Senin, 12 Agustus 2019

Mardi Busono, Cikal Bakal SD Ta’mirul Islam


SEJARAH SD TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA (2)
Mardi Busono, Cikal Bakal SD Ta’mirul Islam

Masjid Tegalsari telah berdiri dengan megahnya. Syiar Islam semakin naik  di lingkup daerah Tegalsari dan sekitarnya. Namun, para perintis ini seakan tidak pernah berhenti untuk senantiasa memikirkan perkembangan umat ke depan.

Salah seorang sesepuh Masjid Tegalsari, H. Ahmaduhidjan, menjelaskan setelah selesai mendirikan masjid (1928), kemudian di tahun yang sama kembali muncul gagasan untuk membuat sebuah madrasah sebagai wahana pendidikan umat.

“Ketika itu, sebelah selatan masjid masih ada sisa tanah. Kemudian para pendiri masjid, ada yang usul agar juga dibuat madrasah,” kata Ahmaduhidjan dalam buku tersebut.

Gagasan pendirian madrasah tersebut juga didorong oleh masih minimnya madrasah/pendidikan yang ada. Pada zaman penjajahan Belanda, sangat sedikit orang pribumi yang mendapat kesempatan untuk dapat mengenyam bangku sekolah.

Maka, lembaga pendidikan menjadi penting, selain untuk mengentaskan kebodohan juga dapat menjadi sarana syiar Islam di lingkungan tersebut.

“Sebelumnya, pendidikan di lingkungan Tegalsari sebetulnya sudah ada, tapi sebatas privat. Mbah Kiai Shofawi mengundang sejumlah kiai untuk datang ke rumahnya dan mengajari putri-putrinya belajar ilmu agama, dan kemudian juga turut bergabung anak putri yang lain,” ungkap dia.

Kemudian ditunjuklah KH R. M. Adnan atau biasa dipanggil Den Kaji Ngadnan, dibantu beberapa orang, untuk merintis berdirinya sekolah di lingkup Tegalsari, yang bernama “Mardi Busono”.

Pemilihan nama Mardi Busono ini bukan tanpa alasan. Pertama, Mardi Busono memiliki makna baik yakni dari kata mardi berarti menata. Sedangakn busono bermakna pakaian. Busono ini juga dapat dimaknai agama, karena dalam bahasa Jawa agama bermakna  ageming aji. Dengan kata lain Mardi Busono memiliki filosofi sebagai tempat untuk menata moral dan agama.

Kedua, dipilihnya nama dari bahasa Jawa (bukan bahasa Arab) ini, sebagai taktik untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ketika itu tengah ketat dalam mengawasi kaum santri/pesantren, yang diduga banyak terlibat dalam aksi perjuangan melawan penjajah.

Setelah berdiri, lambat laun para murid pun berdatangan. Sebagian besar mereka berasal dari wilayah Tegalsari dan sekitarnya. Dalam keseharian, para murid perempuan memakai kebaya, ada yang berkerudung namun sebagian tidak.

Sedangkan para guru pria berpakaian beskap, bawahan batik dan memakai blangkon, namun adapula yang memakai jas dipadu dengan penutup kepala peci hitam, simbol nasionalisme.

Bangunan sekolah terletak di selatan masjid (sekarang kantor guru), dan sebagian bertempat di sekitar jedhing pawudhon (tempat wudhu) yang hanya dibatasi dengan kayu-kayu. Pada zaman pendudukan Belanda, kelas sempat dipindah ke sebelah utara masjid, karena bangunan sekolah digunakan sebagai markas Belanda.

Sekolah Mardi Busono inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pendidikan formal di lingkungan Masjid Tegalsari, yang kemudian dalam perkembangannya berubah nama menjadi Madrasah Asasut’ Ta’mir, dan pada akhirnya sampai sekarang dikenal sebagai SD Ta’mirul Islam Surakarta.

Semoga amal jariyah para pendiri dan pejuang, khususnya bidang pendidikan, di lingkup Masjid Tegalsari, dapat lestari ila yaumil qiyamah! []

(Ajie Najmuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar