Jumat, 02 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Bolehkah Kurban Satu Kambing secara Patungan?


Bolehkah Kurban Satu Kambing secara Patungan?

Spirit berkurban tidak hanya untuk menyejahterakan fakir miskin dengan membagikan dagingnya, tapi juga merupakan momentum untuk menjalin solidaritas dan semangat gotong royong. Saat hari raya Nahar (Idul Adha), masyarakat berbondong-bondong meramaikan dan saling bantu-membantu menyukseskan pelaksanaan ibadah kurban, mulai dari proses penyembelihan, pembagian hingga melahap dagingnya secara bersama-sama.

Semangat kebersamaan juga terjalin di kalangan pihak yang berkurban. Sering dijumpai praktik patungan atau kongsi untuk membeli binatang kurban, misalnya di sekolahan, mitra kerja dan tempat lainnya. Sebagian di antaranya patungan membeli kambing, ini biasa terjadi untuk mereka yang terkendala dana. Bagaiamana hukumnya?

Syariat telah menetapkan standar maksimal jumlah kapasitas mudlahhi (orang yang berkurban) untuk per satu ekor hewan kurban, yaitu unta dan sapi untuk tujuh orang, sementara kambing hanya sah dibuat kurban satu orang. Oleh sebab itu, bila melampaui batas ketentuan ini, binatang yang disembelih tidak sah menjadi kurban, misalnya patungan sapi untuk delapan orang atau kambing untuk dua orang.

Ketentuan ini berlandaskan pada hadits:

عَنْ جَابِرٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: «خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مُهِلِّينَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَنَا أَنْ نَشْتَرِكَ فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ كُلُّ سَبْعَةٍ مِنَّا فِي بَدَنَةٍ

“Dari jabir, beliau berkata kami keluar bersama Rasulullah seraya berihram haji, lalu beliau memerintahkan kami untuk berserikat di dalam unta dan sapi, setiap tujuh orang dari kami berserikat dalam satu ekor unta,” (HR Muslim).

Dan hadits:

أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاة

“Sesungguhnya Abu Ayyub al-Anshari berkata, ‘Kami dahulu berkurban dengan satu kambing, disembelih seseorang untuk dirinya dan keluarganya, kemudian manusia setelahnya saling membanggakan diri maka menjadi ajang saling membanggakan (bukan ibadah)’,” (HR Imam Malik bin Anas).

Berdadarkan dalil di atas, munculah sebuah produk hukum rumusan ulama sebagai berikut:

مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَلَا نَعْلَمُ لَهُ مُخَالِفاً عَدَمَ جَوَازِ التَّضْحِيَّةِ بِالشَّاةِ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ

“Menurut mazhab Syafi’i, dan kami tidak mengetahui pendapat yang menyelesihinya, tidak boleh berkurban dengan satu kambing untuk satu orang lebih,” (Syekh al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 258).

(وَلَوْ اشْتَرَكَ رَجُلَانِ فِي شَاتَيْنِ) لِلتَّضْحِيَةِ أَوْ غَيْرِهَا كَالْهَدْيِ (لَمْ يَجُزْ) اقْتِصَارًا عَلَى مَا وَرَدَ الْخَبَرُ بِهِ وَلِتَمَكُّنِ كُلٍّ مِنْهُمَا مِنْ الِانْفِرَادِ بِوَاحِدَةٍ

“Bila dua laki-laki berserikat dalam dua kambing untuk berkurban atau selainnya seperti al-hadyu, maka tidak sah, karena meringkas atas ketentuan yang disebutkan dalam hadits dan karena masing-masing memungkinkan menyendiri dengan mengeluarkan satu ekor kambing”. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz.1, hal. 537).

Ada sebagian orang berasumsi, patungan satu ekor kurban kambing diperbolehkan dengan berlandaskan kepada sebuah hadits bahwa Nabi mengeluarkan kurban untuk keluarga dan umatnya hanya dengan dua ekor kambing. Menurut mereka hadits tersebut merupakan bukti bahwa kurban kambing untuk satu orang lebih diperbolehkan. Berikut hadits yang menjadi dasar asumsi di atas:

ضَحَّى رَسُولُ اللهِ- صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِكَبْشَيْنِ وَقَالَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Nabi berkurban dengan dua kambing gibas dan berdoa, ‘Ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga dan umatnya,” (HR. Muslim).

Hadits di atas sesungguhnya belum cukup dijadikan hujjah (argumentasi) untuk mengesahkan kurban patungan kambing. Sebab hadits tersebut tidak berbicara dalam konteks patungan atau kongsi berkurban kambing, tapi berkaitan dengan al-isyrak fi al-tsawab (menyertakan orang lain dalam pahala kurban).

Jadi, sebetulnya yang berkurban hanya Nabi, dan beliau menghadiahkan pahala berkurbannya untuk keluarga dan umatnya, mereka yang disertakan Nabi dalam pahala kurbannya sama sekali tidak memiliki andil biaya untuk membeli kambing. Hal ini jelas berbeda dengan kasus berkurban kambing secara kongsi yang masing-masing berkontribusi secara finansial untuk membeli binatang kurban.

Menghadiahkan pahala kurban untuk keluarga atau orang lain, berimplikasi kepada gugurnya tuntutan berkurban untuk orang lain. Sementara hasilnya ibadah kurban dan pahalanya secara hakiki, hanya didapatkan oleh mudlahhi.

Syekh Khatib al-Syarbini berkata:

(وَ) تُجْزِئُ (الشَّاةُ) الْمُعَيَّنَةُ مِنْ الضَّأْنِ أَوْ الْمَعْزِ (عَنْ وَاحِدٍ) فَقَطْ فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ وَعَلَيْهِ حُمِلَ خَبَرُ مُسْلِمٍ «ضَحَّى رَسُولُ اللهِ- صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِكَبْشَيْنِ وَقَالَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ»

“Mencukupi satu kambing tertentu berupa domba atau kambing kacang dari satu orang saja, maka bila ia menyembelih untuk dirinya dan keluarganya, atau untuk dirinya dan menyertakan orang lain di dalam pahala berkurban, maka boleh. Atas ketentuan ini diarahkan haditsnya Imam Muslim: Nabi berkurban dengan dua kambing gibas dan beliau bersabda, ‘Ya Allah semoga engkau terima kurban ini dari Muhammad, keluarga, dan umatnya’,” (Syekh Khathib al-Syarbini, al-Iqna’ ‘Ala Matni Abi Syuja’, juz.4, hal.332).

Syekh Sulaiman al-Bujairimi memberi komentar referensi di atas sebagai berikut:

قَوْلُهُ: (وَتُجْزِئُ الشَّاةُ) فَإِنْ قُلْت إنَّ هَذَا مُنَافٍ لِمَا بَعْدَهُ حَيْثُ قَالَ: فَإِنْ ذَبَحَهَا عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِهِ أَوْ عَنْهُ وَأَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ. أُجِيبُ: بِأَنَّهُ لَا مُنَافَاةَ لِأَنَّ قَوْلَهُ هُنَا عَنْ وَاحِدٍ أَيْ مِنْ حَيْثُ حُصُولِ التَّضْحِيَةِ حَقِيقَةً وَمَا بَعْدَهُ الْحَاصِلُ لِلْغَيْرِ إنَّمَا هُوَ سُقُوطُ الطَّلَبِ عَنْهُ، وَأَمَّا الثَّوَابُ وَالتَّضْحِيَةُ حَقِيقَةً فَخَاصَّانِ بِالْفَاعِلِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“Terkait ucapan Syekh Khatib “mencukupi satu kambing untuk satu orang”, bila engkau bertanya, ‘Sesungguhnya ini bertentangan dengan komentar al-Khatib setelahnya saat beliau berkata; bila ia menyembelih untuk dirinya dan keluarganya dan menyertakan orang lain dalam pahalanya maka boleh’. Jawabannya adalah bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan, karena ucapan Syekh Khatib dalam bagian ini; mencukupi untuk satu orang; maksudnya dari sisi hasilnya ibadah kurban secara hakikat. Sedangkan ucapan beliau setelahnya; yang dapat dihasilkan orang lain; arahnya adalah gugurnya tuntutan berkurban untuknya. Adapun pahala dan berkurban secara hakikat hanya khusus untuk orang yang melakukan kurban atas segala kondisi,” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarh al-Khatib, juz 4, hal. 332).

Simpulannya, patungan membeli kambing hukumnya tidak sah atas nama kurban, bila hal tersebut terlanjur dilakukan, maka status daging yang disembelih adalah sedekah biasa yang berpahala, tapi tidak memiliki konsekuensi seperti kurban.

Solusi agar tetap sah atas nama kurban bisa ditempuh misalnya dengan sebuah skenario; uang yang terkumpul dihibahkan kepada satu orang untuk kemudian dibelikan kambing. Dengan begitu, kambing yang dibeli menjadi miliknya secara utuh dan sah dikurbankan atas namanya, ia juga bisa memberikan pahala kurbannya untuk segenap orang yang tergabung dalam kongsi. Bila skenario ini dirasa maslahat dan disetujui segenap anggota kongsi, tidak ada salahnya untuk diterapkan. Wallahu a’lam. []

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar