Anjuran Menutup Majelis
dengan Bershalawat
Sekumpulan orang berkumul di sebuah rumah.
Mereka baru saja bersama-sama melakukan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dan
beberapa kalimat thayibah. Setelah itu mereka menyantap hidangan yang disiapkan
tuan rumah. Usai santap bersama pembaca acara menyampaikan beberapa kalimat
sebelum akhirnya menyatakan selesainya acara pada malam itu, lalu memungkasinya
dengan salam.
Namun demikian meski acara telah resmi
ditutup namun mereka yang hadir tak kunjung bangun dan meninggalkan majelis.
Beberapa di antaranya malah saling pandang, seperti ada yang ganjil bagi
mereka. Hingga ketika salah seorang di antara mereka menyuarakan dengan lantang
kalimat shallû ‘alan Nabiy Muhammad semuanya menjawab dengan lantang pula
kalimat Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alaih, lalu serempak bangun dan
meninggalkan majelis untuk pulang ke rumah masing-masing.
Ya, pemandangan seperti itu jamak dijumpai di
masyarakat muslim di Indonesia. Bahwa dalam sebuah perkumpulan acara kenduri
atau selamatan mereka yang hadir baru akan bubar ketika dikomando untuk membaca
shalawat. Tanpa dishalawati mereka belum mau membubarkan diri atau kalaupun
bubar seperti ada yang kurang yang mengganjal di dalam hati. Itulah sebabnya
ada yang berkelakar mengatakan bahwa shalawat yang dibaca untuk menutup sebuah
majelis disebut dengan “shalawat bubar” atau “shalawat ngusir”. Hehe…
Apa yang dilakukan oleh masyarakat dan telah
menjadi adat kebiasaan ini bukan tanpa sebab dan dasar. Tentunya mereka yang
awam melakukan itu mengikuti apa yang diajarkan oleh para ulama atau tokoh
masyarakat yang ada. Dan tentunya pula para tokoh masyarakat itu mengajarkan
demikian dengan berdasar pada ilmu yang mereka pelajaran dari para gurunya
terus berantai hingga Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Imam Sirajudin Al-Husaini di dalam kitabnya
As-Shalâtu ‘alan Nabiyyi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengutip beberapa hadits
yang berkenaan dengan hal ini. Di antaranya hadits dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:
مَا
جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ، وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى
نَبِيِّهِمْ، إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ
شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ
Artinya: “Tidaklah suatu kaum duduk di suatu
majelis di mana merea tidak berdzikir kepada Allah dan tidak bershalawat kepada
Nabi di dalam majelis itu kecuali majelis itu akan menjadi penyesalan bagi
mereka. Bila Allah mau maka akan menyiksa mereka, dan bila Allah mau maka akan
mengampuni mereka.” (Sirajudin Al-Husaini, As-Shalâtun ‘alan Nabiyyi
Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, [Damaskus: Maktabah Darul Falah, 1990], hal.
106)
Juga sebuah hadits dari Abu Hurairah:
أيُّما
قَوْمٍ جَلَسُوا فأَطالُوا الجُلوسَ ثمَّ تَفَرَّقُوا قَبْلَ أنْ يَذْكرُوا الله
تَعَالَى أوْ يُصَلُّوا على نَبِيِّهِ كانَتْ عَلَيْهِمْ تِرَةً مِنَ الله إنْ
شاءَ عَذَّبَهُمْ وَإنْ شاءَ غَفَرَ لَهُمْ
Artinya: “Suatu kaum yang duduk-duduk dan
melamakan duduknya kemudian mereka berpisah sebelum berdzikir kepada Allah atau
bershalawat kepada Nabi-Nya maka duduknya mereka itu akan menjadi kerugian bagi
mereka dari Allah. Bila Allah mau maka akan menyiksa mereka dan bila Allah mau
maka akan mengampuni mereka.” (Abdur Rauf Al-Munawi, Faidlul Qadîr, [Beirut:
Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2012], Jil. III, hal. 194)
Dari kedua hadits di atas dapat diambil
pelajaran bahwa ketika sekumpulan orang berkumpul dalam sebuah majelis namun
mereka tidak berdzikir kepada Allah dan tidak bershalawat kepada Baginda
Rasulullah maka majelis itu akan menjadi kerugian dan penyesalan bagi setiap
orang yang ada di dalamnya. Mereka merugi dan menyesal karena telah
meninggalkan dzikir dan shalawat di dalam majelis sehingga tidak mendapatkan
pahalanya. Kelak di hari kiamat Allah bisa saja menyiksa mereka karena
perbuatan dosa yang mereka lakukan selama berada di majelis seperti menggunjing
dan lainnya. Atau Allah juga bisa saja mengampuni mereka sebagai anugerah dan rahmat
dari-Nya.
Sirajudin Al-Husaini menyatakan bahwa
disunahkan bagi setiap orang yang ikut duduk di majelis itu untuk berdzikir
kepada Allah dengan kalimat tahmid, tasbih, takbir, istighfar dan lainnya, juga
untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Kesunahan
berdzikir dan bershalawat ini menguat manakala mereka hendak bangun bubar dari
majelis.
Kiranya inilah dasar mengapa dalam berbagai
acara yang digelar oleh masyarakat muslim Indonesia—terlebih oleh kalangan
Nahdliyin—selalu dibacakan shalawat terlebih dahulu sebelum para hadirin bangun
membubarkan diri. Ini juga yang menjadi dasar dalam berbagai kegiatan Nahdliyin
di dalam susunan acaranya selalu diadakan secara khusus acara pembacaan
shalawat setelah dibacakannya ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar