Ketentuan Hukum Jual Beli
Borongan dalam Islam
Salah satu syarat jual beli adalah wajib
mengetahui barang yang hendak diperjualbelikan, baik wujud fisiknya barang ('ain),
kadarnya maupun sifatnya, dengan tujuan menghindari adanya gharar (penipuan)
yang mungkin saja terjadi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر
Artinya: “Dari Abu Hurairah radliyallahu
‘anhu: Sesungguhnya Nabi ﷺ telah melarang dari
jual beli gharar (penipuan).” (Syekh Jalaluddin al-Mahally, Al-Mahally ‘ala
Minhâji al-Thâlibîn, Kediri: Pesantren Petuk, tt: 156).
Gambaran sederhana dari jual beli gharar ini
misalnya adalah akad menjual salah satu dari dua baju yang digantung. Pembeli
tidak mengetahui secara pasti, mana dari kedua baju yang sedang ditawarkan.
Padahal, kedua baju berbeda jenis dan ukurannya. Inilah yang dimaksud dari jual
beli gharar. Hukumnya haram dan akadnya tidak sah (batal).
Permasalahannya kemudian, bagaimana dengan
jual beli barang tumpukan atau jual beli borongan yang umum berlaku di
masyarakat dengan kondisi barang seragam dan sejenis? Jual beli borongan adalah
jual beli suatu barang yang masih ada dalam bentuk tumpukan, atau bahkan belum
dipetik sama sekali dari pohonnya. Barang yang dijual adalah barang yang
berwujud sebagaian dari tumpukan itu, atau bahkan total semua barang yang ada
namun tidak diketahui kadarnya. Di dalam literatur fiqih, akad jual beli
tebasan/borongan ini dikenal dengan istilah bai’u shabratin atau bai’u
jazafin. Dalam kitab Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Syekh
Jalaluddin Al-Mahally menjelaskan hukum dari jual beli borongan ini sebagai
berikut:
ويصح
بيع صاع من صبرة تعلم صيعانها للمتعاقدين وينزل على الإشاعة فإذا علما أنها عشرة
آصع فالمبيع عشرها فلو تلف بقدره من المبيع
Artinya: “Sah jual beli satu sha’ di antara
tumpukan barang yang diketahui wujud tumpukannya oleh dua orang yang berakad
sehingga barang dipandang secara global saja. Misalnya, diketahui bahwa
tumpukan itu terdiri dari 10 sha’, sementara barang yang dijual hanya 1/10-nya
(1 sha’), meskipun sebagian dari barang itu ada yang rusak.” (Syekh Jalaluddin
al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Kediri: Pesantren
Petuk, tt: 156).
Maksud dari ibarat di atas adalah bahwa sah
melakukan jual beli sebagian dari barang sejenis yang masih berwujud tumpukan,
meskipun di antara tumpukan itu ada barang yang rusak wujudnya.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
jual beli ini menjadi sah, yaitu:
- Wujud barang yang ditumpuk adalah berupa
barang sejenis dan tidak bercampur dengan barang lain. Misalnya: tumpukan
gandum, berarti seluruh dari isi tumpukan ini terdiri atas gandum.
- Kedua orang yang berakad harus mengetahui
wujud tumpukannya. Untuk syarat kedua ini sebenarnya bukan syarat baku, karena
meskipun ada barang yang rusak di antara tumpukan itu, asalkan barangnya sejenis,
maka masih sah untuk diperjualbelikan, dengan syarat diketahui kebutuhan
takaran yang dikehendaki oleh pembeli.
- Kedua orang yang berakad menentukan jumlah
takaran yang hendak dibelinya. Takaran ini bisa berwujud takaran kilogram,
liter dan sejenisnya
Jika syarat ini kita tarik dalam jual beli
tebasan di lahan, maka syarat mutlak yang harus dipenuhi agar jual beli tebasan
menjadi sah, adalah:
- Kedua orang yang berakad harus mengetahui
wujud tanaman yang hendak diborongnya
- Tanamannya harus seragam (sejenis).
- Pemborong harus menentukan besar takaran
yang hendak dibelinya karena ada kemungkinan sebagian dari barang ada yang
rusak.
Dari ketiga syarat ini, syarat yang ketiga
sering dilewatkan oleh kedua orang yang sedang bertransaksi di lapangan. Syarat
itu adalah berupa jumlah takaran yang hendak diborong atau dibutuhkan oleh si
pemborong. Pada umumnya, para pemborong tebasan adalah ingin mengambil untung
dari kelebihan takaran barang yang ditebasnya, dan hal ini menurut qaul yang
paling shohih dari madzhab Syafi’i adalah tidak diperbolehkan karena adanya
unsur gharar yang tersimpan. Syekh Jalaluddin al-Mahally lebih lanjut
menjelaskan:
ولو
باع بملء ذا البيت حنطة أو بزنة هذه الحصاة ذهبا أو بما باع به فلان فرسه أي بمثل
ذلك وأحدهما لايعلمه أو بألف دراهم ودنانير لم يصح البيع للجهل بقدر الثمن الذهب
والفضة وغيرهما
Artinya: “Seandainya ada seorang penjual
hendak menjual emasnya, (ditukar) dengan seluruh hinthah yang memenuhi rumahnya
atau dengan timbangan kerikil misalnya, atau ditukar dengan hasil menjual
kudanya suatu misal, sehingga salah satunya tidak diketahui, atau dengan 1000
dirham dan beberapa dinar, maka tidak sah jual beli tersebut disebabkan ketidak
tahuan harganya, baik emas, perak atau selain keduanya.” (Syekh Jalaluddin
al-Mahally, Al-Mahally ‘ala Minhâji al-Thâlibîn, Kediri: Pesantren Petuk, tt:
156).
Dalam ibarat ini, Syekh Jalaluddin al-Mahally
menjelaskan bahwa prasyarat agar jual beli borongan dipandang sah secara
syara’, maka harus diketahui besaran harganya (thaman). Besaran harga
ini penting artinya agar kedua pihak yang berakad tidak saling merasa
dirugikan. Pernyataan “sebesar tumpukan hinthah yang ada di rumah”, atau
“seharga jual kuda” adalah merupakan pernyataan yang mengandung pengertian
samar (mubham). Agar memenuhi syarat ma’lum, maka pernyataan harus
diubah menjadi: “1 kuintal hinthah” atau misalnya “1000 dinar”. Bedakan antara
istilah “1000 dinar” dengan “beberapa dinar!” Keduanya jelas memiliki perbedaan
yang mendasar di antara keduanya.
Semua pendapat di atas, adalah pendapat dari
Syekh Jalaluddin al-Mahally dalam kitabnya Al-Mahally ‘ala Minhâji
al-Thâlibîn. Lebih lanjut, pembaca bisa merujuk sendiri dalam kitab
tersebut. Lantas, bagaimana pandangan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i terhadap jual
beli tebasan? Mari kita simak ibarat dari kitab Al-Majmu’ berikut ini:
فَرْعٌ
لَوْ كَانَتْ الصُّبْرَةُ عَلَى مَوْضِعٍ مِنْ الأَرْضِ فِيهِ ارْتِفَاعٌ
وَانْخِفَاضٌ فَبَاعَهَا وَهِيَ كَذَلِكَ أَوْ بَاعَ السَّمْنَ أَوْ نَحْوَهُ فِي
ظَرْفٍ مُخْتَلِفِ الأَجْزَاءِ رِقَّةً وَغِلَظًا فَفِيهِ ثَلاثَةُ طُرُقٍ (
أَصَحُّهَا ) أَنَّ فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ قَوْلَيْ بَيْعِ الْغَائِبِ لانَّهُ
لَمْ يَحْصُلْ رُؤْيَةٌ تُفِيدُ الْمَعْرِفَةَ ( وَالثَّانِي ) الْقَطْعُ بِالصِّحَّةِ ( وَالثَّالِثُ )
الْقَطْعُ بِالْبُطْلانِ وَهَذَا ضَعِيفٌ قَالَ الرَّافِعِيُّ وَهُوَ ضَعِيفٌ
وَإِنْ كَانَ مَنْسُوبًا إلَى الْمُحَقِّقِينَ ( فَإِنْ قُلْنَا ) بِالصِّحَّةِ
فَوَقْتُ الْخِيَارِ هُنَا مَعْرِفَةُ مِقْدَارِ الصُّبْرَةِ أَوْ التَّسَكُّنِ
مِنْ تَخْمِينِهِ بِرُؤْيَةِ مَا تَحْتَهَا ( وَإِنْ قُلْنَا ) بِالْبُطْلانِ فَلَوْ بَاعَ الصُّبْرَةَ وَالْمُشْتَرِي
يَظُنُّهَا عَلَى أَرْضٍ مُسْتَوِيَةٍ فَبَانَ تَحْتَهَا دَكَّةٌ
Artinya: “Pengembangan Masalah. Andaikan ada
sebuah tumpukan barang di atas suatu tempat di bumi yang mana tempat tersebut
ada bagian yang tinggi dan ada bagian yang turun dari permukaan (tidak rata),
kemudian pembeli menawarkan tumpukan sebagaimana adanya tersebut, atau ada
seseorang yang menawarkan bubur samin atau sejenisnya, sementara permukaannya
ada bagian yang tipis dan ada pula bagian yang tebal, maka ada tiga kemungkinan
hukum yang berlaku: (1) Pendapat yang paling shahih adalah pernyataan sahnya
jual beli menyerupai jual beli barang ghaib dengan alasan tidak tercapainya
pengetahuan dengan tepat. (2) Kepastian sahnya akad. (3) Kepastian batalnya
akad. Pendapat ini merupakan pendapat yang lemah. Imam Al Rafii mengatakan:
pendapat ketiga adalah pendapat yang lemah jika dibangsakan kepada pelaku
berupa ahli tahqiq (ahli tebas). Alasan kita menyatakan sah adalah pada
waktu khiyar, di sana terdapat upaya untuk memprediksi kadar tumpukan, atau
dengan jalan memasukkan tangan ke dalam tumpukan tersebut untuk mengetahui
kondisi tumpukan bagian bawahnya. Alasan kita menyatakan batal adalah apabila
seorang hamba menjual suatu barang tumpukan, sementara pembeli mengira bahwa
tumpukan tersebut berada di bumi yang rata, padahal ternyata di bawahnya
terdapat bagian yang menonjol.” (Lihat: Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al-Mathba’ah
al-Munîrah, tt.: 9/83)
Berdasarkan pendapat Imam Nawawi yang
termaktub dalam kitab al-Majmu’ di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil
adalah bahwa jual beli tebasan adalah sah dan diperbolehkan manakala terpenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harga per takaran sudah ditentukan di muka
2. Pihak yang membeli mengetahui dengan pasti
kondisi barang yang hendak ditebasnya. Cara mengetahui ini sebagaimana
dicontohkan dalam bunyi ibarat adalah dengan jalan menenggelamkan tangan ke
dalam tumpukan sehingga dapat memprediksi kondisi bagian bawahnya. Bila hal ini
ditarik ke lahan, ada kalanya jarak tanam, panjang larikan tanaman, berat buah
yang dihasilkan dari sekian batang yang hendak ditebas, cukup dapat dijadikan
patokan tolok ukur mengetahui kondisi takaran barang.
3. Orang yang melakukan adalah sudah mahir
dalam urusan memborong barang sehingga kecil kemungkinan mengalami kesalahan
dalam prediksinya.
4. Karena adanya kemungkinan salah atau
benarnya hasil prediksi terhadap ukuran barang, maka jual beli tebasan
disamakan dengan jual beli barang yang belum pernah dilihat (ghaib).
Walhasil, jika diperhatikan dengan seksama,
pendapat Syekh Jalaluddin al-Mahally dan pendapat Imam Nawawi di atas pada
dasarnya tidak saling bertabrakan. Syekh Jalaluddin al-Mahally menyatakan
keharusan menentukan kadar disebabkan ada kemungkinan barang rusak dalam
tumpukan. Sementara itu, kadar kesalahan prediksi ini oleh Imam Nawawi
dinyatakan dapat dijembatani melalui penaksiran dengan menyatakan langsung
bukti fisik barang. Batasan-batasan kondisi barang sehingga mudah diprediksi
secara tidak langsung ditetapkan sebagai langkah praktis memberikan perkiraan
total takaran yang bisa didapat. Wallâhu a’lam bish shawâb.[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar