Memperingati 7 Hari Mbah Moen: Kiai Bangsa yang
Mencintai dan Dicintai
Oleh: A Mustofa Bisri
SAYA sedang sarapan di Salatiga bersama anak dan cucu
ketika tiba-tiba “petir” itu menyambar. Anak saya, Rabi’ah Bisriyah, yang duduk
di depan saya, sambil melihat handphone-nya, istirjaa’ -innaa lillaahi wainnaa
ilaihi raaji’uun- dan terbata-bata berkata, “Bah, Mbah Moen kapundut.” Lalu,
pecahlah tangisnya. Kami pun berhenti sarapan, sibuk mencari kebenaran berita
mengejutkan itu.
Bagi saya sendiri yang sebelumnya sudah merasa khawatir
akan ditinggal beliau, berita itu tetap bagaikan petir di siang bolong.
Ya, saya merasa khawatir karena belakangan sesepuh yang
saya cintai dan hormati itu setiap bertemu hampir selalu berdoa dan minta
didoakan agar husnul khaatimah. Apalagi ketika mendengar cerita saudara
sepupuku yang diminta putra-putra Mbah Moen untuk “mencegah” beliau berangkat
haji tahun ini. Belum sampai misinya disampaikan, beliau sudah menyergah dengan
tegas, “Kowe dikon ngalang-ngalangi aku budal kaji yo (Kamu disuruh mencegah
aku berangkat haji, ya)?!”
Mungkin “membaca isyarat” itu juga antara lain, mengapa
putra-putra dan keluarga beliau mengikhlaskan beliau dimakamkan di Makkah, di
Tanah Suci, sebagaimana beliau idamkan. Jika wafat dan dimakamkan di Tanah Suci
memang merupakan keinginan beliau, siapakah di antara santri dan umat beliau
yang tidak ikhlas? Sedangkan Allah sendiri ternyata memenuhinya. Di antara kita
mungkin ada yang kecewa atau menyesali diri karena tidak bisa hurmat, secara
fisik menghormati dan mengantar kepergian junjungan mereka. Tapi, akhirnya
mereka itu pun pasti memaklumi dan ikhlas. Bukankah beliau -Allahu yarham-
selama ini hampir tak pernah punya keinginan sendiri karena lebih mementingkan
untuk memenuhi keinginan mereka, umat yang beliau cintai.
***
Sampai hari ini, setelah wafat dan dikebumikannya Mbah
Moen (KH Maimoen Zubair) di Tanah Suci Makkah pada Selasa, 6 Agustus 2019,
ndalem beliau di Sarang, Rembang, masih terus diserbu umat beliau, seperti
ketika beliau masih ada. Saya sendiri datang ke Sarang hari ketiga, hari Kamis.
Begitu masuk Sarang, jalan pantura sudah macet. Mobil-mobil, terutama
truk-truk, memenuhi kanan-kiri jalan, hampir tidak bergerak. Padahal, acara
tahlil bersamanya dimulai habis isya. Wah, sampai ndalem acara tahlilnya sudah
usai, pikir saya. Tapi alhamdulillah, tiba-tiba ada santri naik motor, menyuruh
saya turun saja dari mobil dan bonceng dia. Belakangan saya diberi tahu bahwa
itu ide Kapolsek Sarang.
Kompleks Pesantren Al-Anwar dan ndalem kiai sudah penuh
sesak dengan jamaah pencinta Mbah Moen dari berbagai daerah. Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, bahkan dari luar Jawa. Banyak kiai dan habaib yang juga
memerlukan datang bertakziah, disambut putra-putra Mbah Moen yang tidak pergi
haji -Gus Ubab, Gus Najih, Gus A. Ghofur, dan Gus Idror- mewakili tuan rumah.
Masuk ndalem dan memeluk satu per satu putra-putra Mbah
Moen yang sebenarnya masih kapernah cucu-cucu saya, rasanya diri ini seperti
melayang. Biasanya, bila saya sowan Mbah Moen, beliau menyambut dengan wajah
beliau yang teduh dan tawa yang renyah. Jabatan tangannya dilanjutkan dengan
terus memegangi dan membimbing tangan saya ke “singgasana” beliau, tempat duduk
panjang yang biasa beliau duduki saat menemui tamu. Jangan salah sangka. Bukan
saya saja yang beliau perlakukan demikian. Hampir semua kenalan yang sering
sowan, terutama yang sepuh-sepuh, beliau minta duduk di samping beliau.
Menerima tamu memang salah satu “pekerjaan” kiai yang
dituakan. Tapi, untuk Mbah Moen sepertinya tidak sekadar “pekerjaan” sambilan.
Kelihatannya bagi beliau, menerima tamu, siapa pun, adalah tugas kewajiban.
Melihat aktivitas mengajar beliau di pesantren, dakwah beliau di berbagai
daerah, kegiatan beliau yang bersifat kenegaraan, dan frekuensi beliau menerima
tamu, orang mungkin bertanya-tanya kapan dan berapa lama beliau tidur.
Tamu-tamu beliau terdiri atas beberapa kalangan dan berbagai etnis, agama,
aliran, partai, dan kebangsaan. Mulai tamu-tamu dari luar negeri, presiden,
calon presiden, menteri-menteri, pimpinan dan anggota DPR-MPR-DPD, panglima,
Kapolri, pejabat-pejabat lain dari berbagai jajaran, pimpinan ormas, pimpinan
parpol, hingga rakyat jelata. Semua beliau terima dengan kegembiraan hati dan
kecerahan wajah yang sama.
Meskipun umumnya kiai itu berilmu, menurut saya,
istilah kiai itu bukanlah terjemahan dari ulama. Kiai ialah istilah budaya.
Berasal dari budaya Jawa. Orang Jawa menyebut apa atau siapa yang mereka
hormati dengan sebutan kiai.
Kiai Nogososro atau Kiai Sengkelat, misalnya, adalah
keris yang dihormati. Nah, orang yang dengan tulus berkhidmah kepada
masyarakat, bahkan seluruh hidupnya seperti diwakafkan untuk masyarakat,
dipanggil kiai. Orang yang tidak tahu diajari, orang yang memerlukan sesuatu
dibantu. Atau seperti ajaran salah satu Wali Sanga, Sunan Drajat, “Menehana
teken marang wong kang wuta; menehana mangan wong kang luwe; menehana busana
marang wong kang wuda; menehana ngiyup marang wong kang kodanan (Berikanlah tongkat
kepada orang yang buta; berilah makan orang yang lapar; berikanlah pakaian
kepada orang yang telanjang; berikanlah naungan kepada orang yang kehujanan).”
Mengajar mereka yang masih bodoh; membantu menyejahterakan kehidupan mereka
yang miskin; mendidik akhlak mereka yang tidak punya malu; mengayomi dan
melindungi mereka yang sengsara.
Contoh kiai pesantren yang segera bisa kita lihat
seperti itu ya Mbah Moen. Orang tahu semata kiprah kemasyarakatan Mbah Moen
selama hidup beliau. Pertanyaannya, mengapa ada orang yang begitu peduli dan
dengan tulus ikhlas -tanpa meminta imbalan- mendarmabaktikan hidupnya, tenaga
dan pikirannya, untuk umat dan sesamanya? Jawabnya, menurut hemat saya,
pertama, karena orang seperti Mbah Moen ini sangat mencintai umat dan sesamanya.
Kedua, contoh dan panutan kiai seperti Mbah Moen ini adalah -siapa lagi kalau
bukan- pemimpin agungnya, kanjeng Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Kita tahu
Kanjeng Rasul sangat mencintai dan peduli terhadap umatnya, tidak bisa melihat
umatnya menderita (Q 9: 128). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lemah
lembut terhadap sesama, memaafkan bila ada yang bersalah kepadanya, memintakan
ampun bila ada yang berdosa kepada Tuhannya, dan mengajak mereka bermusyawarah
mengenai hal-hal yang menjadi kepentingan bersama. (Q 3: 159). Maka, anehkah
bila semua orang yang mengenal Mbah Moen sangat mencintai beliau?
Di samping itu, kalau umumnya kiai pesantren mencintai
tanah airnya, hubbul wathan, Mbah Moen termasuk yang paling menonjol. Bukan
hanya karena beliau memang didikan pesantren di mana kiai-kiainya adalah
pejuang, tapi lebih dari itu, beliau sendiri sejak muda -tanpa banyak yang
mengetahui- adalah pejuang di antara pejuang-pejuang kemerdekaan. Maka, tidak
seperti umumnya tokoh-tokoh lain, meskipun Mbah Moen sampai wafatnya menyandang
jabatan tertinggi partai, Partai Persatuan Pembangunan (ketua majelis syariah),
dan Jam’iyah Nahdlatul Ulama (mustasyar), beliau tidak pernah menempatkan
partai dan jam’iyah yang ikut beliau pimpin sebagai yang paling utama, apalagi
sebagai tujuan akhir.
Kalau tidak salah, saya sempat memperhatikan hiasan
dinding yang dipasang di ndalem. Di atas sendiri terpasang kaligrafi “Allah”
dan “Muhammad”; di bawahnya simbol Garuda Pancasila; di bawahnya tanda gambar
NU; dan di bawahnya lagi gambar Kakbah PPP. Bahkan, beliau pernah berpidato di
acara khataman Alquran. Beliau antara lain berkata, “Kulo niki mboten kados
paklik kulo Mustofa, piyambakipun meniko taksih kapernah paman kulo. Menawi
piyambake, nomer setunggal niku NU; menawi kulo mboten. Menawi kulo nomer
setunggal nggih Garuda Pancasila (Saya ini tidak seperti paman saya Mustofa,
dia itu masih terhitung paman saya. Kalau dia, nomor satu itu NU. Kalau saya
tidak. Kalau saya, nomor satu ya Garuda Pancasila).”
Beliaulah yang memopulerkan akronim PBNU: Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau selalu tampak
hadir dalam acara-acara keindonesiaan. Beliau bahkan tidak sungkan melilitkan
pita merah-putih di kepala seperti pencinta-pencinta Indonesia yang lain. Maka,
anehkah bila semua orang Indonesia yang mencintai negerinya mencintai Mbah
Maimoen dan menangisi kepergian beliau?
Mereka semua yang sedikit-banyak pernah mencecap “ilmu
kehidupan” dari beliau merasa bangga karena menjadi santri beliau. Maka, tidak
berlebihanlah apabila kita menjuluki Mbah Moen sebagai Kiai Bangsa. Semoga
santri-santri beliau, terutama putra-putra beliau, dapat meneladani dan
meneruskan khidmah dan perjuangan beliau. Nafa’anaallaahu bi’uluumihi wa
akhlaaqihi wakifaahih. []
JAWA POS, 12 Agustus 2019
A Mustofa Bisri | Pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut
Thalibin, Rembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar