SEJARAH SD TA’MIRUL
ISLAM SURAKARTA (2)
Mardi Busono, Cikal
Bakal SD Ta’mirul Islam
Masjid Tegalsari
telah berdiri dengan megahnya. Syiar Islam semakin naik di lingkup daerah
Tegalsari dan sekitarnya. Namun, para perintis ini seakan tidak pernah berhenti
untuk senantiasa memikirkan perkembangan umat ke depan.
Salah seorang sesepuh
Masjid Tegalsari, H. Ahmaduhidjan, menjelaskan setelah selesai mendirikan masjid
(1928), kemudian di tahun yang sama kembali muncul gagasan untuk membuat sebuah
madrasah sebagai wahana pendidikan umat.
“Ketika itu, sebelah
selatan masjid masih ada sisa tanah. Kemudian para pendiri masjid, ada yang
usul agar juga dibuat madrasah,” kata Ahmaduhidjan dalam buku tersebut.
Gagasan pendirian
madrasah tersebut juga didorong oleh masih minimnya madrasah/pendidikan yang
ada. Pada zaman penjajahan Belanda, sangat sedikit orang pribumi yang mendapat
kesempatan untuk dapat mengenyam bangku sekolah.
Maka, lembaga
pendidikan menjadi penting, selain untuk mengentaskan kebodohan juga dapat
menjadi sarana syiar Islam di lingkungan tersebut.
“Sebelumnya,
pendidikan di lingkungan Tegalsari sebetulnya sudah ada, tapi sebatas privat.
Mbah Kiai Shofawi mengundang sejumlah kiai untuk datang ke rumahnya dan
mengajari putri-putrinya belajar ilmu agama, dan kemudian juga turut bergabung
anak putri yang lain,” ungkap dia.
Kemudian ditunjuklah
KH R. M. Adnan atau biasa dipanggil Den Kaji Ngadnan, dibantu beberapa orang,
untuk merintis berdirinya sekolah di lingkup Tegalsari, yang bernama “Mardi
Busono”.
Pemilihan nama Mardi
Busono ini bukan tanpa alasan. Pertama, Mardi Busono memiliki makna baik yakni
dari kata mardi berarti menata. Sedangakn busono bermakna pakaian. Busono ini
juga dapat dimaknai agama, karena dalam bahasa Jawa agama bermakna ageming
aji. Dengan kata lain Mardi Busono memiliki filosofi sebagai tempat untuk
menata moral dan agama.
Kedua, dipilihnya
nama dari bahasa Jawa (bukan bahasa Arab) ini, sebagai taktik untuk menghindari
kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ketika itu tengah ketat
dalam mengawasi kaum santri/pesantren, yang diduga banyak terlibat dalam aksi
perjuangan melawan penjajah.
Setelah berdiri,
lambat laun para murid pun berdatangan. Sebagian besar mereka berasal dari
wilayah Tegalsari dan sekitarnya. Dalam keseharian, para murid perempuan
memakai kebaya, ada yang berkerudung namun sebagian tidak.
Sedangkan para guru
pria berpakaian beskap, bawahan batik dan memakai blangkon, namun adapula yang
memakai jas dipadu dengan penutup kepala peci hitam, simbol nasionalisme.
Bangunan sekolah
terletak di selatan masjid (sekarang kantor guru), dan sebagian bertempat di
sekitar jedhing pawudhon (tempat wudhu) yang hanya dibatasi dengan kayu-kayu.
Pada zaman pendudukan Belanda, kelas sempat dipindah ke sebelah utara masjid,
karena bangunan sekolah digunakan sebagai markas Belanda.
Sekolah Mardi Busono
inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pendidikan formal di lingkungan
Masjid Tegalsari, yang kemudian dalam perkembangannya berubah nama menjadi
Madrasah Asasut’ Ta’mir, dan pada akhirnya sampai sekarang dikenal sebagai SD
Ta’mirul Islam Surakarta.
Semoga amal jariyah
para pendiri dan pejuang, khususnya bidang pendidikan, di lingkup Masjid
Tegalsari, dapat lestari ila yaumil qiyamah! []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar