Bolehkah Kurban Satu
Kambing secara Patungan?
Spirit berkurban tidak hanya untuk
menyejahterakan fakir miskin dengan membagikan dagingnya, tapi juga merupakan
momentum untuk menjalin solidaritas dan semangat gotong royong. Saat hari raya
Nahar (Idul Adha), masyarakat berbondong-bondong meramaikan dan saling
bantu-membantu menyukseskan pelaksanaan ibadah kurban, mulai dari proses
penyembelihan, pembagian hingga melahap dagingnya secara bersama-sama.
Semangat kebersamaan juga terjalin di
kalangan pihak yang berkurban. Sering dijumpai praktik patungan atau kongsi
untuk membeli binatang kurban, misalnya di sekolahan, mitra kerja dan tempat
lainnya. Sebagian di antaranya patungan membeli kambing, ini biasa terjadi
untuk mereka yang terkendala dana. Bagaiamana hukumnya?
Syariat telah menetapkan standar maksimal
jumlah kapasitas mudlahhi
(orang yang berkurban) untuk per satu ekor hewan kurban, yaitu unta dan sapi
untuk tujuh orang, sementara kambing hanya sah dibuat kurban satu orang. Oleh
sebab itu, bila melampaui batas ketentuan ini, binatang yang disembelih tidak
sah menjadi kurban, misalnya patungan sapi untuk delapan orang atau kambing
untuk dua orang.
Ketentuan ini berlandaskan pada hadits:
عَنْ
جَابِرٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: «خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ
- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَنَا أَنْ
نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ
“Dari jabir, beliau berkata kami keluar
bersama Rasulullah seraya berihram haji, lalu beliau memerintahkan kami untuk
berserikat di dalam unta dan sapi, setiap tujuh orang dari kami berserikat
dalam satu ekor unta,” (HR Muslim).
Dan hadits:
أَنَّ
أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ
يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ
بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاة
“Sesungguhnya Abu Ayyub al-Anshari berkata,
‘Kami dahulu berkurban dengan satu kambing, disembelih seseorang untuk dirinya
dan keluarganya, kemudian manusia setelahnya saling membanggakan diri maka
menjadi ajang saling membanggakan (bukan ibadah)’,” (HR Imam Malik bin Anas).
Berdadarkan dalil di atas, munculah sebuah
produk hukum rumusan ulama sebagai berikut:
مَذْهَبُ
الشَّافِعِيِّ وَلَا نَعْلَمُ لَهُ مُخَالِفاً عَدَمَ جَوَازِ التَّضْحِيَّةِ
بِالشَّاةِ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ
“Menurut mazhab Syafi’i, dan kami tidak
mengetahui pendapat yang menyelesihinya, tidak boleh berkurban dengan satu
kambing untuk satu orang lebih,” (Syekh al-Habib Abdurrahman bin Muhammad
al-Masyhur, Bughyah
al-Mustarsyidin, hal. 258).
(وَلَوْ اشْتَرَكَ
رَجُلَانِ فِي شَاتَيْنِ) لِلتَّضْحِيَةِ أَوْ غَيْرِهَا كَالْهَدْيِ (لَمْ
يَجُزْ) اقْتِصَارًا عَلَى مَا وَرَدَ الْخَبَرُ بِهِ وَلِتَمَكُّنِ كُلٍّ
مِنْهُمَا مِنْ الِانْفِرَادِ بِوَاحِدَةٍ
“Bila
dua laki-laki berserikat dalam dua kambing untuk berkurban atau selainnya
seperti al-hadyu,
maka tidak sah, karena meringkas atas ketentuan yang disebutkan dalam hadits
dan karena masing-masing memungkinkan menyendiri dengan mengeluarkan satu ekor
kambing”. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna
al-Mathalib, juz.1, hal. 537).
Ada sebagian orang berasumsi, patungan satu
ekor kurban kambing diperbolehkan dengan berlandaskan kepada sebuah hadits
bahwa Nabi mengeluarkan kurban untuk keluarga dan umatnya hanya dengan dua ekor
kambing. Menurut mereka hadits tersebut merupakan bukti bahwa kurban kambing
untuk satu orang lebih diperbolehkan. Berikut hadits yang menjadi dasar asumsi
di atas:
ضَحَّى
رَسُولُ اللهِ- صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِكَبْشَيْنِ وَقَالَ اللَّهُمَّ
تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Nabi berkurban dengan dua kambing gibas dan
berdoa, ‘Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga dan umatnya,” (HR. Muslim).
Hadits di atas sesungguhnya belum cukup
dijadikan hujjah
(argumentasi) untuk mengesahkan kurban patungan kambing. Sebab hadits tersebut
tidak berbicara dalam konteks patungan atau kongsi berkurban kambing, tapi
berkaitan dengan al-isyrak
fi al-tsawab (menyertakan orang lain dalam pahala kurban).
Jadi, sebetulnya yang berkurban hanya Nabi,
dan beliau menghadiahkan pahala berkurbannya untuk keluarga dan umatnya, mereka
yang disertakan Nabi dalam pahala kurbannya sama sekali tidak memiliki andil
biaya untuk membeli kambing. Hal ini jelas berbeda dengan kasus berkurban
kambing secara kongsi yang masing-masing berkontribusi secara finansial untuk
membeli binatang kurban.
Menghadiahkan pahala kurban untuk keluarga
atau orang lain, berimplikasi kepada gugurnya tuntutan berkurban untuk orang
lain. Sementara hasilnya ibadah kurban dan pahalanya secara hakiki, hanya
didapatkan oleh mudlahhi.
Syekh Khatib al-Syarbini berkata:
(وَ) تُجْزِئُ
(الشَّاةُ) الْمُعَيَّنَةُ مِنْ الضَّأْنِ أَوْ الْمَعْزِ (عَنْ وَاحِدٍ) فَقَطْ
فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي
ثَوَابِهَا جَازَ وَعَلَيْهِ حُمِلَ خَبَرُ مُسْلِمٍ «ضَحَّى رَسُولُ اللهِ-
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِكَبْشَيْنِ وَقَالَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ
مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ»
“Mencukupi satu kambing tertentu berupa domba
atau kambing kacang dari satu orang saja, maka bila ia menyembelih untuk
dirinya dan keluarganya, atau untuk dirinya dan menyertakan orang lain di dalam
pahala berkurban, maka boleh. Atas ketentuan ini diarahkan haditsnya Imam
Muslim: Nabi berkurban dengan dua kambing gibas dan beliau bersabda, ‘Ya Allah
semoga engkau terima kurban ini dari Muhammad, keluarga, dan umatnya’,” (Syekh
Khathib al-Syarbini, al-Iqna’
‘Ala Matni Abi Syuja’, juz.4, hal.332).
Syekh Sulaiman al-Bujairimi memberi komentar
referensi di atas sebagai berikut:
قَوْلُهُ:
(وَتُجْزِئُ الشَّاةُ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ
قَالَ: فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ
فِي ثَوَابِهَا جَازَ. أُجِيبُ: بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا
عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ
الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ، وَأَمَّا
الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Terkait ucapan Syekh Khatib “mencukupi satu
kambing untuk satu orang”, bila engkau bertanya, ‘Sesungguhnya ini bertentangan
dengan komentar al-Khatib setelahnya saat beliau berkata; bila ia menyembelih
untuk dirinya dan keluarganya dan menyertakan orang lain dalam pahalanya maka boleh’.
Jawabannya adalah bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan, karena ucapan
Syekh Khatib dalam bagian ini; mencukupi untuk satu orang; maksudnya dari sisi
hasilnya ibadah kurban secara hakikat. Sedangkan ucapan beliau setelahnya; yang
dapat dihasilkan orang lain; arahnya adalah gugurnya tuntutan berkurban
untuknya. Adapun pahala dan berkurban secara hakikat hanya khusus untuk orang
yang melakukan kurban atas segala kondisi,” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarh al-Khatib,
juz 4, hal. 332).
Simpulannya, patungan membeli kambing
hukumnya tidak sah atas nama kurban, bila hal tersebut terlanjur dilakukan,
maka status daging yang disembelih adalah sedekah biasa yang berpahala, tapi
tidak memiliki konsekuensi seperti kurban.
Solusi agar tetap sah atas nama kurban bisa
ditempuh misalnya dengan sebuah skenario; uang yang terkumpul dihibahkan kepada
satu orang untuk kemudian dibelikan kambing. Dengan begitu, kambing yang dibeli
menjadi miliknya secara utuh dan sah dikurbankan atas namanya, ia juga bisa
memberikan pahala kurbannya untuk segenap orang yang tergabung dalam kongsi.
Bila skenario ini dirasa maslahat dan disetujui segenap anggota kongsi, tidak
ada salahnya untuk diterapkan. Wallahu
a’lam. []
Ustadz
M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul
Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar