Jumat, 16 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Penjelasan tentang Asas Manfaat Barang dalam Jual Beli


Penjelasan tentang Asas Manfaat Barang dalam Jual Beli

Allah memerintahkan agar hamba-Nya tidak menghambur-hamburkan harta. Untuk itu, dalam praktik muamalah, syarat mutlak agar seorang hamba tidak tercebur dalam praktik pemborosan adalah ia harus selektif dalam membelanjakan keuangannya. Selain barangnya didapat dengan cara halâlan (halal), ia juga harus memperhatikan sisi thayyiban, yaitu benar/baik cara mendapatkannya.

Untuk itu, salah satu ciri barang yang masuk kategori baik dalam cara mendapatkan adalah barang tersebut harus memiliki ukuran nilai manfaat bagi si hamba. Inilah salah satu dasar mengapa salah satu syarat agar barang (ma’qud ‘alaih) bisa diperjualbelikan adalah harus memiliki nilai manfaat. Tidak boleh menjual barang yang tidak memiliki nilai manfaat. Berdasarkan manfaat ini pula, suatu barang disebut sebagai harta.

Meskipun suatu barang memiliki rupa wujud fisik berupa barang yang dianggap remeh, semisal barang rongsokan/sampah, manakala dia memiliki manfaat, maka sah diperjualbelikan karena ia sama dengan harta. Tentunya dengan catatan, asal kondisi barang termasuk barang suci wujud fisiknya, dan tidak terkena najis (mutanajjis). Bila barang itu merupakan barang mutanajjis, maka syarat sah agar dapat diperjualbelikan adalah barang tersebut harus bisa disucikan dari najis. Untuk barang yang najis, asal ada kemanfaatan, maka dapat dilakukan proses pindah tangan (naqlu al-yad) sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya.

Ada beberapa ukuran nilai manfaat. Ukuran pertama adalah manfaat hâlan (kontan), yaitu barang tersebut dapat dipergunakan seketika itu juga setelah terjadi proses saling terima antara harga dan barang. Sebotol air kemasan, adalah memiliki nilai manfaat disebabkan ia dapat diminum. Satu saset MSG penyedap rasa, memiliki nilai manfaat disebabkan ia dapat dipergunakan sebagai bumbu masak. 

Ukuran kedua adalah barang tersebut memiliki manfaat jangka panjang (ma-âlan), seperti anak kambing yang masih kecil. Jarang sekali orang membeli kambing yang masih kecil karena alasan memenuhi kebutuhan daging. Ia pasti membutuhkan waktu lama menunggu dan merawat agar anak kambing tersebut tumbuh besar dan siap untuk diambil manfaat susunya, atau dagingnya. 

Ada kalanya ukuran ditentukan berdasarkan kadarnya, seperti beras. Tidak mungkin melakukan jual beli beras yang hanya dua butir karena ketiadaanya disebut sebagai harta. Terhadap manfaat berdasarkan ukuran ini, penulis jadi ingat dengan suatu kisah yang pernah terjadi di masa lalu, dan diceritakan langsung kepada penulis.

Pasca G30S/PKI dulu, pernah terjadi di suatu daerah, ada orang yang mengucapkan akad jual beli antara pemilik tanah dengan calon pembelinya. Tidak perlu disebutkan oleh penulis di mana letak/lokasi daerah itu. Kita mutlak fokus pada kajian tentang manfaat barang yang dijualbelikan saja. 

Suatu ketika pemilik tanah mengatakan kepada calon pembeli: “Saya hendak menjual tanah ke kamu. ‘Batas’ ini sampai ‘batas’ sana.” Ia mengatakan itu sambil menunjuk tanah batas yang dimaksud. 

Calon pembeli langsung mengajukan tawaran: “Berapa? Kalau terlalu mahal, maka saya tidak punya uang.” 

Si Pemilik menjawab: “Murah. Hanya 100 ribu saja.” 

Uang sebesar 100 ribu rupiah pada waktu itu sudah bisa digunakan untuk membeli tanah seluas kurang lebih 1 hektare area. Berhubung calon pembeli memandangnya sebagai yang murah serta strategis lokasinya, maka diiyakannya. Akhirnya terjadilah kesepakatan jual beli. 

Selanjutnya, ketika tiba waktu menyiapkan garapan tanaman dan lahan, mulailah timbul masalah. Sang pemilik asal, tiba-tiba mencangkuli lahan pertanian tersebut. Tentu saja pembeli lahan itu komplain. 

Dia mengatakan: “Bukankah aku sudah membeli tanahmu? Kenapa kamu masih mencangkulinya?”

Si penjual mengatakan: “Bukankah yang aku jual kepadamu adalah batas tanah itu sampai sana?”

Pembeli menjawab: “Iya.”

Si penjual: “Lantas apa masalahnya? Batas tanah itu menjadi milik kamu.”

Si pembeli: “Lha, terus lahannya?”

Si penjual: “Aku tidak menjual lahannya. Bukankah aku bilang, kalau aku menjual batas tanah.”

Terjadilah kemudian keributan sampai kemudian melibatkan pamong desa dan bahkan sampai pengadilan. Uniknya, sang pembeli tadi kalah dalam persidangan. 

Sedikit kisah ini merupakan fakta yang pernah diceritakan langsung oleh kakek penulis selaku saksi mata saat itu. Mencermati fenomena kasus ini, setidaknya penulis langsung teringat dengan ungkapan yang disampaikan oleh Syekh Abdul Mu’thi Muhammad bin Umar al-Nawawi atau yang dikenal sebagai Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatu al-Zain-nya. Beliau menyampaikan:

والخامس النفع بالمعقود عليه شرعا حالا كالماء في شط النهر والعبد الزمن فيصح بيعه لمنفعة عتقه أو مآلا كالجحش الصغير الذي ماتت أمه فلا يصح بيع حبتي حنطة ونحوهما ولو في زمن الغلاء لانتفاء النفع بذلك لقلته

Artinya: “Syarat kelima adalah keberadaan manfaat—secara syara’—atas barang yang diakadkan, yakni “manfaat seketika”, misalnya air di tepi sungai, hamba sahaya yang lumpuh, maka sah dijual untuk kemanfaatan memerdekakan. “Manfaat tertunda”, seperti anak himar yang masih kecil yang ditinggal mati induknya. Tidak sah menjual dua biji hinthah (gandum) dan sejenisnya meskipun pada kondisi paceklik karena ketiadaan manfaat dengan dua biji tersebut karena sedikitnya.” (Abdul Mu’thi Muhammad bin Umar al-Nawawi, Nihâyatu al-Zain fi Irsyâdi al-Mubtadi-īn, Kediri: Al-Ma’had al-Islam al-Salafi Petuk, tt.: 226) 

Kasus sebagaimana kisah di atas, kedudukannya dapat disamakan dengan dua biji hinthah (gandum) yang dijual. Hukumnya tidak sah disebabkan karena unsur sedikitnya barang sehingga menafikan segi manfaatnya. Bagaimana mungkin mau melakukan cocok tanam di batas tanah, sementara lahannya dimiliki orang lain. Selain itu, umumnya orang menjual tanah dengan menunjukkan batas tanah adalah berarti lengkap dengan lahan yang dibatasinya, dan bukan hanya bagian pembatasnya saja. Dalam syariat, akad di atas juga bisa masuk pasal gharar, yaitu pasal penipuan, sehingga harusnya diputus batal akadnya. Namun sayangnya, pengadilan telah memenangkan pihak penjual tanah. 

Contoh aktual tren dewasa ini, kalau anda browsing di Youtube, di sana Anda akan melihat banyak saudagar-saudagar kaya di negeri Uni Emirat Arab memelihara hewan buas, termasuk harimau, dan sejenisnya. Sementara, di wilayah kita ada orang yang memiliki kegemaran memelihara burung untuk diambil manfaat keindahan suaranya. Di sisi lain, ada orang yang menjual pakan burung berupa ulat-ulat kecil atau pelet yang terbuat dari kotoran binatang yang telah mengalami olahan. 

Jika melihat dari wujud fisik hewan, maka kita langsung teringat dengan pesan dari Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab-nya. Beliau mengatakan:

لا يصح بيع حشرات لا تنفع وهي صغار دواب الأرض كحية وعقرب وفأرة وخنفساء إذ لا نفع فيها يقابل بالمال وإن ذكر لها منافع في الخواص

Artinya: “Tidak sah jual beli hewan-hewan melata yang tidak bermanfaat, yaitu hewan-hewan kecil melatanya bumi, seperti ular, kala jengking, tikus, kumbang, karena ketiadaan manfaat padanya yang bisa menyamai harta, meskipun ada yang menyebut adanya beberapa manfaat khusus yang dimilikinya.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 159)

Ungkapan Syekh Zakaria Al-Anshary ini bisa kita jumpai senada dalam banyak kitab lain. Khusus dalam teks di atas, selain disampaikan kemutlakan hukum, juga sekaligus dinyatakan batasannya. Kemutlakan yang disampaikan adalah bahwa hewan-hewan melata seperti ular, kala jengking, tikus, kumbang, adalah bagian dari hewan-hewan yang tidak sah diperjualbelikan. Meskipun pada dasarnya ia bukan hewan yang najis fisiknya. Namun, ketiadaan manfaat itu yang menyebabkan dilarangnya. Bahkan disampaikan, meskipun ia memiliki keistimewaan manfaat lain. 

Syekh Zakaria menyebut dengan istilah “keistimewaan manfaat” ini tentu memiliki sejumlah alasan. Seperti misalnya, beberapa kalangan kedokteran dewasa ini, ada yang menggunakan ular untuk diambil racunnya guna mengobati orang yang terkena gigitan ular. Ini adalah salah satu contoh keistimewaan yang dimaksud. Para kalangan dokter juga menyebutkan bahwa katak lembu, tokek, juga memiliki protein tinggi. Padahal dari segi fisiknya, ular, katak dan tokek adalah diputus secara qath’iy sebagai hewan yang haram dimakan. Tentu pemanfaatan segala sesuatu yang diperoleh dari masing-masing hewan yang diharamkan adalah haram pula. Karena haram serta ketiadaan manfaat, maka jual belinya juga haram pula.

Lantas bagaimana dengan keberadaan hewan buas, seperti macan, harimau dan sebagainya? Beliau Syekh Zakaria Al-Anshari menambahkan: 

ولا بيع سباع لا تنفع كأسد وذئب ونمر وما في اقتناء الملوك لها من الهيبة والسياسة ليس من المنافع المعتبرة بخلاف ما ينفع منها كضبع للأكل وفهد للصيد وفيل للقتال

Artinya: “Tidak sah jual beli hewan buas yang tidak bermanfaat, seperti harimau, serigala, macan, dan apa saja yang sering menjadi simbol kewibawaan dan siasat raja, yang tidak memiliki manfaat umum. Tentu hal ini berbeda dengan barang yang memiliki manfaat umum seperti anjing hutan untuk makan dan macan tutul untuk berburu serta gajah untuk berperang.” (Lihat: Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 159!)

Jika menimbang sisi adanya anjing hutan, macan tutul dan gajah dalam teks di atas, sebagai hewan yang dibolehkan untuk dijualbelikan karena memiliki manfaat lain yang dibenarkan secara syariat, padahal ketiganya adalah hewan yang haram juga untuk dikonsumsi, maka dapat disimpulkan bahwa jika jual beli itu berhubungan dengan hewan yang haram untuk dimakan, maka jual beli itu sah dan boleh asal tidak diperuntukkan untuk konsumsi dan dapat membantu peran manusia. Adanya dapat disebut dapat membantu peran manusia, tentu dalam hal ini melibatkan unsur lain, yaitu bahwa hewan itu telah dididik. 

Yang patut digarisbawahi adalah keberadaan manfaat umum yang dimaksud dalam teks. Manfaat umum tersebut disebutkan: untuk membantu mencari makan, berburu, dan untuk berperang. Selain dari ketiga manfaat ini, maka belum terdapat teks yang menyebutkan. 

Bagaimana bila dijadikan sebagai hewan piaraan sebagai simbol kebanggaan? Teks di atas juga menyatakan sebagai tidak sah dijualbelikan. Sampai di sini maka kita bisa menyamakan, bahwa keberadaan binatang buas yang dipelihara oleh sejumlah kalangan saudagar Uni Emirat Arab, meskipun ia masuk dalam kategori hewan yang sudah dididik, namun karena ketiadaan manfaat mu’tabar (yang betul-betul layak dipertimbangkan, red) sebagaimana yang disampaikan oleh dalil syar’i, maka hukumnya adalah tidak boleh dijualbelikan. Demikian juga dengan memelihara sejumlah burung yang buas, seperti elang, dan sejenisnya, yang sering dijadikan simbol kerajaan. Maka hukumnya masih tidak boleh untuk diperjualbelikan. Untuk itu perlu langkah lain jika hendak dialihkan perawatannya kepada orang lain, yakni melalui jalur naqlu al-yad (pindah tangan).

Bagaimana dengan jual beli petasan dan sejenisnya? Anda tentu bisa menarik kesimpulan sendiri di sini. Apakah ia memiliki manfaat? Apakah manfaatnya termasuk manfaat yang mu’tabar dan berlaku umum? Silahkan digali sendiri! Wallahu a’lam bi al-shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar