Penjelasan tentang Asas Manfaat
Barang dalam Jual Beli
Allah ﷻ memerintahkan agar
hamba-Nya tidak menghambur-hamburkan harta. Untuk itu, dalam praktik muamalah,
syarat mutlak agar seorang hamba tidak tercebur dalam praktik pemborosan adalah
ia harus selektif dalam membelanjakan keuangannya. Selain barangnya didapat dengan
cara halâlan (halal), ia juga harus memperhatikan sisi thayyiban,
yaitu benar/baik cara mendapatkannya.
Untuk itu, salah satu ciri barang yang masuk
kategori baik dalam cara mendapatkan adalah barang tersebut harus memiliki
ukuran nilai manfaat bagi si hamba. Inilah salah satu dasar mengapa salah satu
syarat agar barang (ma’qud ‘alaih) bisa diperjualbelikan adalah harus
memiliki nilai manfaat. Tidak boleh menjual barang yang tidak memiliki nilai
manfaat. Berdasarkan manfaat ini pula, suatu barang disebut sebagai harta.
Meskipun suatu barang memiliki rupa wujud
fisik berupa barang yang dianggap remeh, semisal barang rongsokan/sampah,
manakala dia memiliki manfaat, maka sah diperjualbelikan karena ia sama dengan
harta. Tentunya dengan catatan, asal kondisi barang termasuk barang suci wujud
fisiknya, dan tidak terkena najis (mutanajjis). Bila barang itu
merupakan barang mutanajjis, maka syarat sah agar dapat diperjualbelikan adalah
barang tersebut harus bisa disucikan dari najis. Untuk barang yang najis, asal
ada kemanfaatan, maka dapat dilakukan proses pindah tangan (naqlu al-yad)
sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya.
Ada beberapa ukuran nilai manfaat. Ukuran
pertama adalah manfaat hâlan (kontan), yaitu barang tersebut dapat
dipergunakan seketika itu juga setelah terjadi proses saling terima antara
harga dan barang. Sebotol air kemasan, adalah memiliki nilai manfaat disebabkan
ia dapat diminum. Satu saset MSG penyedap rasa, memiliki nilai manfaat
disebabkan ia dapat dipergunakan sebagai bumbu masak.
Ukuran kedua adalah barang tersebut memiliki
manfaat jangka panjang (ma-âlan), seperti anak kambing yang masih kecil.
Jarang sekali orang membeli kambing yang masih kecil karena alasan memenuhi
kebutuhan daging. Ia pasti membutuhkan waktu lama menunggu dan merawat agar
anak kambing tersebut tumbuh besar dan siap untuk diambil manfaat susunya, atau
dagingnya.
Ada kalanya ukuran ditentukan berdasarkan
kadarnya, seperti beras. Tidak mungkin melakukan jual beli beras yang hanya dua
butir karena ketiadaanya disebut sebagai harta. Terhadap manfaat berdasarkan
ukuran ini, penulis jadi ingat dengan suatu kisah yang pernah terjadi di masa
lalu, dan diceritakan langsung kepada penulis.
Pasca G30S/PKI dulu, pernah terjadi di suatu
daerah, ada orang yang mengucapkan akad jual beli antara pemilik tanah dengan
calon pembelinya. Tidak perlu disebutkan oleh penulis di mana letak/lokasi
daerah itu. Kita mutlak fokus pada kajian tentang manfaat barang yang
dijualbelikan saja.
Suatu ketika pemilik tanah mengatakan kepada
calon pembeli: “Saya hendak menjual tanah ke kamu. ‘Batas’ ini sampai ‘batas’
sana.” Ia mengatakan itu sambil menunjuk tanah batas yang dimaksud.
Calon pembeli langsung mengajukan tawaran:
“Berapa? Kalau terlalu mahal, maka saya tidak punya uang.”
Si Pemilik menjawab: “Murah. Hanya 100 ribu
saja.”
Uang sebesar 100 ribu rupiah pada waktu itu
sudah bisa digunakan untuk membeli tanah seluas kurang lebih 1 hektare area.
Berhubung calon pembeli memandangnya sebagai yang murah serta strategis
lokasinya, maka diiyakannya. Akhirnya terjadilah kesepakatan jual beli.
Selanjutnya, ketika tiba waktu menyiapkan
garapan tanaman dan lahan, mulailah timbul masalah. Sang pemilik asal,
tiba-tiba mencangkuli lahan pertanian tersebut. Tentu saja pembeli lahan itu
komplain.
Dia mengatakan: “Bukankah aku sudah membeli
tanahmu? Kenapa kamu masih mencangkulinya?”
Si penjual mengatakan: “Bukankah yang aku
jual kepadamu adalah batas tanah itu sampai sana?”
Pembeli menjawab: “Iya.”
Si penjual: “Lantas apa masalahnya? Batas tanah
itu menjadi milik kamu.”
Si pembeli: “Lha, terus lahannya?”
Si penjual: “Aku tidak menjual lahannya.
Bukankah aku bilang, kalau aku menjual batas tanah.”
Terjadilah kemudian keributan sampai kemudian
melibatkan pamong desa dan bahkan sampai pengadilan. Uniknya, sang pembeli tadi
kalah dalam persidangan.
Sedikit kisah ini merupakan fakta yang pernah
diceritakan langsung oleh kakek penulis selaku saksi mata saat itu. Mencermati
fenomena kasus ini, setidaknya penulis langsung teringat dengan ungkapan yang
disampaikan oleh Syekh Abdul Mu’thi Muhammad bin Umar al-Nawawi atau yang
dikenal sebagai Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatu al-Zain-nya.
Beliau menyampaikan:
والخامس
النفع بالمعقود عليه شرعا حالا كالماء في شط النهر والعبد الزمن فيصح بيعه لمنفعة
عتقه أو مآلا كالجحش الصغير الذي ماتت أمه فلا يصح بيع حبتي حنطة ونحوهما ولو في
زمن الغلاء لانتفاء النفع بذلك لقلته
Artinya: “Syarat kelima adalah keberadaan
manfaat—secara syara’—atas barang yang diakadkan, yakni “manfaat seketika”,
misalnya air di tepi sungai, hamba sahaya yang lumpuh, maka sah dijual untuk
kemanfaatan memerdekakan. “Manfaat tertunda”, seperti anak himar yang masih
kecil yang ditinggal mati induknya. Tidak sah menjual dua biji hinthah (gandum) dan
sejenisnya meskipun pada kondisi paceklik karena ketiadaan manfaat dengan dua
biji tersebut karena sedikitnya.” (Abdul Mu’thi Muhammad bin Umar al-Nawawi, Nihâyatu
al-Zain fi Irsyâdi al-Mubtadi-īn, Kediri: Al-Ma’had al-Islam al-Salafi
Petuk, tt.: 226)
Kasus sebagaimana kisah di atas, kedudukannya
dapat disamakan dengan dua biji hinthah (gandum) yang dijual. Hukumnya
tidak sah disebabkan karena unsur sedikitnya barang sehingga menafikan segi
manfaatnya. Bagaimana mungkin mau melakukan cocok tanam di batas tanah,
sementara lahannya dimiliki orang lain. Selain itu, umumnya orang menjual tanah
dengan menunjukkan batas tanah adalah berarti lengkap dengan lahan yang
dibatasinya, dan bukan hanya bagian pembatasnya saja. Dalam syariat, akad di
atas juga bisa masuk pasal gharar, yaitu pasal penipuan, sehingga harusnya
diputus batal akadnya. Namun sayangnya, pengadilan telah memenangkan pihak
penjual tanah.
Contoh aktual tren dewasa ini, kalau anda
browsing di Youtube, di sana Anda akan melihat banyak saudagar-saudagar kaya di
negeri Uni Emirat Arab memelihara hewan buas, termasuk harimau, dan sejenisnya.
Sementara, di wilayah kita ada orang yang memiliki kegemaran memelihara burung
untuk diambil manfaat keindahan suaranya. Di sisi lain, ada orang yang menjual
pakan burung berupa ulat-ulat kecil atau pelet yang terbuat dari kotoran
binatang yang telah mengalami olahan.
Jika melihat dari wujud fisik hewan, maka
kita langsung teringat dengan pesan dari Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Fathul
Wahab-nya. Beliau mengatakan:
لا
يصح بيع حشرات لا تنفع وهي صغار دواب الأرض كحية وعقرب وفأرة وخنفساء إذ لا نفع
فيها يقابل بالمال وإن ذكر لها منافع في الخواص
Artinya: “Tidak sah jual beli hewan-hewan
melata yang tidak bermanfaat, yaitu hewan-hewan kecil melatanya bumi, seperti
ular, kala jengking, tikus, kumbang, karena ketiadaan manfaat padanya yang bisa
menyamai harta, meskipun ada yang menyebut adanya beberapa manfaat khusus yang
dimilikinya.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi
Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 159)
Ungkapan Syekh Zakaria Al-Anshary ini bisa
kita jumpai senada dalam banyak kitab lain. Khusus dalam teks di atas, selain
disampaikan kemutlakan hukum, juga sekaligus dinyatakan batasannya. Kemutlakan
yang disampaikan adalah bahwa hewan-hewan melata seperti ular, kala jengking,
tikus, kumbang, adalah bagian dari hewan-hewan yang tidak sah diperjualbelikan.
Meskipun pada dasarnya ia bukan hewan yang najis fisiknya. Namun, ketiadaan
manfaat itu yang menyebabkan dilarangnya. Bahkan disampaikan, meskipun ia
memiliki keistimewaan manfaat lain.
Syekh Zakaria menyebut dengan istilah
“keistimewaan manfaat” ini tentu memiliki sejumlah alasan. Seperti misalnya,
beberapa kalangan kedokteran dewasa ini, ada yang menggunakan ular untuk
diambil racunnya guna mengobati orang yang terkena gigitan ular. Ini adalah
salah satu contoh keistimewaan yang dimaksud. Para kalangan dokter juga
menyebutkan bahwa katak lembu, tokek, juga memiliki protein tinggi. Padahal
dari segi fisiknya, ular, katak dan tokek adalah diputus secara qath’iy sebagai
hewan yang haram dimakan. Tentu pemanfaatan segala sesuatu yang diperoleh dari
masing-masing hewan yang diharamkan adalah haram pula. Karena haram serta
ketiadaan manfaat, maka jual belinya juga haram pula.
Lantas bagaimana dengan keberadaan hewan
buas, seperti macan, harimau dan sebagainya? Beliau Syekh Zakaria Al-Anshari
menambahkan:
ولا
بيع سباع لا تنفع كأسد وذئب ونمر وما في اقتناء الملوك لها من الهيبة والسياسة ليس
من المنافع المعتبرة بخلاف ما ينفع منها كضبع للأكل وفهد للصيد وفيل للقتال
Artinya: “Tidak sah jual beli hewan buas yang
tidak bermanfaat, seperti harimau, serigala, macan, dan apa saja yang sering
menjadi simbol kewibawaan dan siasat raja, yang tidak memiliki manfaat umum.
Tentu hal ini berbeda dengan barang yang memiliki manfaat umum seperti anjing
hutan untuk makan dan macan tutul untuk berburu serta gajah untuk berperang.”
(Lihat: Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji
al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 159!)
Jika menimbang sisi adanya anjing hutan,
macan tutul dan gajah dalam teks di atas, sebagai hewan yang dibolehkan untuk
dijualbelikan karena memiliki manfaat lain yang dibenarkan secara syariat,
padahal ketiganya adalah hewan yang haram juga untuk dikonsumsi, maka dapat disimpulkan
bahwa jika jual beli itu berhubungan dengan hewan yang haram untuk dimakan,
maka jual beli itu sah dan boleh asal tidak diperuntukkan untuk konsumsi dan
dapat membantu peran manusia. Adanya dapat disebut dapat membantu peran
manusia, tentu dalam hal ini melibatkan unsur lain, yaitu bahwa hewan itu telah
dididik.
Yang patut digarisbawahi adalah keberadaan
manfaat umum yang dimaksud dalam teks. Manfaat umum tersebut disebutkan: untuk
membantu mencari makan, berburu, dan untuk berperang. Selain dari ketiga
manfaat ini, maka belum terdapat teks yang menyebutkan.
Bagaimana bila dijadikan sebagai hewan
piaraan sebagai simbol kebanggaan? Teks di atas juga menyatakan sebagai tidak
sah dijualbelikan. Sampai di sini maka kita bisa menyamakan, bahwa keberadaan
binatang buas yang dipelihara oleh sejumlah kalangan saudagar Uni Emirat Arab,
meskipun ia masuk dalam kategori hewan yang sudah dididik, namun karena
ketiadaan manfaat mu’tabar (yang betul-betul layak dipertimbangkan,
red) sebagaimana yang disampaikan oleh dalil syar’i, maka hukumnya
adalah tidak boleh dijualbelikan. Demikian juga dengan memelihara sejumlah
burung yang buas, seperti elang, dan sejenisnya, yang sering dijadikan simbol
kerajaan. Maka hukumnya masih tidak boleh untuk diperjualbelikan. Untuk itu
perlu langkah lain jika hendak dialihkan perawatannya kepada orang lain, yakni
melalui jalur naqlu al-yad (pindah tangan).
Bagaimana dengan jual beli petasan dan
sejenisnya? Anda tentu bisa menarik kesimpulan sendiri di sini. Apakah ia
memiliki manfaat? Apakah manfaatnya termasuk manfaat yang mu’tabar dan
berlaku umum? Silahkan digali sendiri! Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar