Jumat, 09 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Merek Menurut Hukum Islam


Merek Menurut Hukum Islam

Sebuah firma konsultan merek internasional, Brand Finance, kembali merilis daftar merek dari seluruh dunia dengan valuasi nilai tertinggi. Nilai ini ditetapkan berdasarkan penjualan, performa bisnis, dan harga saham.

Hasilnya, perusahaan Amazon dinobatkan sebagai korporasi dengan valuasi merek tertinggi tahun 2018, dengan nilai mencapai Rp2.037 triliun. Disusul merek “Apple” yang memiliki valuasi nilai sebesar Rp1.977 triliun. Merek “Google” menempati posisi ketiga dengan valuasi merek seharga Rp1.633 triliun. Sedangkan posisi keempat dan kelima ditempati merek “Samsung” dengan nilai mencapai Rp1.252 triliun, dan merek “Facebook” yang nilainya mencapai angka Rp1.217 triliun (Kompas, 2018).

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan merek dalam dunia bisnis sangatlah penting, baik bagi perusahaan (produsen) maupun bagi konsumen. Bagi perusahaan, merek yang baik dapat membantu membangun citra atau image perusahaan, dan bisa digunakan untuk kepentingan promosi. Misalnya, merek mobil Alphard, walaupun seandainya desainnya dibuat jelek dan harganya dibuat mahal, namun masyarakat masih tetap segan dan menganggap bahwa mobil ini adalah mobil mewah kelas atas yang wajib dimiliki. 

Sedangkan bagi konsumen, merek dapat memberikan identitas bagi setiap produk, sehingga konsumen akan lebih mudah untuk mengidentifikasi produk yang dia butuhkan. Di samping itu, merek memberikan jaminan terhadap konsumen bahwa dia akan mendapatkan kualitas yang sama meskipun membeli produk tersebut dalam waktu dan tempat yang berbeda. Misalnya, seorang konsumen yang pergi ke restoran Kentucky Fried Chicken di Surabaya akan mendapatkan kualitas makanan yang sama dengan kualitas makanan di restoran KFC di Jakarta.

Melihat betapa pentingnya keberadaan merek dalam dunia bisnis maka disusunlah berbagai undang-undang perlindungan merek. Di Indonesia, perlindungan merek diatur dalam undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek, dan undang-undang nomor 20 tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis. 

Adapun hukum Islam, para ulama klasik belum membahas tema ini, sebab merek pertama kali digunakan di negara-negara Eropa, dan undang-undang tentang perlindungan merek baru muncul pada pertengahan abad 19. Hanya saja, dalam fiqih klasik ditemukan topik pembahasan yang mirip dengan merek, yaitu mal (harta) dan milkiyyah (kepemilikan). Dari topik dimaksud, ulama fiqih kontemporer mengkaji dan menghukumi merek.

Dalam kamus al-Muhith karya Fairuz Abadi, mal (harta) menurut bahasa adalah segala suatu yang kamu miliki. Sedangkan secara istilah, para ulama klasik terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengkhususkan penyebutan mal hanya untuk benda (materi) saja, yaitu ulama mazhab Hanafi. Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Raddul Muhtar ala Durril Mukhtar juz 7 halaman 7 mengartikan mal sebagai:

مَا يَمِيْلُ إِلَيْهِ الطَّبْعُ وَيُمْكِنُ إِدِّخَارُهُ لِوَقْتِ الْحَاجَةِ

“Sesuatu yang disukai oleh tabiat (manusia), dan dapat disimpan sampai waktu diperlukan.”

Sedangkan Ala’uddin al-Hashkafi dalam kitab Al-Durrul Muntaqa fi Syarhil Multaqa memaknai mal dengan:

عَيْنٌ يَجْرِيْ فِيْهِ التَّنَافُسُ وَالْاِبْتِذَالُ

“Benda yang diperebutkan dan diperjuangkan.”

Dari kedua definisi di atas dapat dimengerti bahwa menurut mazhab Hanafi, mal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat kebendaan (material). Dengan demikian, manfaat suatu benda (manafi’/hak guna barang), seperti menempati rumah, dan hak (huquq), seperti hak asuh, tidak masuk kategori mal.

Kedua, kelompok yang memperluas cakupan makna mal meliputi benda dan selain benda, berupa manfaat (manafi’) dan hak (huquq). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. (Lihat: Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah juz 2 halaman 17, Al-Asybah wa Al-Nadhair juz 2 halaman 171, Syarh Muntaha al-Iradat juz 2 halaman 7)

Mayoritas ulama kontemporer mendukung pendapat kelompok kedua ini. Abdul Salam Al-Ubadi, misalnya, memaknai mal sebagai:

مَا كَانَ لَهُ قِيْمَةٌ مَادِيَّةٌ بَيْنَ النَّاسِ، وَجَازَ شَرْعًا الاِنْتِفَاعُ بِهِ فِي حَالِ السَّعَةِ وَالاِخْتِيَارِ

“Sesuatu yang memiliki nilai material menurut masyarakat, dan menurut syara’ boleh diambil manfaatnya, dalam kondisi lapang dan normal.

Dari pengertian kelompok ini dapat dipahami bahwa sesuatu disebut mal apabila memenuhi dua kriteria, yaitu: memiliki nilai material dan bermanfaat. 

Jika kedua kriteria ini diterapkan pada merek, maka merek memiliki nilai material yang sangat mahal. Bahkan tidak jarang, harga sebuah merek lebih mahal dari harga perusahaannya. Lalu merek juga memiliki manfaat yang sangat besar, baik bagi produsen maupun bagi konsumen. Bagi produsen, merek dapat membedakan jenis produk yang dia sediakan dari produk orang lain. Sedangkan bagi konsumen, merek dapat membantunya mengidentifikasi produk yang dia butuhkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa merek merupakan mal (harta).

Adapun pengertian milk/milkiyyah (kepemilikan) menurut ulama adalah:

اِخْتِصَاصُ إِنْسَانٍ بِشَيْءٍ يَخُوْلُهُ شَرْعًا الاِنْتِفَاعُ وَالتَّصَرُّفُ فِيْهِ وَحْدَهُ اِبْتِدَاءً إِلَّا لِمَانِعٍ

Hak khusus bagi seseorang atas sesuatu yang secara syara’ dapat dimanfaatkan dan ditasharufkan sendiri dari awal, kecuali jika ada penghalang.

Dalam hukum Islam, segala suatu dapat dimiliki kecuali benda yang tidak bermanfaat seperti sebiji jagung, dan benda serta manfaat yang haram, seperti bangkai. Sedangkan merek bermanfaat dan tidak diharamkan, karenanya ia dapat dimiliki.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa merek merupakan harta yang dapat dimiliki. Oleh karena itu, pemilik merek berhak mendapatkan perlindungan atas mereknya, sebagaimana ia berhak mengomersilkan dan mentasarufkannya seperti menjual, menyewakan, atau memberikan lisensi kepada pihak lain. 

Setiap pelanggaran atas merek berupa menjiplak, meniru, membajak, dan memalsu produk bermerek hukumnya haram, karena masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS An-Nisa: 29).

Rasul shallallahu alaihi wasallam dalam khutbah haji Wada’ bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu bagi kamu sekalian adalah haram, sebagaimana haramnya harimu ini, di negaramu ini, di bulanmu ini.

Sedangkan orang yang melakukan pelanggaran atas merek dapat dikenakan hukuman takzir. Takzir merupakan hukuman terhadap suatu kejahatan yang belum ada ketentuanya dalam hukum Islam. Ia merupakan hak prerogatif pemerintah; apa hukuman yang pantas diberikan kepada pelanggar, dengan mempertimbangkan bentuk pelanggaran, keadaan pelanggar, serta akibat pelanggaran itu. 

Hukuman atas pelanggaran terhadap merek bisa menjadi lebih berat manakala tindakan tersebut mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, atau bahkan kematian manusia, sebagaimana kejadian pesta minuman keras oplosan yang berujung maut di Wonogiri beberapa waktu lalu, di mana polisi mensinyalir adanya pemalsuan merek oleh pabrik pembuat dengan nama Vodka. Wallahu a’lam. []

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar