Senin, 12 Agustus 2019

(Buku of the Day) KHR. As’ad Syamsul Arifin: Kesatria Kuda PUTIH


Semangat Juang dalam Kesatria Kuda Putih


Judul                : KHR. As’ad Syamsul Arifin: Kesatria Kuda PUTIH
Penulis             : Ahmad Sufiatur Rahman
Penerbit            : Tinta Medina
Cetakan            : I, 2015
Tebal                : xxxviii, 210 hlm
ISBN                 : 978-602-72129-7-8 
Peresensi          : Achmad Nur, Ketua Lakpesdam NU Situbondo

Buku karya Ahmad Sufiatur Rahman ini merupakan buku sejarah yang diramu dan disajikan dengan menggunakan gaya bahasa sastra yang akrab disebut novel. Oleh karena karya sastra, saya ingin membaca kembali dengan menggunakan pendekatan struktural yang berdasar pada teori strukturalisme A.J. Greimes. 

Dalam suatu cerita terdapat beberapa peran dan pelaku yang menjadi kesatuan tak terpisahkan dalam membentuk makna. Satuan peran atau pelaku dalam sebuah novel oleh Greimes disebut sebagai aktan. 

Untuk melakukan analisis aktan, Greimes membagi enam fungsi aktan yang terdiri dari: sender, objek, penerima. Pembantu, subjek, penentang. Dalam novel kesatria kuda putih, terdiri dari beberapa aktan dan fungsinya.

Aktan 

Pemuda (pengirim) -----> surat (objek) ------>  Kiai As’ad (penerima)


Yusuf (penolong) -----> pemuda (subjek) <------  Emak Yusuf (penghalang) 

Seorang pemuda berusia tiga puluh tahun sebagai pengirim dan sekaligus subjek yang bertugas mentransformasikan sebuah pesan yang tersimpan dalam surat sebagai objek kepada KHR. As’ad Syamsul arifin sebagai penerima atau sasaran utama dalam penyampaian pesan. Guna memperlancar dan mempercepat proses pengiriman pesan, pengirim memilih salah satu santri KHR. As’ad bernama Yusuf untuk menjadi penolong (helper) dalam menyampaikan Surat. 

Usaha Yusuf sebagai wasilah mengalami hambatan atau gangguan dari sikap emaknya yang berusaha mengaburkan dan melemahkan semangat perjuangan dengan melarangnya menjadi pejuang pembela negara.

“Emak tak berniat mengirimmu ke pesantren untuk menjadi tentara.”

Perkatan senada disampaikan oleh tetangganya.

“Hanya orang nekat dan bodoh yang mau ikut perang, Cong.” 

Pelbagai perkataan dan cemooh, tidak membuat Yusuf gelisah, ragu dan patah semangat, melainkan semakin mantap dan yakin bahwa dirinya berjihad di jalan Allah. 

“Doakan saja anakmu ini, Bu, agar berguna bagi agama dan bangsa.” 

Permohonan doa inilah yang semakin membakar semangat juang dan mengawali langkah Yusuf untuk segera menemui KHR. As’ad. Keinginan tersebut terwujud, bertemu dia sembari menyerahkan pipa besi yang berisi surat dengan berkata.

”Belanda di pasir putih.” 

Menerima berita tersebut, Kiai As’ad menegosiasikan beberapa ide untuk melahirkan sebuah strategi dan solusi. Berita tersebut didialogkan bersama Kiai Khudori sebagai pengurus pesantren, pelopor sebagai pejuang yang setia kepada Kiai As’ad, dan Yusuf sebagai pemuda yang haus akan perjuangan. 

Negosiasi tersebut melahirkan kesepakatan bahwa penjajah Belanda harus dilawan dengan kekuatan dan strategi laten yaitu “mege’ kalemmar seta’ lekkoa. Strategi yang dimaksud adalah massa yang banyak, senjata yang cukup, kekebalan dan perlindungan fisik melalui hizb dan asma. Strategi yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual secara kontekstual. 

Berdasar pada aktan di atas, ada dua makna yang bisa diungkap dan diterjemahkan dalam kehidupan saat ini dan yang akan datang. Pertama, makna muatan (actual meaning). Aktan tersebut berisi pesan bahwa seorang intelektual, (santri, pelajar) bukan hanya bertugas menggali pengetahuan untuk dirinya, bukan hanya pembelajaran yang hanya terpusat di lingkup lembaga (sekolah, pondok) melainkan mengabdi dan berjuang untuk bangsa dan negara, belajar membaca realitas kehidupan yang beraneka ragam melalui tindakan dan pengalaman. 

Kedua, makna niatan (intentional meaning). Pesan yang hendak dikata dalam aktan tersebut adalah setiap perjuangan akan menghadapi tantangan dan rintangan. Keberhasilan perjuangan membutuhkan keberanian, kesabaran, kecerdasan, pengorbanan dan melibatkan tuhan dalam berjuang. 

Beberapa pesan penyemangat perjuangan yang terdapat dalam novel, bukanlah pahatan patung patung yang tak bernyawa dan tak bergerak, melainkan sebagai nilai yang harus diperbaharui dan diterapkan sesuai dengan laju zaman bagaikan sebuah air yang mampu menyuburkan tanaman, menyegarkan badan, dan mampu mewujud ke dalam pelbagai jenis minuman. 

Bentuk perjuangan yang relevan dengan konteks zaman yang bercorak modern, berbasis teknologi global adalah melalui tulisan dan kekuatan ekonomi. Hal ini telah lama diprediksi oleh Bung Hatta bahwa “perjuangan masa depan pasca proklamasi akan semakin terjal dan rumit melalui pena dan pasar”. Perjuangan berbasis tulisan inilah yang juga menjadi cita cita Yusuf sebagai pejuang sejati. Merdeka.

Sampai kapan kau sibuk dengan kenikmatan diri. Padahal setiap langkahmu akan ditanya (Imam al Bushairy) []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar