Kamis, 02 April 2020

Yudi Latif: Hitam-Putih Korona


Hitam-Putih Korona
Oleh: Yudi Latif

Pada Oktober 1347, dua belas kapal dagang Genoa berlabuh di pelabuhan Messina, Sisilia, setelah mengarungi Laut Hitam. Banyak pelaut di kapal itu meninggal dengan sekujur tubuh bertabur gelembung hitam; membuat penyakit itu disebut ”Maut Hitam”. Otoritas Sisilia terlambat mencegah kapal itu berlabuh. Akibatnya, selama lima tahun kemudian, Benua Eropa dilanda pandemik penyakit pes yang melenyapkan sekitar satu pertiga penduduknya.

Kehilangan banyak penduduk, lahan yang semula sesak jadi lebih longgar. Penduduk desa bisa menguasai tanah lebih luas. Ketersediaan lahan garapan bersamaan dengan kelangkaan tenaga kerja membuat rakyat tak mau lagi tunduk pada sistem perbudakan. Untuk mengolah lahan baru, petani meminjam uang. Otoritas gereja mulai toleran terhadap bunga pinjaman. Semua itu menumbuhkan kemakmuran bagi Eropa, yang sebagian diinvestasikan bagi inovasi teknologi.

Era setelah Maut Hitam ditandai kemajuan besar perkembangan teknologi. Francis Bacon menandai hal itu dengan kehadiran mesiu, mesin cetak, dan kompas. Perkembangan itu membuka jalan ekspansi pasar yang meratakan jalan bagi kelahiran negara bangsa dan revolusi industri.

Alhasil, selalu ada sisi terang dari gelap. Kata krisis berasal dari bahasa Yunani, krisis (kata benda) atau krino (kata kerja), yang berarti ’menarik batas’ atau ’titik balik’. Dalam bahasa Mandarin, padanannya ialahWei-ji. Wei artinya ’bahaya’, sedangkan ji artinya ’peluang’. Dalam momen gelap bahaya katastrofi, selalu ada cerah peluang untuk menarik garis batas antara kejahiliyahan dan keberadaban; sebagai titik balik untuk memajukan kehidupan.

Kebenaran dan kesejatian itu sering kali seperti bintang yang tak bisa dilihat, kecuali di gelap malam. Dalam terang kehidupan normal, manusia sulit mengenali kebenaran hakiki. Kesejatian tersamar ornamen pernak-pernik penampilan. Saat zaman kelam datang, barulah kita kenali mana yang benar sejati, mana yang palsu manipulasi. Bila kita kurang yakin watak asli seseorang atau suatu bangsa, tunggulah hingga gelap menyergap: di sana bisa kita kenali watak sesungguhnya.

Demikianlah, di balik ancaman kematian dan kepanikan global akibat pandemik korona, bisa kita kenali sisi gelap dan sisi terang kehidupan. Saat korona menyergap, warga China merapatkan barisan, saling menyemangati, ”Wuhan, kamu pasti bisa!” Artis-artis Korea Selatan menyumbangkan sebagian kekayaan. Warga Italia mengibarkan bendera dari jendela rumah. Konglomerat Amerika Serikat tak ketinggalan berdonasi untuk mendanai riset vaksin korona.

Sebaliknya, di negeri ini sesama warga saling menyudutkan. Ledakan permintaan atas barang-barang pencekal virus melambungkan hasrat menimbun dan memperkaya diri. Para pemimpin saling serobot mencari panggung, dengan pandangan saling berseberangan. Masalah serius disepelekan atau dihadapi dengan overacting. Tak ada dermaga kepemimpinan yang kuat sebagai tambatan jutaan biduk yang oleng. Persoalan dihadapi dengan manajemen tambal sulam.

Tak terlihat mekanisme antisipatif dan skema penanganan terpadu. Kegotongroyongan yang ditekankan Pancasila dirobek syahwat kekuasaan. Moral politik jatuh ke titik nadir, saat musibah jadi ajang pencitraan dan mengail di air keruh. Beruntung sisi terang masih muncul dari kepahlawanan lembaga filantropi, tenaga medis, dan ormas keagamaan atas aksi-aksi pencegahan dan pelayanan mereka.

Bagi mereka yang eling, korona bisa jadi pengingat agar manusia tak rakus, membatasi konsumsi pada makanan yang baik dan sehat. Pengurangan aktivitas di ruang publik memberi kesempatan alam memulihkan diri dari polusi dan eksploitasi. Kembali ke rumah juga bisa memperkuat simpul keluarga dan solidaritas sosial.

Implikasi korona yang membatasi lalu lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa juga menyadarkan untuk membuka peluang baru. Bahwa untuk negara yang begitu luas dan banyak penduduk, terlalu riskan menggantungkan kebutuhan dasar hanya pada impor. Dalam situasi krisis begitu terasa betapa ketahanan pangan saja tidak memadai karena tidak bisa menjamin daya sintas. Paling tidak untuk bahan primer, kita harus memperjuangkan kedaulatan pangan.

Krisis bisa jadi momen titik balik. Prinsip asal bisa membeli secara murah tak bisa dipertahankan. Dengan kebijakan itu, kita tak akan bisa memasuki ekonomi-pengetahuan, dengan kemampuan memberi nilai tambah ilmu-pengetahuan dan teknologi bagi sumber daya yang dimiliki. Tanpa usaha memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami defisit neraca perdagangan dan tak akan bisa mengembangkan kemakmuran secara inklusif.

Disrupsi korona juga memberi kita terang pikir untuk mengakhiri tendensi pembiayaan rutin dan pembangunan yang besar pasak daripada tiang. Momen sulit seperti ini bukan saat yang tepat merealisasikan proyek mercusuar. Kita harus menimbang ulang rencana pemindahan ibu kota, yang tak bisa dibiayai sendiri tanpa beban utang. Itulah hitam-putih dampak korona yang bisa memberi pilihan jalan agar kita bisa keluar dari kelam musibah menuju terang pengharapan. []

KOMPAS, 19 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar