yang sangat cepat, seakan tanpa proses
berpikir atau merenung terlebih dahulu. Hal itu disebabkan oleh hatinya yang
terus dihidupi setiap hari, dengan zikir, perilaku baik dan tafakkur, sehingga
pancaran ketuhanan membias di hatinya. Berbeda dengan kita yang kadang lupa
bahwa kita memiliki hati.
Di sinilah kita perlu melangkah, tak perlu
cepat-cepat, perlahan pun tak mengapa. Dimulai dari membiasakan tafakkur setiap
hari, kemudian mengakrabi semua imajinasi yang berlalu lalang, dan memilahnya
dengan hati-hati. Tapi sebelum itu, kita harus berilmu terlebih dahulu, agar
pemilahan yang kita lakukan terdukung oleh pengetahuan yang kita tahu. Karena
pengetahuan bisa meminimalisasi kesalahan asumsi. Itu pun jika pengetahuan yang
kita miliki telah menjadi penerang, tidak hanya “data informasi” yang berada di
otak kita. Mungkinkah?
Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok
Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar