Kotoran di Bawah Kuku,
Apakah Menghalangi Sahnya Wudhu?
Salah satu syarat sahnya wudhu adalah tidak
adanya benda-benda yang melekat dalam kulit yang wajib dibasuh. Syarat ini
dimaksudkan agar seluruh anggota wudhu dapat terbasuh dengan air. Jadi,
ketika terdapat benda atau kotoran yang melekat pada kulit seseorang, lalu ia
wudhu tanpa menghilangkan benda dan kotoran tersebut, maka wudhu yang dilakukan
olehnya dihukumi tidak sah.
Namun, apakah ketentuan tersebut juga berlaku
pada kotoran-kotoran yang terdapat pada kuku, mengingat hal tersebut sering
sekali terjadi?
Dalam menjelaskan status kotoran yang
terdapat di bawah kuku, para ulama terjadi perbedaan pendapat dalam tiga
pandangan.
Pertama, status kotoran di bawah kuku sama
seperti kotoran-kotoran lain yang dianggap sebagai benda yang menghalangi
sampainya air pada kulit di bawah kuku, maka wujudnya kotoran ini dianggap
sebagai hal yang menghalangi sahnya wudhu. Pendapat ini dijadikan pijakan oleh
banyak ulama Syafi’iyah.
Kedua, status kotoran di bawah kuku bukan
sebagai penghalang sahnya wudhu, sebab kotoran-kotoran ini merupakan hal yang
sering terjadi (‘umum al-balwa) pada banyak orang dan sulit untuk
menghilangkannya pada setiap akan memulai wudhu. Kotoran kuku yang
dimaksud mengecualikan terhadap kotoran-kotoran yang jarang melekat dalam
kuku, seperti kotoran yang muncul dari adonan roti, tepung, mentega dan hal
sesamanya, maka dalam jenis kotoran demikian wajib bagi seseorang untuk
menghilangkannya. Pendapat demikian merupakan pandangan Imam al-Ghazali,
az-Zarkasyi dan ulama lainnya.
Ketiga, kotoran di bawah kuku yang
ditoleransi (ma’fu) hanya terbatas pada kotoran yang berasal dari tubuh,
misalnya seperti keringat yang muncul dari kulit lalu melekat dalam bawah kuku,
maka kotoran jenis demikian tetap tidak berpengaruh dalam keabsahan wudhu.
Sedangkan kotoran yang berasal dari benda lain, seperti dari debu, tanah dan
semacamnya maka dapat mencegah sahnya wudhu. Klasifikasi tersebut tidak hanya
berlaku pada kotoran di bawah kuku, tapi juga berlaku pada kotoran-kotoran lain
yang melekat dalam anggota wudhu. Pendapat ini merupakan pandangan Imam
al-Baghawi.
Ketiga pendapat di atas dijelaskan dalam
kitab Fath al-Mu’in:
وكذا
يشترط على ما جزم به كثيرون أن لا يكون وسخ تحت ظفر يمنع وصول الماء لما تحته
خلافا لجمع منهم الغزالي والزركشي وغيرهما وأطالوا في ترجيحه وصرحوا بالمسامحة عما
تحتها من الوسخ دون نحو العجين
وأشار
الأذرعي وغيره إلى ضعف مقالتهم
وقد صرح في
التتمة وغيرها بما في الروضة وغيرها من عدم المسامحة بشيء مما تحتها حيث منع وصول
الماء بمحله
وأفتى البغوي
في وسخ حصل من غبار بأنه يمنع صحة الوضوء بخلاف ما نشأ من بدنه وهو العرق المتجمد
“Begitu juga disyaratkan (dalam keabsahan
wudhu) seperti yang diyakini oleh banyak ulama bahwa tidak diperbolehkan
wujudnya kotoran di bawah kuku yang dapat menghalangi sampainya air pada bagian
kulit di bawah kuku. Hukum tersebut berbeda menurut sekumpulan ulama
diantaranya imam al-Ghazali, Imam az-Zarkasyi dan imam-imam lainnya. Mereka
memberi penjelasan yang panjang dalam mengunggulkan pendapat ini dan menegaskan
bahwa kotoran yang berada di bawah kuku adalah hal yang ditolelir dalam
keabsahan wudhu kecuali kotoran tersebut berupa kotoran-kotoran sejenis adonan
roti.
Sedangkan Imam al-Adzra’i mengisyaratkan
lemahnya pendapat mereka dan menjelaskan dalam kitab at-Tatimmah dan kitab
lainnya dengan berpijak pada penjelasan dalam kitab ar-Rawdhah dan kitab lainnya
bahwa kotoran di bawah kuku tidak dapat ditolelir, sekiranya kotoran tersebut
mencegah sampainya air pada tempat di bawah kuku. Sedangkan Imam al-Baghawi
memfatwakan bahwa kotoran yang berasal dari debu dapat mencegah sahnya
wudhu berbeda hukumnya ketika kotoran berasal dari hal yang muncul dari badan
seseorang yaitu keringat yang mengeras (lalu menjadi kotoran)” (Syekh
Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, Hal. 35)
Dari ketiga pendapat di atas, pendapat yang
dianggap ringan dan tidak sulit untuk diamalkan adalah pendapat kedua, terlebih
ketika diterapkan bagi orang awam. Sebab dengan berpijak pada pendapat
tersebut, kotoran kuku yang berasal dari debu dan semacamnya dianggap bukan
sebagai penghalang sahnya wudhu, selama jenis kotoran bukan berasal dari benda
yang langka atau jarang melekat dalam bagian bawah kuku, karena jenis kotoran
ini mudah untuk menghilangkannya. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam kitab
Hawasyi Asy-Syarwani wa al-‘Ubadi:
ـ
(أو جرم كثيف) كدهن
جامد وكوسخ تحت الاظفار نهاية زاد شرح بافضل خلاف للغزالي اه قال الكردي عليه قال
الزيادي في شرح المحرر وهذه المسألة مما تعم بها البلوى فقل من يسلم من وسخ تحت
أظفار يديه أو رجليه فليتفطن لذلك انتهى وقال الشارح في حاشية التحفة وفي زيادات
العبادي وسخ الاظفار لا يمنع جواز الطهارة لانه تشق إزالته بخلاف نحو العجين تجب
إزالته قطعا لانه نادر ولا يشق الاحتراز عنه واختار في الاحياء والذخائر هذا فقال
يعفى عنه وإن منع وصول الماء ما تحته
“Benda yang tebal -pada kulit- (dapat
mencegah sahnya wudhu) seperti minyak yang mengeras dan seperti halnya kotoran
yang berada di bawah kuku, berbeda halnya menurut pendapat Imam al-ghazali.
Imam al-Kurdi berkata “Berkata Imam az-Zayadi dalam Syarh al-Muharrar
“permasalahan ini merupakan sebagian dari hal yang umum terjadi, sedikit orang
yang terhindar dari kotoran di bawah kuku kedua tangannya atau kakinya,
hendaknya engkau mengerti hal tersebut” Asy-Syarih berkata dalam kitab Hasyiyah
at-Tuhfah dan dalam Ziyadat al-‘Ubadi bahwa kotoran kuku tidak mencegah
keabsahan bersuci sebab kotoran tersebut sulit untuk dihilangkan, berbeda
halnya benda seperti adonan roti, maka wajib untuk menghilangkannya karena
dianggap sangat langka dan tidak sulit untuk menghindarinya” pendapat tersebut
dipilih dalam kitab al-Ihya’ dan ad-Dakhair, lalu beliau berkata “kotoran dibawah
kuku merupakan hal yang di ma’fu meskipun sampai mencegah sampainya air
terhadap bagian kulit dibawah kuku” (Abdul Hamid al-Makki asy-Syarwani dan
Ahmad bin Qasim al-‘Ubadi, Hawasyi asy-Syarwani wa al-‘Ubadi, Juz 1, Hal.
187).
Ketiga pendapat di atas sama-sama dapat
diamalkan, sebab berasal dari para ulama Syafi’iyah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tinggal pendapat mana yang menurut kita lebih baik untuk
diamalkan dan sesuai dengan pilihan kemantapan hati kita. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar