Ketika Imam Malik bin Anas Menjawab ‘Tidak
Tahu’
Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu
Jauzi (510-597 H) mencatat sebuah riwayat tentang seorang laki-laki yang
bertanya kepada Imam Malik bin Anas:
وعن
ابن مهدي قال: سأل رجل مالك عن مسألة؟ فقال: لا أحسنها. فقال الرجل: إني ضربت إليك
كذا وكذا لأسألك عنها. فقال له مالك: فإذا رجعت إلي مكانك وموضعك فأخبرهم أني قلت
لك: لا أحسنها
Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi berkata:
“Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Malik tentang suatu masalah.” Imam
Malik menjawab: “lâ uhsinuhâ—aku tidak mengerti masalah itu dengan baik.”
Kemudian laki-laki itu berkata: “(Tolonglah)
aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah
ini.”
Imam Malik berkata kepadanya: “Ketika kau
kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata
kepadamu: lâ uhsinuhâ—aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik.” (Imam
Jalâluddîn Abû al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, Beirut: Dar al-Kitab
al-Arabi, 2012, hlm 361)
****
Sekarang ini kita berada di zaman otoritas
(kepakaran) tidak lagi dianggap penting, dan teks terjemah Al-Qur’an atau
hadits dianggap setara dengan teks aslinya. Kita sering melihat potongan gambar
terjemahan ayat Al-Qur’an atau hadits digunakan untuk menghakimi sesuatu dengan
mengatakan, “Penjelasan/pendapat kiai ini salah karena tidak sesuai ayat
Al-Qur’an. Bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas dikatakan....” sembari
melampirkan potongan gambar terjemahan ayat.
Padahal ada proses panjang dan rumit dalam menghukumi
sesuatu, apalagi menghakimi sebuah pendapat yang lahir melalui proses ilmiah
yang panjang. Salah satu contohnya adalah ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah [2]:
228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu selama) tiga kali quru’.....” (Q.S. al-Baqarah [2]: 228)
Kata “qurû’” dalam ayat tersebut mengandung
makna ganda yang saling bertentangan, bisa bermakna “sedang mengalami haid” dan
bisa juga bermakna “suci dari haid.” Imam Jalâluddîn al-Mahalli dalam Syarh
al-Waraqât mengatakan, “fa innahu yahtamilul athhâr wal haidl—sesungguhnya
lafad qurû’ mengandung makna suci dan makna haid.” (Imam Jalâluddîn al-Mahalli,
Syarh al-Waraqât, Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyyah, 2009, hlm 30).
Perbedaan pemaknaan ini dapat melahirkan
hukum yang berbeda. Imam al-Syafi’i dan Imam Malik mengartikan “qurû’” sebagai
“suci dari haid”, sedangkan Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah mengartikannya
“mengalami haid”. Perbedaan pendapat ini berpengaruh pada cara hitung masa
iddah wanita. Bagi yang mengamalkan makna “suci dari haid” masa iddahnya
menjadi lebih pendek dari yang mengamalkan makna “mengalami haid”. Karena
habisnya masa iddah dihitung dari masa sucinya, bukan dari berakhirnya haid.
Melihat contoh di atas, ayat Al-Qur’an
ternyata memiliki banyak tipe yang harus didekati dengan pendekatan yang
berbeda-beda. Tipe ayat di atas disebut mujmal dalam terminologi ushul fikih.
Mujmal sendiri berarti, “kullu lafd lâ yu’lam al-murâd minhu—setiap lafad yang
tidak diketahui maksud pastinya.” (Imam al-Kailani, al-Tahqîqah fi Syarh
al-Waraqât, hlm 322). Untuk lebih jelas silahkan pelajari ushul fiqih, ulumul
Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya.
Dengan demikian, kita perlu meneladani Imam
Malik. Ia menolak menjawab pertanyaan yang berada di luar pemahamannya dengan
mengatakan, “lâ uhsinuhâ” yang berarti “aku tidak mengerti dengan baik masalah
tersebut.” Ia tetap bersikukuh menolak menjawab meski laki-laki itu berusaha
meyakinkannya dengan kalimat, “aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa
bertanya kepadamu tentang masalah ini.” Bahkan, ia menyuruh laki-laki itu untuk
menyampaikan pada masyarakat di tempatnya bahwa ia tidak benar-benar tahu.
Dalam kisah ini, Imam Malik tidak malu
mengatakan dirinya tidak tahu. Ia tidak takut orang-orang menganggapnya bodoh.
Ia tidak takut dianggap keterlaluan dengan membiarkan laki-laki itu pulang
dengan tangan hampa meski telah melakukan perjalanan jauh. Imam Malik ingin
menegaskan bahwa pengamalan agama harus dibangun dengan pengetahuan dan rasa
takut kepada Allah. Imam Malik mengatakan:
ليس
العلم بكثرة الرواية وإنما هو نور يضعه الله في القلب
“Ilmu itu bukanlah banyaknya riwayat,
melainkan cahaya yang diletakkan Allah dalam hati.” (Imam Jalâluddîn Abû
al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hlm 361)
Jika ditarik dalam konteks sekarang,
perkataan Imam Malik dapat dipahami dengan rangkaian kalimat, “pengetahuan itu
bukan seberapa banyak kau hafal dalil agama, dan bukan pula seberapa cepat kau
menjawab pertanyaan agama, melainkan cahaya yang diletakkan Allah di
hatimu.”
Cahaya itu bersifat menerangi. Kata sebagian
bijak bestari, manusia bisa melihat bukan sekedar karena dia punya mata, tapi
juga karena adanya cahaya. Dengan cahaya kita bisa melihat dengan utuh, tidak
sepotong-potong. Jika cahaya telah memasuki hatinya, cahaya itulah yang
kemudian membuatnya melihat dengan jelas dirinya sendiri. Dia bisa bercermin
untuk menakar seberapa dalam pengetahuannya sebelum mengukur seberapa kuat
imannya. Dia menjadi tahu seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya, sehingga
ketika ada pertanyaan, dia memahami betul jika dia memiliki jawabannya atau
tidak.
Selain itu, cahaya adalah simbol pencerahan
dan perubahan. Lambang dari pengetahuan. Karena itu, Imam Malik berpandangan
pengetahuan bukan seberapa banyak hafalan riwayat dan penyebarannya, tapi
cahaya yang menerangi hati manusia. Kenapa cahaya dijadikan sebagai simbol?
Karena cahaya tidak pernah memilih siapa atau apa yang diteranginya. Cahaya
menghangatkan semuanya seperti matahari. Hafez (w. 1390 M), seorang penyair
Persia berpuisi: “Even after all this time, the sun never says to the earth,
'You owe me.' Look what happens with a love like that. It lights the whole
sky—bahkan setelah sekian lama, matahari tak pernah sekalipun berujar pada
bumi, ‘Kau berhutang padaku.’ Lihatlah, apa yang terjadi dengan cinta semacam
ini. Itu menerangi seluruh langit.” (Hafez, The Gift: Poems by Hafez, The Great
Sufi Master, terj. Daniel Ladinsky, New York: Penguin Compass, 1999, hlm 34)
Artinya, orang yang berilmu harus menjadi
pelita bagi semuanya tanpa pandang bulu. Pelita yang mencahayai jalan yang
harus ditempuh manusia. Dalam kisah di atas, Imam Malik sedang menerapkannya.
Ia tidak mau menjerumuskan orang lain dengan jawabannya. Bagi orang-orang
berilmu, sedikit tahu masih kurang untuk membuat mereka berpendapat, apalagi
jika mereka merasa benar-benar tidak tahu. Karenanya, Imam Malik butuh waktu
untuk melakukan riset, telaah, dan pandangan dari berbagai sisi sebelum
memberikan jawabannya. Ia pun tanpa ragu menjawab, “aku tidak tahu.” []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar