Jumat, 02 Agustus 2019

Yudi Latif: Kepemimpinan Inteligensia


Kepemimpinan Inteligensia
Oleh: Yudi Latif

Krisis sosial selalu menyiratkan dua sisi: petir ancaman dan kunci peluang. Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman beraliran idealisme, menyatakan, katastropi mengindikasikan progres. Dalam pandangannya, kunci untuk memecahkan kesenjangan antara ”dunia kenyataan” dan ”dunia harapan” terletak pada spirit, yang menyatukan pikiran dan hati, yang akan muncul pada setiap zaman setelah masa kekacauan dan perpecahan. Sejarah memang ”mahkamah penjagalan”, tetapi bukannya tanpa tujuan. Kekacauan memberikan ruang munculnya para filsuf sebagai ”nabi” pembebas, yang menunjukkan pola tersembunyi yang bisa memecahkan persoalan dan membawa kehidupan lebih baik. Jika spirit adalah satu-satunya kebaikan, semua cara yang dipilih sejarah untuk merealisasikan hal itu adalah baik.

Dalam konteks krisis multidimensi Indonesia hari ini, ”nabi-nabi” pembebas dan pengungkit kemajuan bangsa agaknya sulit muncul dari lingkaran elite politik. Secara umum, elite politik kita bukanlah teladan yang baik, yang bisa menuntun para patriot muda menuju jalan cahaya. Sebaliknya, mereka tega menggelapi masa depan bangsa dengan mengadu dan mempermainkan dukungan rakyat, memanipulasi, serta merancukan tatanan kenegaraan demi ambisi pribadi. Mereka perpaduan dari para ”orang tua” yang lupa kapan harus ”berhenti”, yang kepeduliannya sebatas mengamankan karier politik keluarga; para pedagang yang memboncengi politik untuk meluaskan gurita kekayaannya; para demagog yang memanipulasi sentimen identitas; dan para politisi muda yang mengambil jalan pintas lewat rekayasa pencitraan picisan.

Dengan karakteristik elite politik seperti itu, Indonesia menjadi negara demokrasi semu. Secara prosedural terlihat demokratis, tetapi secara substantif bersifat kontradiktif dengan ideal-ideal demokrasi. Lembaga perwakilan dan jabatan politik bukan merupakan instrumen demokrasi, melainkan aparatus oligarki-plutokrasi. Di bawah cengkeraman oligarki-plutokrasi, praksis demokrasi tak bisa mengemban misi transformasi sosial menuju perwujudan cita-cita nasional: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Saya teringat titik balik demokrasi Amerika Serikat (AS), sebagaimana digambarkan Jared Diamond dalam Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis (2019). Sejarah 230 tahun demokrasi AS yang berjalan relatif solid kini mengalami krisis akut. Orang-orang idealis mulai menghindar atau terlempar dari bursa pemilihan anggota kongres. Biang utamanya adalah melambungnya biaya politik. Prosesi kampanye yang berkepanjangan, ketimbang masa pelayanan (governing), membuat kandidat lebih banyak memikirkan pengumpulan dana. Jika dulu dana yang diperlukan bisa diperoleh dari sekumpulan pengusaha menengah-kecil (masyarakat), meroketnya biaya politik mendorong kandidat lebih mengandalkan pemodal besar. Pemodal besar biasanya punya kepentingan lebih besar. Mereka lebih suka mendukung kandidat ekstrem yang berani membela kepentingan pemodal. Ketika kongres kian menjelma jadi aparatur pemodal, kebijakan politik kian mendukung kepentingan segelintir orang. Itu menjelaskan mengapa AS menjadi salah satu negara dengan tingkat kesenjangan sosial paling lebar, diikuti fragmentasi sosial yang kian rawan, yang merongrong sendi-sendi demokrasi.

Di Indonesia, situasinya bisa lebih buruk. Di sini, para pemodal bukan hanya memboncengi kebijakan politik, melainkan langsung membentuk (mensponsori) partai politik. Padahal, partai politik jadi agen yang nyaris tak ada lawannya, sebagai gate keeper bagi jabatan publik dan kebijakan publik.
Dalam kondisi ini, ”nabi” pembebas dan pengungkit hanya bisa lahir dari ”bangsawan pikiran”. Inilah sejatinya ”kelas politik” Indonesia, yang memimpin perjuangan kemerdekaan dan merintis pembangunan nasional. Mereka perpaduan dari inteligensia sipil dan militer, yang jadi kelas penguasa bukan karena penguasaan modal keturunan dan finansial, melainkan karena modal pengetahuan dan moral yang menganugerahinya kehormatan dengan penuh tanggung jawab.
Tugas ”bangsawan pikiran” ini menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dengan mengembalikannya ke spirit transformasi sosial berlandaskan Pancasila. Sistem nilai Pancasila menghendaki keseimbangan antara individualitas dan sosialitas (kolektivitas), dengan keyakinan penekanan terlampau berlebihan pada salah satu kutub akan menimbulkan bahaya. Namun, karena struktur sosial yang mencengkeram merupakan struktur masyarakat kapitalistik yang penuh ketimpangan, prioritas harus diberikan pada penguatan dimensi sosialitas tanpa perlu membenci orang kaya.

Perjuangan sosialisme Indonesia bisa lewat jalur parlemen, melalui aliansi-aliansi strategis dalam memengaruhi kebijakan negara. Untuk itu, lembaga perwakilan tidak hanya mewakili hak individual—yang bisa menjadi pintu masuk bagi dominasi pemodal, tetapi perlu diimbangi dengan perwakilan dari golongan marjinal dan utusan daerah yang benar-benar merepresentasikan keragaman kekuatan lokal. Dalam mengupayakan transformasi sosial menuju keadilan sosial, ketiga elemen itu bisa bersinergi meletakkan kebijakan dasar dalam alokasi sumber daya melalui garis-garis besar haluan negara.

Itulah spirit zaman, yang akan mengubah krisis menjadi panggilan bagi kaum inteligensia untuk kembali mengemban kepemimpinan intelektual dan moral bagi penyelamatan bangsa. []

KOMPAS, 1 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar