Penjelasan KH Wahab
Chasbullah soal Waliyyul Amri Dharuri Bissyaukah
Ulama dari kalangan
pesantren senantiasa menempatkan kepentingan bangsa dalam segala urusan politik
kenegaraan. Seperti ketika negara mendapat ancaman pemberontakan yang justru
datang dari kelompok-kelompok pribumi, seperti DI/TII Kartosoewirjo yang
menginginkan pembentukan negara Islam.
Sebagai bagian dari
entitas Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama tidak begitu saja
menyepakati keinginan Kartosoewirjo karena konsep negara bangsa berdasar
kemajemukan Indonesia tidak membatasi umat Islam untuk menjalankan keyakinan
dan ibadahnya.
Sejak semula, para
ulama NU menyatakan bahwa gerakan yang dilakukan oleh Kartosoewirjo dengan
Negara Islam Indonesia-nya merupakan bughot (pemberontakan) yang harus dibasmi
demi keberlangsungan persatuan dan kesatuan bangsa sebab Indonesia karena
keberagaman.
Untuk keperluan itu,
Menteri Agama KH Masjkur memprakarsai konferensi Alim Ulama se-Indonesia
bertempat di Cipanas, Cianjur pada 2-7 Maret 1954 guna mengukuhkan kedudukan
kepala negara Republik Indonesia sebagai Waliyul Amri Dharuri Bissyaukah
(pemegang kekuasaan negara darurat).
KH Abdul Wahab
Chasbullah (1888-1971) sebagai seorang ulama yang ikut hadir dalam konferensi
itu pernah menjelaskan secara panjang lebar mengenai Waliyul Amri Dharuri
Bissyaukah dalam sidang parlemen, 29 Maret 1954. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, 2010)
Dengan berpedoman
pada kitab fiqih, Kiai Wahab menjelaskan bahwa dunia Islam telah sepakat untuk
mengangkat Imam A’dham (Imama yang berhak menduduki jabatan imamah), satu imam.
Salah satu persyaratannya adalah mempunyai pengetahuan Islam yang sederajat
dengan Mujtahid Mutlak. Dan inilah yang disebut imam yang sah, bukan Imam
Darurat.
Namun orang yang
memiliki ilmu pengetahuan Islam semartabat dengan ‘mujtahid mutalk’ itu
semenjak 700 tahun yang lampau hingga sekarang ini belum pernah ada. Ini
berarti pembentukan Imam A’dham tersebut mustahil berhasil.
Tetapi bukan berarti
tidak ada alternatif lain. Apabila umat Islam tidak lagi mampu membentuk Imam
A’dham, maka wajib atas umat Islam di masing-masing negara mengangkat Imam yang
‘darurat’. Segala imam yang diangkat darurat ialah Imam Dharuri.
Selanjutnya, Kiai
Wahab menambahkan bahwa baik imam a’dham maupun imam dharuri bisa dianggap sah
sebagai pemegang kekuasaan negara, yakni waliyul amri. Bung Karno yang saat itu
dipilih oleh pemuka-pemuka warga negara, sekalipun tidak oleh semuanya, menurut
hukum Islam adalah sah sebagai Kepala Negara, sekalipun tidak cukup
syarat-syarat untuk menjadi waliyul amri.
Karena tidak
mencukupi syarat, yakni tidak dipilih oleh ulama yang berkompeten untuk itu
(ahlul halli wal aqdi) tetapi melalui proses lain, maka terpaksa kedudukannya
dimasukkan dalam bab ‘dharuri’. Sedangkang kata ‘bissyaukah’ adalah karena
satu-satunya orang terkuat di Indonesia (ketika itu) ialah Ir. Soekarno.
Meskipun masuk dalam
bab ‘dharuri’, kekuasaannya tetap harus efektif dan berkuasa penuh. Atas dasar
kekuasaannya itu, ia berwenang mengangkat pejabat-pejabat agama melalui
pendelegasian wewenang kepada menteri agama. Misalnya, penunjukan ketua
pengadilan agama sebagai wali hakim dalam kasus-kasus tidak adanya wali nasab
bagi wanita dalam pernikahan.
Kemudian menetapkan
kepala negara sebagai wali hakim (meskipun pelaksanaannya didelegasikan kepada
penghulu) adalah dalam keadaan darurat guna memperoleh pengesahan perkawinan
yang diselenggarakan dari sudut pandang fiqih. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar