Merek Menurut Hukum Islam
Sebuah firma konsultan merek internasional,
Brand Finance, kembali merilis daftar merek dari seluruh dunia dengan valuasi
nilai tertinggi. Nilai ini ditetapkan berdasarkan penjualan, performa bisnis,
dan harga saham.
Hasilnya, perusahaan Amazon dinobatkan
sebagai korporasi dengan valuasi merek tertinggi tahun 2018, dengan nilai
mencapai Rp2.037 triliun. Disusul merek “Apple” yang memiliki valuasi nilai
sebesar Rp1.977 triliun. Merek “Google” menempati posisi ketiga dengan valuasi
merek seharga Rp1.633 triliun. Sedangkan posisi keempat dan kelima ditempati
merek “Samsung” dengan nilai mencapai Rp1.252 triliun, dan merek “Facebook”
yang nilainya mencapai angka Rp1.217 triliun (Kompas,
2018).
Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa
keberadaan merek dalam dunia bisnis sangatlah penting, baik bagi perusahaan
(produsen) maupun bagi konsumen. Bagi perusahaan, merek yang baik dapat
membantu membangun citra atau image perusahaan, dan bisa digunakan untuk
kepentingan promosi. Misalnya, merek mobil Alphard, walaupun seandainya
desainnya dibuat jelek dan harganya dibuat mahal, namun masyarakat masih tetap
segan dan menganggap bahwa mobil ini adalah mobil mewah kelas atas yang wajib
dimiliki.
Sedangkan bagi konsumen, merek dapat
memberikan identitas bagi setiap produk, sehingga konsumen akan lebih mudah
untuk mengidentifikasi produk yang dia butuhkan. Di samping itu, merek
memberikan jaminan terhadap konsumen bahwa dia akan mendapatkan kualitas yang
sama meskipun membeli produk tersebut dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Misalnya, seorang konsumen yang pergi ke restoran Kentucky Fried Chicken di
Surabaya akan mendapatkan kualitas makanan yang sama dengan kualitas makanan di
restoran KFC di Jakarta.
Melihat betapa pentingnya keberadaan merek
dalam dunia bisnis maka disusunlah berbagai undang-undang perlindungan merek.
Di Indonesia, perlindungan merek diatur dalam undang-undang nomor 15 tahun 2001
tentang merek, dan undang-undang nomor 20 tahun 2016 tentang merek dan indikasi
geografis.
Adapun hukum Islam, para ulama klasik belum
membahas tema ini, sebab merek pertama kali digunakan di negara-negara Eropa,
dan undang-undang tentang perlindungan merek baru muncul pada pertengahan abad
19. Hanya saja, dalam fiqih klasik ditemukan topik pembahasan yang mirip dengan
merek, yaitu mal (harta) dan milkiyyah (kepemilikan). Dari topik
dimaksud, ulama fiqih kontemporer mengkaji dan menghukumi merek.
Dalam kamus al-Muhith karya Fairuz
Abadi, mal (harta) menurut bahasa adalah segala suatu yang kamu miliki.
Sedangkan secara istilah, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok. Pertama,
kelompok yang mengkhususkan penyebutan mal hanya untuk benda (materi)
saja, yaitu ulama mazhab Hanafi. Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Raddul Muhtar
ala Durril Mukhtar juz 7 halaman 7 mengartikan mal sebagai:
مَا
يَمِيْلُ إِلَيْهِ الطَّبْعُ وَيُمْكِنُ إِدِّخَارُهُ لِوَقْتِ الْحَاجَةِ
“Sesuatu yang disukai oleh tabiat (manusia),
dan dapat disimpan sampai waktu diperlukan.”
Sedangkan Ala’uddin al-Hashkafi dalam kitab Al-Durrul
Muntaqa fi Syarhil Multaqa memaknai mal dengan:
عَيْنٌ
يَجْرِيْ فِيْهِ التَّنَافُسُ وَالْاِبْتِذَالُ
“Benda yang diperebutkan dan diperjuangkan.”
Dari kedua definisi di atas dapat dimengerti
bahwa menurut mazhab Hanafi, mal hanya terbatas pada sesuatu yang
bersifat kebendaan (material). Dengan demikian, manfaat suatu benda (manafi’/hak
guna barang), seperti menempati rumah, dan hak (huquq), seperti hak asuh, tidak
masuk kategori mal.
Kedua, kelompok yang
memperluas cakupan makna mal meliputi benda dan selain benda, berupa
manfaat (manafi’) dan hak (huquq). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari
mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. (Lihat: Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah juz 2 halaman 17, Al-Asybah wa Al-Nadhair juz 2 halaman
171, Syarh Muntaha al-Iradat juz 2 halaman 7)
Mayoritas ulama kontemporer mendukung
pendapat kelompok kedua ini. Abdul Salam Al-Ubadi, misalnya, memaknai mal sebagai:
مَا
كَانَ لَهُ قِيْمَةٌ مَادِيَّةٌ بَيْنَ النَّاسِ، وَجَازَ شَرْعًا الاِنْتِفَاعُ
بِهِ فِي حَالِ السَّعَةِ وَالاِخْتِيَارِ
“Sesuatu yang memiliki nilai material menurut
masyarakat, dan menurut syara’ boleh diambil manfaatnya, dalam kondisi lapang
dan normal.
Dari pengertian kelompok ini dapat dipahami
bahwa sesuatu disebut mal apabila memenuhi dua kriteria, yaitu: memiliki
nilai material dan bermanfaat.
Jika kedua kriteria ini diterapkan pada
merek, maka merek memiliki nilai material yang sangat mahal. Bahkan tidak
jarang, harga sebuah merek lebih mahal dari harga perusahaannya. Lalu merek
juga memiliki manfaat yang sangat besar, baik bagi produsen maupun bagi
konsumen. Bagi produsen, merek dapat membedakan jenis produk yang dia sediakan
dari produk orang lain. Sedangkan bagi konsumen, merek dapat membantunya
mengidentifikasi produk yang dia butuhkan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa merek merupakan mal (harta).
Adapun pengertian milk/milkiyyah
(kepemilikan) menurut ulama adalah:
اِخْتِصَاصُ
إِنْسَانٍ بِشَيْءٍ يَخُوْلُهُ شَرْعًا الاِنْتِفَاعُ وَالتَّصَرُّفُ فِيْهِ
وَحْدَهُ اِبْتِدَاءً إِلَّا لِمَانِعٍ
Hak khusus bagi seseorang atas sesuatu yang
secara syara’ dapat dimanfaatkan dan ditasharufkan sendiri dari awal, kecuali
jika ada penghalang.
Dalam hukum Islam, segala suatu dapat
dimiliki kecuali benda yang tidak bermanfaat seperti sebiji jagung, dan benda
serta manfaat yang haram, seperti bangkai. Sedangkan merek bermanfaat dan tidak
diharamkan, karenanya ia dapat dimiliki.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
merek merupakan harta yang dapat dimiliki. Oleh karena itu, pemilik merek
berhak mendapatkan perlindungan atas mereknya, sebagaimana ia berhak
mengomersilkan dan mentasarufkannya seperti menjual, menyewakan, atau
memberikan lisensi kepada pihak lain.
Setiap pelanggaran atas merek berupa
menjiplak, meniru, membajak, dan memalsu produk bermerek hukumnya haram, karena
masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil. Allah subhanahu
wata’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS
An-Nisa: 29).
Rasul shallallahu alaihi wasallam dalam
khutbah haji Wada’ bersabda:
إِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا
Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan
kehormatanmu bagi kamu sekalian adalah haram, sebagaimana haramnya harimu ini,
di negaramu ini, di bulanmu ini.
Sedangkan orang yang melakukan pelanggaran
atas merek dapat dikenakan hukuman takzir. Takzir merupakan hukuman terhadap
suatu kejahatan yang belum ada ketentuanya dalam hukum Islam. Ia merupakan hak
prerogatif pemerintah; apa hukuman yang pantas diberikan kepada pelanggar,
dengan mempertimbangkan bentuk pelanggaran, keadaan pelanggar, serta akibat
pelanggaran itu.
Hukuman atas pelanggaran terhadap merek bisa
menjadi lebih berat manakala tindakan tersebut mengakibatkan gangguan
kesehatan, gangguan lingkungan hidup, atau bahkan kematian manusia, sebagaimana
kejadian pesta minuman keras oplosan yang berujung maut di Wonogiri beberapa
waktu lalu, di mana polisi mensinyalir adanya pemalsuan merek oleh pabrik
pembuat dengan nama Vodka. Wallahu a’lam. []
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Pengurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar