Senin, 12 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Ketentuan Saling Ridha dalam Jual Beli


Ketentuan Saling Ridha dalam Jual Beli

Dasar utama jual beli adalah saling ridha. Asal usul ditetapkannya khiyar (hak memilik) adalah untuk memastikan terbitnya rasa saling ridha ini. Hujjah harus adanya saling ridha dalam jual beli ini, didasarkan pada hadits riwayat Ibnu Hibban:

إنما البيع عن تراض

Artinya: "Sesungguhnya jual beli itu berangkat dari saling ridha." (Lihat: Syekh Abu Yahya Zakaria al Anshory, Fathul Wahab bi Syarhi Manhaji al Thullab, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: Jilid 1: 157)

Karena ridha adalah urusan hati dan bersifat samar (khafy), sementara manusia hanya bertugas mengenal dhahirnya, maka ditetapkanlah batas-batas diketahuinya ridha dua orang yang sedang bertransaksi ini secara fiqih, yaitu dengan "lafadh" yg menunjuk makna ridha. Tanpa keberadaan lafadh yang menunjuk ke pengertian ridha, maka jual beli bisa dianggap tidak sah. Misalnya adalahjual beli mu'athah, yaitu jual beli yang saling mengulurkan barang tanpa disertai lafadh jual beli apalagi makna lahiriah saling ridha.

Konsekuensi hukum bila terjadi jual beli mu'athah, adalah: pihak pembeli berhak untuk mengembalikan barang yang diambilnya bila ditemui adanya kerusakan atau bahkan meminta ganti kerusakan. Dan ini yang kerap menimbulkan perselisihan di belakang harinya antara kedua pihak penjual dan pembeli karena ketiadaan keridhaan. Oleh karena itu, dalam fiqih muamalah Imam Syafii, hukum bai' mu'athah ini diputus sebagai tidak sah, kecuali pada jenis barang tertentu yang mudah timbul keridlaan.

Sebuah catatan berupa qaul mukhtar (pendapat pilihan) Imam Nawawi yang menjelaskan bahwa jual beli mu'athah bisa sah asalkan terjadi pada kasus adat jual beli barang tertentu, seperti: khubz (roti) dan lahm (daging). Namun demikian, Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa bai’ mu’âthah diputus sebagai tidak sah untuk jual beli hewan ternak (dawâb) dan kebun ('iqar). Pembedaan ini semata didasarkan atas adat yang berlaku di masyarakat untuk jual beli barang-barang dengan harga yang sudah diketahui dan lazim. Namun, untuk barang dengan harga jual yang tinggi, maka bai’ mu’âthah tetap diputus sebagai tidak sah. Syekh Zakaria Al-Anshori menjelaskan pendapat Imam Nawawi ini dalam kitab Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, sebagai berikut:

وقيل ينعقد بها في كل ما يعد فيه بيعا كخبز ولحم بخلاف غيره كالدواب والعقار واختاره النووي

Artinya: “Dikatakan bahwa bai’ mu’âthah dipandang sah dalam jual beli semua barang yang menjadi kebiasaan, seperti roti dan daging, namun tidak terhadap jenis barang lainnya seperti hewan ternak, dan kebun. Pernyataan ini merupakan yang dipilih Imam Nawawi.” (Lihat: Syekh Abu Yahya Zakaria al Anshary, Fathul Wahab bi Syarhi Manhaji al Thullab, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: Jilid 1: 157)

Karena ridha dalam jual beli bisa diketahui berbekal lafadh, maka titik tekan masalah sekarang adalah pada jenis lafadh yang dipergunakan. Suatu ketika lafadh jual beli disampaikan dengan struktur kalimat yang sharih (jelas), serta tidak menerima makna bersayap. Namun, di lain waktu, akad disampaikan menggunakan tata cara penyampaian ber makna kiasan (kinayah). Kedua model lafadh jelas dan kiasan ini sama-sama diperbolehkan dalam jual beli oleh syariat dengan catatan harus memiliki makna dan kesan yang jelas bahwa telah terjadi “jual beli”. Kejelasan makna ini penting karena merupakan bagian dari penyusun keridhaan.

Namun, khusus untuk jual beli yang memakai jasa wakil, ada perbedaan pendapat seiring penggunaan lafadh kinayah guna menerbitkan keridhaan ini. Syekh Zakaria Al-Anshory menyatakan tidak sah jual belinya wakil yang diangkat dengan menggunakan lafadh kinayah. Mengapa? Karena syarat seorang wakil harus menyaksikan sendiri niatandari orang yang mewakilkan. Keberadaan saksi (syuhûd) tidakmampu berperan menggantikan keharusan itu. Meskipun ada bukti-bukti (qarâin) yang turut disertakan oleh muwakkil kepada wakilnya. 

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Imam Al Ghazali yang menyatakan bahwa sah jual belinya wakil yang diangkat melalui cara berkirim surat. Contoh misalnya Pak Ahmad berkirim SMS kepada Pak Anton agar ia bersedia mewakilinya membeli rumah. Setelah membaca isi pesan singkat dari Pak Ahmad, kemudian Pak Anton menyatakan kesediaannya menjadi wakil dengan membalas pesan SMS kembali ke Pak Ahmad. Karena adanya serah-terima wakil dengan yang mewakilkan via SMS ini, maka status Pak Anton menjadi sah selaku wakil Pak Ahmad. Hal ini berdasarkan pendapat Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Syekh Zakariya Al-Anshary berikut ini: 

قال الغزالي فالظاهر انعقاده ولوكتب إلى غائب ببيع أو غيره صح ويشترط قبول المكتوب إليه عند وقوفه على الكتاب

Artinya: “Imam Al-Ghazaly berkata, melihat dhahir nash, (wakil yang diangkat dari hasil kiriman surat tersebut, adalah) sah. Seandainya seseorang mengirim surat ke orang yang tidak ada di tempat (ghaib) untuk melakukan jual beli atau selainnya jual beli (atas nama yang berkirim surat) maka sah. Namun disyaratkan adanya balasan surat penerimaan dari yang diangkat menjadi wakil kepada yang mewakilkan ketika sudah menyatakan kesediaan.” (Lihat: Syekh Abu Yahya Zakaria al Anshary, Fathul Wahab bi Syarhi Manhaji al Thullab, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: Jilid 1: 157)

Konsekuensi hukum dari mengikuti pendapat Al-Ghazaly ini adalah bentuk khiyar majlis menjadi berubah prosesnya mengingat adanya jeda waktu antara meminta pendapatnya muwakkil terhadap barang yang diwakilkan. Jika muwakkil menyatakan setuju dan wakil menyampaikannya kepada penjual sebagaimana yang disampaikan muwakkil, maka sah-lah akad jual beli itu. Kasus ini dalam beberapa kesempatan pembahasan dikenal sebagai kasus wahdatul majlis, yaitu yang sebelumnya khiyar majlis (transaksi majelis) harus dilakukan antara penjual dan pembeli dengan duduk bersama-sama dalam satu majelis, namun seiring kondisi yang berkembang, konsep majelis dijembatani oleh media perantara, seperti handphone, email, faximile, aplikasi dan lain sebagainya. Untuk kasus lama, yang mana wakil dan muwakkil harus berkirim surat via pos (tidak melalui jalur internet), keputusan khiyar bisa berlangsung hingga beberapa hari kemudian. Namun, untuk kondisi saat ini yang bisa dijembatani oleh via SMS dan internet, jeda waktu ini bisa dipersingkat dengan hanya beberapa menit saja. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana bila seorang wakil diminta untuk melakukan dua pekerjaan sekaligus oleh orang yang mewakilkan? Misalnya Pak Ahmad berpesan: "Merdekakan budak Si A, dengan atas namaku!" Di sini, pihak muwakkil (Pak Ahmad) meminta agar wakilnya (Pak Anton) seolah diminta melakukan dua atau lebih tindakan sekaligus, yaitu “membelikan” Pak Ahmad seorang budak dari Si A lalu memerdekakan budak tersebut atas nama pemintanya (Pak Ahmad)! Sahkah tindakan seperti ini dilakukan oleh wakil?

Berbekal lafadh kinayah yang disampaikan oleh Pak Ahmad kepada Pak Anton tersebut, maka dengan mendasarkan diri pada qaul mukhtar Tajuddin Al Subki, maka transaksi wakil tersebut adalah sah. Bila kemudian timbul pertanyaan: "Siapa mu'tiqnya?" Maka dalam hal ini pihak yang berperan selaku mu’tiq adalah Pak Ahmad. Sementara itu, wakil hanya bertindak sebagai eksekutor lapangan. Berikut dasar keabsahan qaul tersebut:

فلو كتب إلى حاضر فوجهان المختار منهما تبعا للسبكي الصحة واعتبار الصيغة جار حتى في بيع متولي الطرفين كبيع ماله من طفله وفي البيع الضمني

Artinya: “Seandainya wakil berkirim surat kepada muwakkil hadlir – yaitu: muwakkil yang ada di daerah tempat transaksi - maka ada dua pendapat. Pendapat yang dipilih adalah mengikut Imam Al-Subki yang menyatakan sahnya transaksi. Dalam hal ini, keumumuman lafadh transaksi menjadi berlaku sehingga sah untuk kasus jual belinya orang yang dikuasakan dua transaksi ganda sekaligus, seperti transaksi menjualkan harta yang ada di anaknya, atau transaksi menjual harta simpanannya.”(Lihat: Syekh Abu Yahya Zakaria al Anshary, Fathul Wahab bi Syarhi Manhaji al Thullab, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: Jilid 1: 157!)

Wakil yang dikuasakan untuk menjualkan harta muwakkil yang masih ada di pihak ketiga, yaitu anak muwakkil sendiri, berarti juga diperintah untuk menemui si anak, menghitung harta yang dimaksud muwakkil, lalu menjualnya kepada pihak yang mau membeli. Wakil yang dikuasakan untuk menjualkan harta simpanan muwakkil, berarti juga diberi izin untuk masuk ke tempat penyimpanan harta, mengambilnya, lalu menjualnya. Itulah sebabnya, Imam Tajuddin al-Subki lebih memilih sahnya transaksi karena ada unsur keridhaan yang lahir akibat pengangkatan wakil, sesuai dengan qaidah: “Ridha terhadap sesuatu, berarti ridha dengan risikonya.” Wallahu A’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar