Revolusi Industri 4.0 dan
Perkembangan Akad Muamalah
Dunia ini senantiasa berubah. Dalam praktik
muamalah, zaman dulu orang melakukan perdagangan dengan jalan sistem barter.
Setelah ditemukannya emas dan perak, muamalah kemudian berlanjut dengan tidak
lagi menggunakan media emas dan perak, melainkan ia menggunakan mata uang yang
memiliki jaminan emas dan perak.
Setelah bank sebagai pusat sirkulasi keuangan
berkembang sedemikian pesatnya sehingga masuk ke dalam segenap relung
kehidupan, orang tidak lagi berorientasi pada cadangan emas dan perak,
melainkan beralih pada keabsahan mata uang yang diterbitkan oleh bank. Apakah
perkembangan ini sudah berhenti sampai di sini? Ternyata tidak.
Uang saat ini sudah diwujudkan dalam bentuk
mata uang virtual. Pengaruh besar dari kartu kredit dan ATM berdampak ke setiap
aspek. Pemberlakuan e-tol, e-ticket merupakan bagian dari wujud imbas dan
pengaruh perubahan yang tak dapat dihindari dan pasti akan terjadi di kemudian
hari.
Ditemukannya bitcoin oleh Satoshi Nakamoto,
sebuah nama samaran dari Craig Wright, pria berkebangsaan Australia, secara
tidak langsung juga menjadi fenomena baru. Sebelumnya dan hingga detik ini,
yang dinamakan dengan uang, baik mata uang fiat, giral atau elektronik, adalah
selalu diterbitkan oleh bank. Namun, seiring dengan ditemukannya bitcoin, mata
uang tidak lagi mutlak menjadi hak komiditi dari perbankan. Ia sudah bisa
diproduksi melalui jaringan peer to peer antara satu unit komputer dengan unit
komputer yang lain.
Dengan kata lain, keberadaan bitcoin secara
tidak langsung menjadi fenomena baru yang tak terelakkan dan kemungkinan besar
akan menjadi bagian dari alat transaksi legal dalam sistem perdagangan. Inilah
wujud revolusi industri 4.0 yang saat ini tengah bergulir. Kita tidak bisa
menghindar darinya. Menghindari gerak laju perubahan justru akan tergilas oleh
zaman.
Lantas, bagaimana sikap dari seorang faqih di
era peralihan semacam ini? Apakah ia akan berperan sebagai pihak antitesa dari
perubahan, atau pihak yang adaptable? Jika seorang faqih memerankan diri
sebagai pihak antitesa terhadap perubahan, maka ia akan digelari sebagai pihak
anti kemapanan sistem. Bagaimanapun juga, sebuah teknologi diciptakan adalah
untuk mempermudah kerja manusia.
Keberadaan virtualisasi mata uang di satu
sisi menjadi kendala bagi masyarakat yang belum siap menghadapinya, namun di
sisi yang lain, ia dipandang lebih bermanfaat bagi sejumlah pihak yang selalu
berhubungan dengan perangkat sistem tersebut. Tingkat safety (keamanan)
terhadap harta dan hak milik selama dalam perjalanan lebih mudah untuk
diamankan dibanding dengan ia membawa uang cash langsung. Aksi kejahatan
perampokan menjadi sedikit bisa diminimalisir. Namun, bukan berarti kejahatan
menjadi habis. Kejahatan akan muncul dalam bentuk lain, seperti kejahatan dalam
wujud transaksi elektronik dan pembobolan data nasabah sebuah bank. Ini adalah
sebuah resiko perubahan. Ada asap berarti ada api. Sebagaimana api, ia bisa
berperilaku sebagai ramah menghangatkan namun juga sebagai yang membakar.
Dengan demikian, ada pihak yang diuntungkan oleh keberadaan api tersebut, namun
ada juga pihak yang dirugikan karena dirinya terbakar.
Menghadapi kenyataan kejadian yang terus
berubah ini, Syeikh Syahrastany dalam Al-Milal wa Al Nihal, Juz 1/198
mengingatkan seorang faqih. Ia berkata:
والنصوص
إذا كانت متناهية والوقائع غير متناهية وما لايتناهى لايضبطه ما يتناهى علم قطعا
أن الاجتهاد والقياس واجب الاعتبار حتى يكون بصدد كل حادثة اجتهاد ثم لا يجوز أن
يكون الاجتهاد مرسلا خارجا عن ضبط الشرع
Artinya: "Meskipun teks nash telah
selesai, namun situasi dan kondisi akan senantiasa terus berkembang/tanpa
kesudahan. Sementara apa-apa yang tiada memiliki kesudahan maka tidak bisa
ditetapkan batasannya secara pasti oleh sesuatu yang telah selesai
ketetapannya. Disinilah urgensi ijtihad dan qiyas sebagai sebuah keharusan
sehingga dalam setiap kejadian baru, muncul ijtihad baru. Akan tetapi, dalam
kancah ijtihad, tidak boleh suatu ijtihad lepas dan keluar dari batas2
syara'." (Abu Al-Fatah Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastany, Al-Milal
wa Al-Nihal, Kairo: Al-Muassisah Al-Halaby wa Al-Tauzi’, tt, Juz 1/198)
Apa yang disampaikan oleh Syahrastany ini
setidaknya menjadi pengingat kembali bagi kita semua untuk semakin mendalami
peran fiqih muamalah. Dalam beberapa kesempatan, Sayyid Al-Bakry, pengarang
kitab I’anatu al-Thalibin pernah melakukan beberapa kemajuan pemikiran dalam
bidang hukum. Kasus hukum wathy syubhat misalnya, yang diilustrasikan sebagai
perempuan yang menyentuhkan batu terdapat padanya sperma yang telah mengering
untuk istinja’, kemudian sperma tersebut berujung masuk ke dalam rahim sehingga
membuat si perempuan hamil, maka si anak tidak bisa dihukumi sebagai waladu
al-zina.
Dalam konteks sains, tentu apa yang
disampaikan oleh Sayyid Bakry ini adalah aneh, karena tidak mungkin ada sperma
yang keluyuran sendiri masuk ke dalam rahim tanpa ada unsur kesengajaan
memasukkannya. Namun, secara fiqih, ternyata ketidaksesuaian segi keilmuan dari
sisi sains, tidak menghalangi kemungkinan terjadi melalui jalur lain yang
dewasa ini juga berkembang. Itulah kehebatan ulama’ saat itu yang mampu
memprediksi kemungkinan hukum yang akan terjadi di masa mendatang, meskipun
persis perkara kejadiannya belum ada saat itu, namun tidak mustahil di masa
mendatang. Bayangkan, apa jadinya jika ulama’ salaf tidak melakukan ijtihad
terhadap kasus wathy syubhat? Betapa sulitnya kita saat ini untuk memutus kasus
kloning, bayi tabung, dan sebagainya. Inilah peran ijtihad hukum
tersebut.
Berpijak dari fenomena ini, dewasa ini praktik
muamalah akan terus berkembang. Jika sebelumnya, praktik muamalah dilaksanakan
dengan jalan tatap muka atau pasar langsung, namun dewasa ini praktik ini telah
berkembang menjadi pasar tidak langsung. Wasilah yang dipergunakan adalah media
online serta kemajuan teknologi digital. Akhirnya, Revolusi Industri 4.0 adalah
sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Jembatan hukum menuju ke sana mahu
tidak mahu harus sudah mulai dipikirkan sedari sekarang. Jika Anda sekarang
memegang handphone android, setidaknya Anda sudah mulai punya landasan untuk
berpikir, bahwa beberapa tahun yang lalu, ketika saya berinteraksi dengan
orang, saya harus datang silaturahmi ke rumahnya. Namun, teknologi telah
mempermudah proses capaian transaksi tersebut dengan tidak menggeser Anda dari
tempat duduk sesenti pun. Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik,
Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar