Taliban Belajar Moderasi Islam
Oleh: Zuhairi Misrawi
Kunjungan Taliban ke Indonesia dalam rangka misi perdamaian di
Afghanistan banyak menimbulkan respons dari publik. Utamanya, pertemuan Wakil
Presiden Jusuf Kalla dengan delegasi Taliban yang dipimpin langsung oleh Mullah Abdul Ghani
Baradar. Banyak pihak yang memahami pertemuan tersebut akan sangat merugikan
Indonesia, karena kita menerima Taliban yang selama ini dikenal sebagai
organisasi ekstremis.
Ada yang berpandangan, kehadiran Taliban ke Indonesia, apalagi diterima oleh orang nomor dua selevel Wakil Presiden akan memberikan makna yang beragam. Jangan-jangan kita dianggap melegitimasi eksistensi dan peran-peran destruktif yang dilakukan Taliban selama ini.
Namun sebenarnya yang terjadi tidak demikian. Kita justru berbangga karena Taliban mau hadir dalam forum perdamaian Afghanistan yang dimediasi Indonesia. Sejak 2017 lalu, Indonesia aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian di Afghanistan setelah diminta langsung oleh Presiden Afghanistan Hamid Karzai.
Presiden Karzai memandang Indonesia sebagai contoh terbaik negara yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi berhasil membangun perdamaian dalam bingkai kebangsaan. Sebaliknya, Afghanistan menghadapi masalah pelik karena konflik di antara faksi-faksi kelompok Islam, yang diperparah peta geopolitik yang runyam, telah menyebabkan hilangnya semangat perdamaian dan persatuan.
Aksi bom bunuh diri, persekusi terhadap minoritas, dan domestifikasi perempuan menjadi masalah-masalah yang semakin memperumit wajah dan masa depan negara para mullah tersebut. Afghanistan mempunyai kekayaan alam yang luar biasa, tetapi konflik antarfaksi telah memupuskan harapan tumbuhnya perdamaian dan persatuan yang akan membawanya sejajar dengan negara-negara lain.
Maka dari itu, inisiatif perdamaian menjadi mutlak diperlukan. Perang sipil yang berlangsung lama sudah terbukti tidak membawa kemaslahatan bagi Afghanistan. Saatnya melakukan introspeksi dan reformasi dengan memulai era baru, yaitu dialog dan negosiasi perdamaian.
Sejak 2017, ulama dan beberapa faksi di Afghanistan telah melakukan dialog dan silaturahim dengan melibatkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka sangat terkesima dengan fakta yang ada karena para ulama dan ormas di Indonesia mampu merajut perdamaian, khususnya dalam rangka membangun kecintaan pada Tanah Air.
Para ulama Afghanistan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap peran-peran kultural dan kebangsaan yang dilakukan NU sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. NU terbukti menjadi pilar penting dalam membangun kecintaan pada Tanah Air dan melahirkan wawasan keagamaan yang moderat, toleran, dan humanis.
Sebagai konsekuensinya, para ulama Afghanistan berinisiatif untuk mendirikan Nadlatul Ulama Afghanistan (NUA). Namanya pun langsung menggunakan Nahdlatul Ulama, karena bagi mereka para ulama mempunyai peran penting dalam mengakhiri konflik dan membangun Afghanistan. Jika para ulama mampu mendorong transformasi sosial dan politik yang lebih konstruktif, maka akan berdampak positif bagi masa depan Afghanistan yang baik.
Saya kebetulan berjumpa langsung dengan pimpinan NUA di Istana Bogor dalam forum moderasi Islam mondial yang dilaksanakan akhir tahun lalu. Mereka sangat bangga dan optimistis, karena kehadiran NUA diterima secara positif dan menginspirasi para ulama untuk membangun paham keagamaan yang moderat dan toleran, serta dapat memperkokoh persatuan kebangsaan.
Sosok Presiden Jokowi juga menjadi faktor penting, karena kehadirannya di Afghanistan dalam memperkuat perdamaian semakin membuktikan peran diplomasi Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Nah, kehadiran Taliban dalam dipahami dalam konteks tersebut. Tidak mudah mengajak Taliban untuk berunding, berdialog, dan bernegosiasi dalam mewujudkan perdamaian. Namun kita patut bangga, akhirnya Taliban mau menghadiri forum perdamaian yang diinisiasi Indonesia dengan melibatkan Pakistan.
Kehadiran Taliban dalam forum tersebut akan mempunyai makna penting, karena Taliban akhirnya mau turut serta dalam forum perdamaian yang diinisiasi Indonesia. Taliban memandang Indonesia sebagai sebuah harapan baru karena mempunyai inisiatif mulai memikirkan masa depan Afghanistan yang damai, berdaulat, mandiri, dan maju.
Yang menarik dari kunjungan Taliban ke Tanah Air, yaitu kunjungan mereka ke NU. Kunjungan tersebut memberikan makna yang sangat besar, karena Taliban mulai melihat moderasi Islam sebagai solusi. Tidak selamanya penyelesaian masalah politik dengan cara-cara ekstrem, melainkan justru dengan menggunakan jalur moderasi.
NU terbukti melahirkan, mengawal, dan membangun Indonesia dengan pandangan-pandangan yang moderat. Di tengah badai infiltrasi ideologi yang dapat mengancam solidaritas kebangsaan, NU berhasil menjaga Indonesia dari ancaman konflik sosial dan disintegrasi. Pancasila sebagai ideologi yang mampu mempersatukan kita sebagai bangsa telah terbukti berhasil meneguhkan kebhinnekaan. Karenanya, NU berada di garda terdepan dalam menjaga dan membumikan Pancasila.
Tentu saja, kehadiran Taliban sekali lagi akan membangkitkan kepercayaan diri bagi kita sebagai sebuah negara-bangsa. Karena faktanya negara-negara lain sudah mulai melirik kita sebagai kiblat dalam membangun perdamaian dan persatuan. Kita mesti percaya bahwa jalan moderasi yang dianut mayoritas negeri ini merupakan alternatif untuk membangun persaudaraan dan solidaritas kebangsaan.
Inisiatif pemerintahan Jokowi untuk memperkuat moderasi beragama akan berdampak positif bagi jalinan kebangsaan kita. Karena hanya dengan cara itu kita akan mampu membuktikan kepada dunia bahwa moderasi adalah kekuatan. Sebaliknya ekstremisme hanya akan menjadi hambatan, bahkan masalah besar yang dapat mengoyak tenun kebangsaan kita.
Kita berharap Taliban benar-benar dapat mengambil pelajaran dan inspirasi yang sebesar-besarnya perihal moderasi, sehingga Afghanistan pada masa mendatang menjadi negara yang merdeka dari konflik. Terlebih, mereka dapat membangun negara yang kaya sumber energi itu untuk menjadi negara yang damai, toleran, dan maju. []
DETIK, 01 Agustus 2019
Zuhairi Misrawi |
Intelektual
muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle
East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar