Kapok Korupsi
Oleh: Azyumardi Azra
Agaknya bisa dipastikan, korupsi adalah salah satu masalah pokok
yang dihadapi negara-bangsa dan pemerintahan Indonesia khususnya. Telah 20
tahun Indonesia mengalami demokratisasi, yang dapat menjadi jalan menciptakan
tata kelola pemerintahan baik (good governance). Namun, belum terlihat
tanda-tanda korupsi berkurang.
Sangat memprihatinkan. Praktik jual beli jabatan kian merajalela,
baik di tingkat pusat maupun daerah (Kompas, 1/8/2019). Demokratisasi dan
otonomisasi sama sekali belum berhasil menciptakan good governance yang bebas
dari korupsi.
Namun, upaya pemberantasan korupsi juga tak kurang. Komisi
Pemberantasan Korupsi sudah ada sejak 2002. Meski kadang-kadang kagok ketika
berhadapan dengan aparat penegak hukum lain yang secara sporadis menangani
korupsi, seperti Polri dan Kejaksaan, KPK tetap giat. Dalam dua atau tiga tahun
terakhir, KPK sangat sering melakukan operasi tangkap tangan.
Menurut catatan The Borgen Project, tahun 2018 korupsi di
Indonesia merugikan negara 401,45 juta dollar AS. Angka itu turun 55,4 juta
dollar AS dibandingkan dengan tahun 2017, salah satunya berkat langkah KPK menangkap
pejabat publik dan pihak swasta lewat operasi tangkap tangan.
Namun, tetap saja koruptor atau mereka yang berniat korupsi tidak
kapok. Perbaikan gaji dan peningkatan kesejahteraan pegawai pemerintahan dengan
semakin meningkatnya remunerasi atau tunjangan kinerja juga tidak mengurangi
korupsi. Terlihat korupsi benar-benar bersumber dari kerakusan (greed), bukan
by need, kebutuhan mendesak karena rendahnya gaji.
Lalu, ancaman hukuman tak membuat pejabat publik takut dan kapok
korupsi. Contoh terjelasnya Bupati Kudus, Jawa Tengah, Muhammad Tamzil yang
terkena operasi tangkap tangan KPK, 26 Juli 2019. Tamzil tidak kapok korupsi
setelah bebas bersyarat Desember 2015 dari hukuman penjara 1 tahun 10 bulan.
Ia terbukti korupsi dana prasarana dan sarana pendidikan saat
menjabat Bupati Kudus 2003-2008. Namun, bukan hanya Tamzil yang tidak kapok.
Partai politik juga tak kapok mengusung bekas koruptor menjadi calon bupati.
Kasus Tamzil cukup sempurna memberikan pelajaran kepada penegak
hukum dan warga: hukuman penjara tidak otomatis membuat koruptor kapok untuk
mengulangi kejahatan luar biasa ini ketika kembali mendapat kesempatan.
Hukuman penjara dalam waktu yang tak terlalu lama tampaknya tak
menjadi masalah bagi koruptor. Dengan kekayaannya, cukup sering terlihat bekas
koruptor tetap menonjol dalam kehidupan publik. Mereka terlihat dermawan karena
”mencuci” kejahatan korupsinya dengan beramal ke institusi agama atau lembaga
sosial.
Dengan modal ”kedermawanan” itu, mereka—seperti dalam kasus
Tamzil—tanpa malu maju kembali dalam kontestasi politik untuk meraih jabatan
publik tertentu. Pemilih tanpa rasa bersalah juga memilihnya—benar-benar
permisif.
Memandang korupsi yang terus merajalela, koruptor harus
benar-benar dibuat kapok. Mereka harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya;
mungkin bukan hukuman mati yang kontroversial, melainkan hukuman penjara seumur
hidup, misalnya.
Termasuk ke dalam hukuman berat itu adalah penyitaan kekayaan
koruptor yang terindikasi hasil korupsi. Selanjutnya, bekas koruptor harus
dihapuskan haknya selama mungkin untuk menjadi pejabat publik melalui pilkada
atau pemilu.
Parpol seharusnya dapat menemukan calon-calon pemimpin yang
berintegritas. Jika mau sungguh-sungguh, parpol bisa mendapatkan dan
mengorbitkan (calon) pemimpin berintegritas. Syaratnya, semua parpol pengusung
mesti menghentikan beban finansial ke pundak calon pejabat publik yang
berkompetisi di pilkada atau pemilu. Bukan rahasia lagi, calon harus membayar
semacam ”mahar” kepada parpol yang mengakibatkan semakin merajalelanya politik
transaksional.
Pemberantasan korupsi juga hanya bisa dilakukan dengan memberantas
sikap permisif warga yang masih saja mau memilih calon yang tak punya rekam
jejak baik.
Tak kurang penting, koruptor dan calon koruptor dapat dibuat kapok
dengan menghilangkan sikap kompromi dan longgar aparat penegak hukum terhadap
koruptor. Kecenderungan semakin ringannya hukuman yang dijatuhkan pengadilan
kepada koruptor dalam beberapa tahun terakhir ini harus segera diubah dengan
bersikap tegas tanpa ampun.
Terakhir, berbagai kasus pemberantasan korupsi juga menunjukkan
perlu ada peningkatan kerja sama semua pihak yang peduli (coalition of the
concerned) untuk pemberantasan korupsi. Mereka ini adalah orang-orang yang
bersih di dalam pemerintahan, aparat penegak hukum, sektor swasta, organisasi
masyarakat, dan masyarakat sipil yang punya bobot untuk bicara tentang
pemberantasan korupsi.
Mereka harus meningkatkan kerja sama dan terus berusaha melalui
berbagai cara, memberantas korupsi di lingkungan pemerintahan sejak dari
tingkat atas sampai ke level bawah. Pada saat yang sama, mereka juga perlu
terus memperkuat sikap antikorupsi di masyarakat. []
KOMPAS, 8 Agustus 2019
Azyumardi Azra | Profesor
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar