Apakah Pelaksanaan Ibadah
Jumat Harus Izin Pemerintah?
Idealnya, pelaksanaan Jumat dilakukan dalam
satu tempat, satu masjid. Setiap sepekan sekali seluruh penduduk desa berkumpul
bersama-sama untuk melaksanakan ibadah Jumat atau sebagian ulama menyebutnya
muktamar mingguan. Yang demikian itu sesuai dengan hikmah pensyariatan Jumat,
yaitu untuk mempersatukan dan mengharmoniskan umat.
Namun, tidak semua pelaksanaan Jumat di
beberapa daerah berjalan dengan mulus. Nyatanya masih ditemukan beberapa
kendala untuk menyatukan pelaksanaan Jumat. Misalkan daya tampung masjid yang
tidak memadai, tempat yang terlalu jauh dijangkau atau karena ada konflik
internal di antara masyarakat.
Dampaknya, masing-masing mendirikan Jumatan
baru, sebab tidak memungkinkan dilaksanakan dalam satu tempat. Saat mendirikan
jumatan tandingan, sebagian meminta izin pemerintah setempat, namun ada juga
yang tidak melakukannya.
Secara hukum fiqih, berbilangnya Jumat karena
faktor-faktor tersebut diperbolehkan karena ada hajat. Kami sudah mengupasnya
dalam tema khusus tentang hukum melaksanakan dua Jumatan dalam satu desa. Fokus
tulisan ini adalah mengenai keharusan izin pemerintah dalam pelaksanaan Jumat,
apakah hal tersebut diwajibkan?
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat.
Menurut tiga mazhab, Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah tidak wajib izin
pemerintah. Menurut pendapat ini, Jumat tetap sah meski tanpa izin penguasa,
namun hukumnya sunah meminta izin terlebih dahulu sebelum mendirikan Jumat.
Sedangkan menurut kalangan Hanafiyyah wajib
izin, pendapat ini menegaskan tidak sah pelaksanaan Jumat tanpa izin
pemerintah. Sebelum masjid digunakan untuk pelaksanaan Jumat, pihak takmir
wajib meminta rekomendasi terlebih dahulu kepada pemerintah daerah setempat.
Keterangan ini sebagaimana ditegaskan dalam
referensi berikut ini:
قال
الأئمة الثلاثة بصحة الجمعة بغير إذن السلطان ولكن المستحب استئذانه وقال أبو
حنيفة إنها لا تنعقد إلا بإذنه قاله الشعراني في الميزان.
Artinya, “Tiga imam mengatakan sahnya Jumat
tanpa izin penguasa, namun yang disunahkan adalah meminta izinnya. Abu Hanifah
berkata Jumat tidak sah kecuali dengan izin pemerintah. Hal ini dikatakan Imam
As-Sya’rani dalam kitab Al-Mizan,” (Lihat Syekh Umar bin Muhammad As-Saqaf,
Mukhtashar Tasyyid Al-Bunyan, halaman 160).
Selain wajib izin pemerintah, ulama
Hanafiyyah juga mensyaratkan pemerintah, stafnya atau departemen yang diberi
wewenang mendirikan Jumat, harus bertindak sebagai imam dan khatib Jumat.
Mereka berpandangan, syarat ini untuk mengantisipasi adanya perebutan imam atau
khatib.
Uama selain Hanafiyyah tidak mensyaratkan
izin imam dan bertindaknya pemerintah sebagai khatib dan imam Jumat karena
perilaku para sahabat.
Pernah suatu ketika Khalifah Utsman
berhalangan untuk menghadiri Jumat, kemudian Sahabat Ali menggantikannya tanpa
izin dari Sahabat Utsman, hal ini tidak ada satu pun sahabat yang
mengingkarinya.
Pertimbangan lainnya, Jumat sama dengan Zuhur
sehingga tidak memerlukan dua syarat di atas. Syekh Wahbah Az-Zuhayli
mengatakan:
اشترط
الحنفية هذين الشرطين: الأول ـ أن يكون السلطان ولو متغلباً أو نائبه، أو من يأذن
له بإقامة الجمعة كوزارة الأوقاف الآن هو إمام الجمعة وخطيبها؛ لأنها تقام بجمع
عظيم، وقد تقع منازعة في شؤون الجمعة، فلا بد منه تتميماً لأمره، ومنعاً من تقدم
أحد
Artinya, “Ulama Hanafiyyah mensyaratkan dua
syarat ini. Pertama, penguasa, penggantinya atau orang yang diberi izin untuk
mendirikan Jumat seperti departemen wakaf sekarang harus menjadi Imam dan
khatib Jumat, sebab Jumat didirikan dengan kelompok besar, terkadang terjadi
perselisihan dalam urusan Jumat, maka wajib terpenuhi syarat ini, untuk
menyempurnakan pelaksanaannya dan mencegah berebut majunya siapapun.”
والثاني
ـ الإذن العام: وهو أن تفتح أبواب الجامع ويؤذن للناس بالدخول إذناً عاماً، بأن لا
يمنع أحد ممن تصح منه الجمعة عن دخول الموضع الذي تصلى فيه؛ لأن كل تجمع يتطلب
الإذن بالحضور، ولأنه لا يحصل معنى الاجتماع إلا بالإذن، ولأنها من شعائر الإسلام،
وخصائص الدين، فلزم إقامتها على سبيل الاشتهار والعموم.
Artinya, “Kedua, izin umum, yaitu pintu-pintu
masjid Jami’ dibuka dan pemerintah mengizinkan manusia untuk memasukinya secara
umum, dengan sekira orang yang mengesahkan jumat tidak dicegah untuk memasuki
tempat pelaksanaan Jumat, sebab setiap perkumpulan menuntut untuk izin untuk
menghadirinya dan karena tidak hasil makna perkumpulan kecuali dengan izin,
alasan lain Jumat adalah termasuk syi’arnya Islam dan kekhasan agama, maka
pendiriannya wajib disebarluaskan dan diumumkan.”
ولم
يشترط غير الحنفية هذين الشرطين، فلا يشترط إذن الإمام لصحة الجمعة، ولا حضوره؛ لأن
علياً صلى بالناس، وعثمان محصور، فلم ينكره أحد، وصوبه عثمان ، ولأن الجمعة فرض
الوقت، فأشبهت الظهر في عدم هذين الشرطين
Artinya, “Selain Hanafiyyah tidak
mensyaratkan dua syarat ini, maka tidak disyaratkan izin imam untuk keabsahan
Jumat dan tidak pula disyaratkan kehadiran imam. Sebab Sayyidina Ali pernah
shalat Jumat mengimami manusia saat Khalifah Utsman tertahan, kemudian tidak
ada satu pun orang yang mengingkarinya, Khalifah Utsman juga membenarkan
tindakan Sahabat Ali. Alasan lain, Jumat adalah shalat fardhu yang harus
dilaksanakan di dalam waktunya, sehingga menyerupai shalat Zuhur dalam sisi
tidak adanya dua syarat ini,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu, juz II, halaman 436).
Demikian penjelasan mengenai kedudukan izin
pemerintah berkaitan dengan pelaksanaan Jumat. Afdhalnya tetap meminta izin
terlebih dahulu kepada pemerintah atau aparat setempat, untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar