Hukum Memegang Mushaf
Al-Qur'an oleh Anak-anak
Al-Quran merupakan rujukan utama umat Islam.
Setiap anak perlu dikenalkan dengan Al-Quran sejak usia dini. Mulai belajar
huruf-huruf hijaiyyah, harakat, menyambung dan seterusnya hingga tingkatan
mereka bisa membaca Al-Quran atau menghafalkannya dengan fasih.
Mengajarkan Al-Quran kepada anak merupakan
kewajiban orang tua masing-masing. Apabila orang tua tidak mampu, mereka bisa
meminta tolong kepada guru-guru yang kredibel dan kompeten di bidangnya. Meski
demikian, kewajiban dasar mengajar tetap tetap dipikul orang tua masing-masing.
Guru hanya sebagai pembantu.
Rasulullah ﷺ bersabda sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
مَنْ
وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَلْيُحْسِنِ اسْمَهُ وَأَدَبَهُ، فَإِذَا بَلَغَ
فَلْيُزَوِّجْهُ فَإِنْ بَلَغَ وَلَمْ يُزَوِّجْهُ فَأَصَابَ إِثْمًا، فَإِنَّمَا
إِثْمُهُ عَلَى أَبِيهِ
Artinya, “Barang siapa yang dikaruniai anak,
maka berilah nama yang bagus. Perbaiki pula sikapnya. Jika ia sudah mencapai
umur baligh (dewasa), nikahkan. Apabila sudah baligh tidak segera dinikahkan
lalu mereka terjerumus melakukan dosa, maka dosa ditanggung ayahnya,” (Lihat
Al-Baihaqi, Syu’abul Îmân, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: 2003], juz XI, halaman
138).
Mengajarkan Al-Quran kepada anak yang masih
kecil namun sudah cukup tahu (tamyiz) sekira anak sudah mulai sekitar usia 4
tahun atau usia belajar tidak bisa lepas dengan sentuhan mereka pada kitab suci
Al-Quran. Bagaimana ulama memandang hukum anak-anak yang menyentuh Al-Quran?
Bagi anak-anak yang sudah mulai pada fase
usia belajar (tamyiz), memegang Al-Quran dengan tanpa mempunyai wudhu menurut
pendapat pertama yaitu yang lebih shahih, hukumnya diperbolehkan asalkan mereka
menyentuh atau membawa Al-Quran tersebut dengan tujuan untuk belajar, bukan
semata-mata mendaras Al-Quran sebagai sarana ibadah sebagaimana orang dewasa
yang sedang mengaji pada umumnya.
Kebolehan menyentuh dengan hadats tersebut
hanya berlaku bagi anak-anak yang cukup umur. Hal ini disebabkan susahnya
menjaga mereka untuk melanggengkan wudlu secara total, sedangkan mengajari
mereka pada naskah-naskah suci Al-Quran sangat penting untuk dipersiapkan.
Memaksa mereka untuk selalu suci dari hadats sangat memberatkan.
Adapun anak yang masih terlalu kecil, belum
bisa mengenali huruf, belum fase belajar Al-Quran, sekira umur satu tahun
misalnya, mereka baru hanya murni menyentuh saja, mereka belum bisa belajar,
hukumnya tidak boleh.
Begitu pula bagi anak-anak yang sudah baligh.
Walaupun baru kelas 4 SD, umurnya 10 tahun, namun sudah baligh misalnya, dia
sudah tidak boleh lagi menyentuh Al-Quran dengan tanpa wudlu. Jika kedapatan
demikian, bagi wali, atau orang dewasa yang melihat harus melarang.
Jadi yang diperbolehkan menyentuh adalah anak
tamyiz namun belum baligh. Sedangkan anak yang masih terlalu dini usianya atau
bahkan sudah baligh tetap dilarang menyentuh dengan tanpa wudhu meskipun dengan
tujuan belajar.
Bagi guru yang mengajar Al-Quran berlaku
hukum sebagaimana orang dewasa pada umumnya yaitu harus suci dari hadas kecil
dan besar.
Pendapat kedua menyatakan haram menyentuh
secara mutlak.
الْأَصَحُّ
(أَنَّ الصَّبِيَّ
الْمُحْدِثَ لَا يُمْنَعُ) مِنْ مَسِّ الْمُصْحَفِ وَاللَّوْحِ وَحَمْلِهِمَا
لِحَاجَةِ تَعَلُّمِهِ مِنْهُمَا وَمَشَقَّةِ اسْتِمْرَارِهِ عَلَى الطَّهَارَةِ.
وَالثَّانِي عَلَى الْوَلِيِّ وَالْمُعَلِّمِ مَنْعُهُ مِنْ ذَلِكَ. قوله: (أَنَّ
الصَّبِيَّ) أَيْ الْمُمَيِّزَ وَإِلَّا فَيَحْرُمُ تَمْكِينُهُ مِنْهُ لِفَقْدِ
تَعَلُّمِهِ وَخَرَجَ بِالصَّبِيِّ الْبَالِغُ وَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ دَوَامُ
الطَّهَارَةِ كَمُؤَدِّبِ الْأَطْفَالِ، وَمَا نُقِلَ عَنْ الشَّيْخِ ابْنِ حَجَرٍ
مِنْ جَوَازِ الْمَسِّ وَالْحَمْلِ لَهُ مَعَ التَّيَمُّمِ غَيْرُ مُعْتَمَدٍ
عِنْدَ شَيْخِنَا
Artinya, “Pendapat yang lebih shahîh,
sesungguhnya anak kecil yang mempunyai hadats tidak dilarang menyentuh mushaf
dan kayu (hiasan dinding yang ada tulisan Al-Qur’an) serta membawanya karena
merupakan kebutuhan dia untuk mempelajarinya dan sulitnya menjaga mereka untuk
selalu dalam keadaan suci. Pendapat kedua, wali atau pendidik harus melarang
jika melihat anak menyentuh Al-Quran atau membawanya tanpa keadaan suci,”
(Lihat Qulyubi dan Umairah, Hâsyiyah Qulyubi wa Umairah, [Beirut, Dârul Fikr:
1995), juz I, halaman 41-42).
Hal senada juga dikatakan Imam Nawawi Al-Jawi
dalam Kitab Nihayatuz Zain dan Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati dalam
tulisannya I’anatuth Thâlibîn.
Masih dalam kitab yang sama dijelaskan, yang
dimaksud dengan anak kecil adalah anak kecil yang sudah tamyîz (walau ia sudah
hafal Al-Qur’an). Jika anak tersebut belum tamyiz, hukum membiarkan mereka
menyentuh mushaf adalah haram sebab mereka bisa belajar sehingga belum
membutuhkan menyentuh mushaf tersebut.
Orang dewasa yang menjadi pendidik bidang
kajian Al-Quran, meski ia mengajar seharian penuh dengan tanpa jeda, ia tetap
harus konsisten menjaga dirinya dari hadats. Apabila batal, harus wudhu lagi
atau penghilang hadats sejenisnya. Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar