Kepemimpinan
Inteligensia
Oleh:
Yudi Latif
Krisis
sosial selalu menyiratkan dua sisi: petir ancaman dan kunci peluang. Georg
Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman beraliran idealisme, menyatakan,
katastropi mengindikasikan progres. Dalam pandangannya, kunci untuk memecahkan
kesenjangan antara ”dunia kenyataan” dan ”dunia harapan” terletak pada spirit,
yang menyatukan pikiran dan hati, yang akan muncul pada setiap zaman setelah
masa kekacauan dan perpecahan. Sejarah memang ”mahkamah penjagalan”, tetapi
bukannya tanpa tujuan. Kekacauan memberikan ruang munculnya para filsuf sebagai
”nabi” pembebas, yang menunjukkan pola tersembunyi yang bisa memecahkan
persoalan dan membawa kehidupan lebih baik. Jika spirit adalah satu-satunya
kebaikan, semua cara yang dipilih sejarah untuk merealisasikan hal itu adalah
baik.
Dalam
konteks krisis multidimensi Indonesia hari ini, ”nabi-nabi” pembebas dan
pengungkit kemajuan bangsa agaknya sulit muncul dari lingkaran elite politik.
Secara umum, elite politik kita bukanlah teladan yang baik, yang bisa menuntun
para patriot muda menuju jalan cahaya. Sebaliknya, mereka tega menggelapi masa
depan bangsa dengan mengadu dan mempermainkan dukungan rakyat, memanipulasi,
serta merancukan tatanan kenegaraan demi ambisi pribadi. Mereka perpaduan dari
para ”orang tua” yang lupa kapan harus ”berhenti”, yang kepeduliannya sebatas
mengamankan karier politik keluarga; para pedagang yang memboncengi politik
untuk meluaskan gurita kekayaannya; para demagog yang memanipulasi sentimen
identitas; dan para politisi muda yang mengambil jalan pintas lewat rekayasa
pencitraan picisan.
Dengan
karakteristik elite politik seperti itu, Indonesia menjadi negara demokrasi
semu. Secara prosedural terlihat demokratis, tetapi secara substantif bersifat
kontradiktif dengan ideal-ideal demokrasi. Lembaga perwakilan dan jabatan
politik bukan merupakan instrumen demokrasi, melainkan aparatus
oligarki-plutokrasi. Di bawah cengkeraman oligarki-plutokrasi, praksis
demokrasi tak bisa mengemban misi transformasi sosial menuju perwujudan
cita-cita nasional: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur.
Saya
teringat titik balik demokrasi Amerika Serikat (AS), sebagaimana digambarkan
Jared Diamond dalam Upheaval:
Turning Points for Nations in Crisis (2019). Sejarah 230 tahun
demokrasi AS yang berjalan relatif solid kini mengalami krisis akut.
Orang-orang idealis mulai menghindar atau terlempar dari bursa pemilihan
anggota kongres. Biang utamanya adalah melambungnya biaya politik. Prosesi
kampanye yang berkepanjangan, ketimbang masa pelayanan (governing), membuat
kandidat lebih banyak memikirkan pengumpulan dana. Jika dulu dana yang
diperlukan bisa diperoleh dari sekumpulan pengusaha menengah-kecil
(masyarakat), meroketnya biaya politik mendorong kandidat lebih mengandalkan
pemodal besar. Pemodal besar biasanya punya kepentingan lebih besar. Mereka
lebih suka mendukung kandidat ekstrem yang berani membela kepentingan pemodal.
Ketika kongres kian menjelma jadi aparatur pemodal, kebijakan politik kian mendukung
kepentingan segelintir orang. Itu menjelaskan mengapa AS menjadi salah satu
negara dengan tingkat kesenjangan sosial paling lebar, diikuti fragmentasi
sosial yang kian rawan, yang merongrong sendi-sendi demokrasi.
Di
Indonesia, situasinya bisa lebih buruk. Di sini, para pemodal bukan hanya
memboncengi kebijakan politik, melainkan langsung membentuk (mensponsori)
partai politik. Padahal, partai politik jadi agen yang nyaris tak ada lawannya,
sebagai gate keeper bagi
jabatan publik dan kebijakan publik.
Dalam
kondisi ini, ”nabi” pembebas dan pengungkit hanya bisa lahir dari ”bangsawan
pikiran”. Inilah sejatinya ”kelas politik” Indonesia, yang memimpin perjuangan
kemerdekaan dan merintis pembangunan nasional. Mereka perpaduan dari
inteligensia sipil dan militer, yang jadi kelas penguasa bukan karena
penguasaan modal keturunan dan finansial, melainkan karena modal pengetahuan
dan moral yang menganugerahinya kehormatan dengan penuh tanggung jawab.
Tugas
”bangsawan pikiran” ini menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dengan
mengembalikannya ke spirit transformasi sosial berlandaskan Pancasila. Sistem
nilai Pancasila menghendaki keseimbangan antara individualitas dan sosialitas
(kolektivitas), dengan keyakinan penekanan terlampau berlebihan pada salah satu
kutub akan menimbulkan bahaya. Namun, karena struktur sosial yang mencengkeram
merupakan struktur masyarakat kapitalistik yang penuh ketimpangan, prioritas
harus diberikan pada penguatan dimensi sosialitas tanpa perlu membenci orang
kaya.
Perjuangan
sosialisme Indonesia bisa lewat jalur parlemen, melalui aliansi-aliansi
strategis dalam memengaruhi kebijakan negara. Untuk itu, lembaga perwakilan
tidak hanya mewakili hak individual—yang bisa menjadi pintu masuk bagi dominasi
pemodal, tetapi perlu diimbangi dengan perwakilan dari golongan marjinal dan
utusan daerah yang benar-benar merepresentasikan keragaman kekuatan lokal.
Dalam mengupayakan transformasi sosial menuju keadilan sosial, ketiga elemen
itu bisa bersinergi meletakkan kebijakan dasar dalam alokasi sumber daya
melalui garis-garis besar haluan negara.
Itulah
spirit zaman, yang akan mengubah krisis menjadi panggilan bagi kaum
inteligensia untuk kembali mengemban kepemimpinan intelektual dan moral bagi
penyelamatan bangsa. []
KOMPAS, 1
Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar