PAHLAWAN NASIONAL NU
KH As’ad Syamsul
Arifin, Mengomando Santri hingga Preman
“Perang itu harus
niat menegakkan agama dan ‘arebbuk negere’ (merebut negara), jangan hanya
‘arebbuk negere! Kalau hanya ‘arebbuk negere’, hanya mengejar dunia, akhiratnya
hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati,
akan mati syahid dan masuk surga!”
Pernyataan tersebut
merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin
(1897-1990) kepada pasukan santri (Hizbullah dan Sabilillah) dan pasukan pemuda
yang awalnya menjadi preman, brandal, bajingan, dan jawara (Pelopor) untuk
melawan penjajah Belanda.
Pernyataan yang
dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan
Nasional (2016) tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda
di wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air seiring
dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi
inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi perjuangan yang
lengkap.
Kiai As’ad memiliki
kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu kanuragan dan bela diri,
serta cukup menguasai ilmu militer. Selain menggerakkan para santri, Kiai As’ad
juga cerdik dalam mengomando para bandit agar membantu perjuangan para santri
mengawal kemerdekaan Indonesia.
Kemampuan Kiai As’ad
dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi,
Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh
Syamsul A. Hasan (2003) yang dikutip Munawir Aziz. Kiai yang lahir di daerah
Syi’in Ali, Makkah dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maemunah ini
mengumpulkan para bandit dan jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor.
Barisan Pelopor
sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala.
Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah
yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para
bandit dan jawara yang berada di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia
pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Kala itu, Kiai As’ad
memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang
berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam
barisan Hizbullah dan Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk
gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri.
Barisan Pelopor dan
pasukan santri menggunakan taktik ‘serang dan lari’. Strategi ini dilakukan
oleh para santri yang tergabung dalam berbagai laskar hingga negara Republik
Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada Desember 1949. Padahal, sejak
empat tahun sebelumnya pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memprokalmirkan
kemerdekaannya. Tetapi, perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak kalah
beratnya.
Kharismanya di mata
para preman dan jawara menyisakan cerita unik. Saat itu Kiai As’ad agak resah
soal sering hilangnya sandal para jamaah ketika sedang melakukan shalat Jumat.
Setelah mengumpulkan para preman tersebut, Kiai As’ad meminta tolong agar
sandal jamaah dijaga. Dedengkot preman sendiko dawuh terhadap permintaan Kiai
As'ad.
Namun, si dedengkot
preman tersebut makin hari berpikir untuk memerintahkan anak buahnya menjaga
sandal. Sementara ia juga ingin melaksanakan shalat sehingga sandal dia pun
ikut terjaga. Makin hari, keinginan para preman melaksanakan shalat Jumat
semakin tinggi sehingga akhirnya mereka semua melaksanakan shalat melalui
washilah menjaga sandal yang diperintahkan Kiai As’ad.
Atas peran penting
Kiai As’ad Syamsul Arifin dalam berjuang melawan Belanda dan mempertahankan
kemderdekaan itu, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
kepadanya pada tahun 2017. Secara umum, gelar pahlawan para kiai merupakan
supremasi perjuangan santri dan seluruh rakyat Indonesia.
Peran Kiai As’ad
dalam Pendirian NU
Hasil dari istikharah
Mbah Hasyim dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin, kiai yang juga pendiri
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Kiai
As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak
jatuh ditangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil
Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk
tersebut, Mbah As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan
sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang
harus dilaksanakan oleh Mbah As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk
menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, Pertumbuhan
dan Perkembangan NU, 2010: 72)
Hal ini merupakan
bentuk komitmen dan ta’dzim santri kepada gurunya apalagi terkait
persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik
dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.
Petunjuk pertama,
pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan
sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat
ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Petunjuk kedua, kali
ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan
seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar.
Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan
ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.
Setibanya di
Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan
mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud
As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak
ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim.
Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang
perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih
diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari
Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul
husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. Mbah
Hasyim kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan
jam’iyyah”. []
(Fathoni)