SEJARAH SD TA’MIRUL
ISLAM SURAKARTA (4)
Syarat Unik Masuk
Sekolah Zaman Dulu
Pada tulisan
sebelumnya, diterangkan Sekolah Asasut Ta’mir yang berada di Kampung Tegalsari,
Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah sudah berdiri sejak zaman 1930-an, dan bertahan
hingga menjelang tahun 1960. Ini artinya, sekolah tersebut telah melalui tiga
masa, yakni masa Kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan Negara Indonesia
setelah kemerdekaan.
Untuk menjadi siswa
di zaman dulu, juga tak perlu repot mengikuti bermacam-macam tes. Salah satu
saksi hidup, Siti Sudarmi, yang pernah menjadi murid Asasut-Ta’mir
mengungkapkan persyaratan untuk masuk sekolah ini pun tak sesulit di zaman
sekarang. Bahkan, syaratnya pun tergolong unik dan sederhana yakni anak harus
gaduk kuping (tangan kanan bisa memegang telinga kiri dari atas kepala).
“Saya masuk sekolah
ini pada tahun 1947 dan lulus pada tahun ajaran 1953-1954. Saat itu, untuk
masuk ke sekolah ini (Asasut Ta’mir), syaratnya anak harus sudah gaduk kuping,”
ungkap dia.
Syarat untuk masuk
sekolah ini, kemungkinan diadaptasi pada syarat untuk masuk sekolah dasar di
zaman itu, seperti Sekolah Rakyat (SR). Persyaratan yang demikian, terkadang
menjadikan anak yang secara usia sudah layak, akan tetapi belum bisa bersekolah
karena belum gaduk kuping. Akhirnya, baru di usia 10 atau 11 tahun mereka baru
bisa mengenyam bangku sekolah dasar.
Di dalam kelas,
sebagai alat pembelajaran yakni meja yang terangkai dengan tempat duduk. Bangku
terbuat dari kayu jati tua. para siswa menggunakan sabak dan kapur untuk
menulis. Meski demikian, lanjut, dalam proses pembelajaran, siswa seringkali
mengalami banyak kendala. Bahkan, sekolah sering diliburkan karena masih sering
terjadi perang. Faktor ini pula yang menjadi penyebab banyaknya murid yang
tidak dapat menyelesaikan sekolahnya.
“Awal saya masuk,
muridnya cukup banyak. Namun, ketika lulus tinggal sedikit, sehingga untuk
pelaksanaan ujian, harus ikut di SD Ketelan,” kenangnya.
Kurang Perhatian
Seiring perkembangan
waktu, usai persoalan perang yang berimbas pada persoalan politik dan ekonomi,
pun berdampak pada kelangsungan Sekolah Asasut Ta’mir. Hal tersebut ditambah
dengan faktor sekolah Islam lain seperti Al-Islam, Nahdlatul Muslimat (NDM),
Salafiyah, Djama’atul Ichwan dan lain sebagainya yang semakin berkembang.
Lambat laun, bak
seleksi alam, Asasut-Ta’mir mulai ditinggalkan para peminatnya. Menjelang tahun
1960-an Asasut-Ta’mir yang vakum, kemudian berganti menjadi sekolah model
madrasah diniyah sore, yang pengajarannya hanya fokus pada pelajaran agama.
Namun, sayangnya model sekolah ini kurang diminati oleh masyarakat, termasuk
warga Tegalsari sendiri.
Bangunan sekolah yang
tidak terpakai di pagi hari, sempat dimanfaatkan untuk Sekolah Guru Bantu (SGB)
dan Sekolah Guru Atas (SGA) Nahdlatul Ulama, yang kelak menjadi cikal bakal
Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU), kini menjadi UNU Surakarta).
Sampai akhirnya
sekitar tahun 1968, geliat masyarakat Tegalsari untuk menghidupkan pendidikan
melalui sekolah dasar kembali muncul. Melalui peran ibu-ibu yang dipelopori
antara lain Dra. Nur Hayati binti Alwi, Hj. Nafiah, Hj. Mudrikah, Hj.
Muttakiah, Nyai Ishom serta didukung tokoh lain seperti KH Naharussurur, Noto
Kartono, KH Abdul Karim, Hartini Machasin, Fatimah Ardani, dan lain sebagainya.
Mereka inilah yang bisa disebut sebagai pendiri SD Ta’mirul Islam Surakarta.
Lahumu al-fatihah! []
Sumber :
- Wawancara Bapak H.
Ahmaduhidjan, 16 Juni 2015.
- Wawancara Ibu Siti
Sudarmi, 2015
- Zuhri, Saifuddin,
Berangkat dari Pesantren, (LKiS, Yogyakarta, 2013).
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar