Saat Berhadats di
Pertengahan Tawaf
Tawaf merupakan salah satu ritual yang
identik dengan pelaksanaan haji dan umrah. Perintah tawaf ditegaskan langsung
dalam firman Allah subhanahu wata’ala:
وَلْيَطَّوَّفُوا
بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan betawaflah mereka di baitullah yang
kuno,” (QS. Al-Hajj: 29).
Ada lima jenis tawaf yang dikenal dalam bab
manasik. Tawaf ifadlah, tawaf qudum, tawaf wada’, tawaf sunnah, dan tawaf
umrah. Tawaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari hajar aswad
hingga mengelilingi seluruh bagian Ka’bah.
Tawaf harus dilakukan dalam keadaan suci.
Problem muncul saat di pertengahan tawaf, jamaah haji mengalami hadats, semisal
kentut atau bersentuhan kulit dengan lawan jenis bukan mahram. Pertanyaannya
kemudian, setelah kembali dari bersuci, apakah jamaah haji wajib memulai
putaran tawaf dari awal? Atau cukup melanjutkan putaran tawaf yang didapat?
Tawaf memiliki kesamaan dengan shalat dari
sisi pelaksanaannya yang mensyaratkan keadaan suci (dari hadats dan najis) dan
menutup aurat. Ketentuan ini berlandaskan pada beberapa hadits Nabi, di
antaranya:
أنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِعَائِشَةَ لَمَّا حَاضَتْ وَهِيَ مُحْرِمَةٌ
اصْنَعِي مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى
تَغْتَسِلِي
“Bahwa Nabi berkata kepada Aisyah saat ia
haidl dan tengah berihram; lakukanlah apa yang dilakukan orang berhaji, hanya
engkau tidak diperkenankan tawaf di baitullah hingga engkau mandi,” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
الطَّوَافُ
بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إِلَّا أَنَّ اللهَ تَعَالَى أَحَلَّ لَكُمْ فِيهِ الْكَلاَمَ
فَمَنْ تَكَلَّمَ فَلَا يَتَكَلَّمْ إِلَّا بِخَيْرٍ رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَقَالَ
صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ
“Tawaf di baitullah seperti shalat, hanya
Allah di dalamnya menghalalkan bagi kalian berbicara. Barangsiapa berbicara,
maka janganlah berbicara kecuali kebaikan,” (HR. al-Hakim, beliau berkata
hadits ini sahih sanadnya).
Bila di pertengahan tawaf jamaah haji
berhadats, maka tawaf harus dihentikan untuk sementara. Jamaah haji
berkewajiban untuk berwudhu terlebih dahulu. Setelah kembali dari bersuci,
cukup melanjutkan putaran tawaf yang telah dilakukan. Semisal sudah mendapat
empat kali putaran, maka cukup menambah tiga kali putaran lagi tanpa perlu
mengulang tawaf dari awal. Hal ini baik pemisah waktu antara bersuci dan
pelaksanaan tawaf lama atau sebentar.
Ketentuan ini juga berlaku dalam kasus
terkena najis atau terbukanya aurat di pertengahan tawaf, setelah auratnya
kembali tertutup atau najisnya dihilangkan, cukup melanjutkan bilangan tawaf
yang didapat.
Kasus ini berbeda dengan shalat, di mana saat
berhadats di pertengahan shalat, wajib mengulangi shalatnya dari awal setelah
kembali suci. Ulama fiqih menjelaskan terdapat perbedaan yang mendasar antara
shalat dan tawaf, bahwa shalat memiliki lebih banyak aktivitas yang dilarang,
seperti gerakan-gerakan yang berat atau berbicara. Berbeda dengan tawaf yang
lebih ringan ketentuannya, di mana hal-hal tersebut diperbolehkan saat
melakukan tawaf.
Syekh Zakariyya al-Anshari menegaskan:
ـ (فَلَوْ أَحْدَثَ أَوْ تَنَجَّسَ) بَدَنُهُ أَوْ ثَوْبُهُ
أَوْ مَطَافُهُ بِنَجَسٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ (أَوْ عَرِيَ) مَعَ الْقُدْرَةِ
عَلَى السَّتْرِ فِي أَثْنَاءِ الطَّوَافِ (تَطَهَّرَ وَسَتَرَ) عَوْرَتَهُ
وَبَنَى عَلَى طَوَافِهِ وَلَوْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ بِخِلَافِ الصَّلَاةِ إذْ
يُحْتَمَلُ فِيهِ مَا لَا يُحْتَمَلُ فِيهَا كَكَثِيرِ الْفِعْلِ وَالْكَلَامِ
سَوَاءٌ أَطَالَ الْفَصْلُ أَمْ قَصُرَ لِعَدَمِ اشْتِرَاطِ الْمُوَالَاةِ فِيهِ
كَالْوُضُوءِ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا عِبَادَةٌ يَجُوزُ أَنْ يَتَخَلَّلَهَا مَا
لَيْسَ مِنْهَا بِخِلَافِ الصَّلَاةِ
“Bila berhadats atau terkena najis, baik
badan, pakaian atau tempat tawafnya dengan najis yang tidak dimaafkan, atau
telanjang besertaan mampu menutup aurat di pertengahan tawaf, maka bersucilah
dan tutuplah auratnya. Dan meneruskan (bilangan) tawafnya, meski dilakukan
secara sengaja. Berbeda dengan shalat, sebab dimaafkan di dalam tawaf sesuatu
yang tidak dimaafkan di dalam shalat seperti gerakan yang banyak dan berbicara,
baik pemisahnya lama atau pendek, sebab tidak disyaratkan berkesinambungan di
dalam tawaf seperti wudhu, sebab masing-masing dari keduanya merupakan ibadah
yang diperbolehkan diselingi dengan aktivitas yang tidak berhubungan dengannya,
berbeda dengan shalat,” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 3, hal. 180).
Namun demikian, dalam persoalan ini sebaiknya
jamaah haji memulai putaran tawaf dari awal setelah kembali suci, supaya bisa
keluar dari perbedaan ulama yang mewajibkan memulai putaran tawaf. Di antara
ulama yang mewajibkan memulai putaran tawaf dari awal saat berhadats di
pertengahan tawaf adalah ulama mazhab Maliki. Anjuran ini berdasarkan kaidah
fiqih “keluar dari perbedaan pendapat ulama disunnahkan”.
Syekh Zakariyya al-Anshari berkata:
ـ
(وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَسْتَأْنِفَ) الطَّوَافَ خُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ
أَوْجَبَ الِاسْتِئْنَافَ
“Disunnahkan memulai tawaf, karena keluar
dari perbedaan ulama yang mewajibkan memulai tawaf,” (Syekh Zakariyya
al-Anshari, Asna al-Mathalib, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 3, hal. 180).
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan. Semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar