Empat Metode Membaca
Ta’awudz-Basmalah yang Disusul Ayat
Dalam mengawali bacaan Al-Qur’an, seorang
qari’ dianjurkan memulai dengan membaca isti’adzah/ta'awudz dan basmalah,
sebab keduanya (isti’adzah dan basmalah) memiliki hubungan yang sangat erat,
ibarat dua sisi mata uang.
Hal ini disampaikan oleh Ibnu Jarir
Al-Thabariy, sebagaimana dikutip oleh Al-Allusy, bahwa ayat pertama yang dibawa
oleh Jibril kepada Nabi Muhammad disertai kalimat isti’adzah dan basmalah.
Artinya, Jibril ketika menyampaikan risalah wahyu pertama kali kepada Nabi, ia
memulainya dengan membaca isti’adzah dan basmalah.
Kalimat pertama, isti’adzah, sebagai
ungkapan permohonan untuk dihindarkan dari godaan dan gangguan setan, sedangkan
yang kedua, basmalah, sebagai ungkapan pujian dan pengagungan Dzat Maha Kasih
dan Penyayang. Selain sebagai anjuran dalam memulai bacaan Al-Qur’an, ia juga
sebagai adab dalam berinteraksi dengan kalam ilahi.
Diceritakan dari Ibnu Abbas, bahwa Jibril
berkata kepada Nabi Muhammad: “Wahai Muhammad, bacalah ta’awwudz!” Kemudian
Nabi membaca “ أَسْتَعِيْذُ بِاللهِ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْم مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْم ”. Jibril berkata kembali: “bacalah basmalah”. Nabi pun membaca
basmalah “ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ”. Kemudian dilanjutkan membaca surat
Al-Alaq 1-5 (lihat: Jalaluddin Al-Allusy, Dirasat fi Al-Tafsir wa Ulumihi,
Tunisia, Muassasah bin Asyur, 2006, halaman 182).
Oleh karena itu, dalam riwayat di atas, ada
tiga potongan kalimat; isti’adzah, basmalah, dan ayat Al-Qur’an. Dalam ilmu
qira’at, untuk membaca ketiga potongan kalimat di atas, ada empat metode;
metode ini juga dikenal dengan metode qiyasiy. Berikut contoh dan cara bacanya:
Pertama, berhenti di setiap
potongan kalimat: isti’adzah, basmalah, dan ayat Al-Qur’an. Metode ini dalam
ilmu qira’at dikenal dengan qat’ul jami’, misalnya:
|
اِقْرَأْ بِاسمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ
|
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
|
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
|
Kedua, berhenti pada
kalimat isti’adzah, kemudian menyambung basmalah dengan ayat Al-Qur’an. Metode
ini dikenal dengan qat’ul ûlâ wa washluts tsânî,
misalnya:
|
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ اِقْرَأْ بِاسمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
|
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
|
Ketiga, menyambungkan
kalimat isti’adzah dengan basmalah dan berhenti pada kalimat basmalah, kemudian
memulai awal ayat. Metode ini dikenal dengan washlul ûlâ wa qat’uts tsânî,
misalnya:
|
اِقْرَأْ بِاسمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ
|
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
|
Keempat, menyambungkan semua
komponen kalimat; isti’adzah, basmalah dan awal ayat. Metode ini dikenal dengan
“ washl Al-Jami’”, misalnya:
|
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اقْرَأْ بِاسمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
|
Keempat metode di atas dapat dioprasionalkan
apabila seorang qari’ memulai bacaan Al-Qur’an di awal surat kecuali Surat
Al-Taubah atau Al-Bara’ah.
Sedangkan apabila seorang qari’ memulai
bacaan Al-Qur’an di tengah-tengah surat, seperti awal rubu’, atau awal kisah
dalam Al-Qur’an, maka bagi seorang qari’ boleh membacanya dengan basmalah atau
meninggalkannya (tak membaca basmalah). Apabila seorang qari’ memulai bacaan
Al-Qur’an di tangah-tengah surat dengan membaca basmalah, maka ia boleh
membacanya dengan menggunakan empat metode seperti di atas, tapi apabila tidak
membaca basmalah, maka baginya hanya boleh dua metode saja, yaitu menyambung
isti’adzah dengan ayat Al-Qur’an atau berhenti pada kalimat isti’adzah dan
memulai pada awal ayat. Berikut contoh dan cara bacanya:
Contoh cara menyambung:
|
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا اْلمــُرْسَلُوْنَ
|
Contoh cara berhenti:
|
قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ
أَيُّهَا اْلمــُرْسَلُوْنَ
|
أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
|
Sementara itu, apabila seorang qari’ memulai
membaca Al-Qur’an dengan isti’adzah kemudian berhenti di tengah-tengah ayat
karena percakapan atau menjawab salam, maka dianjurkan baginya untuk mengulang
bacaan isti’adzah. Tapi apabila seorang qari’ berhenti (memutuskan bacaan)
karena sesuatu yang terpaksa, seperti bersin, percakapan yang berhubungan
dengan kemaslahatan bacaan, seperti ragu akan bacaannya (tepat atau tidak)
kemudian ia bertanya kepada orang lain untuk memantapkan bacaannya atau belajar
kepada orang lain, maka dalam hal ini seorang qari’ tidak perlu mengulang
bacaan isti’adzahnya (lihat: Abdul Fattah Al-Qadhiy, Al-Budur Al-Zahirah fi
Al-Qira’at Al-Asyr Al-Mutawatirah, Bairut, Dar al-Kitab al-Arabiy, tt.,
halaman 13). []
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at,
Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar