Jumat, 02 Agustus 2019

Menelusuri Karomah Islam Nusantara di Maluku


Menelusuri Karomah Islam Nusantara di Maluku

Di atas bukit di desa Kailolo terdapat dua makam yang dipercaya oleh penduduk sebagai karomah tokoh penyebar Islam pertama di Pulau Haruku. Menurut mereka, dua makam ini merupakan karomah Sayyidina Ali Zainal Abidin cicit Rasulullah dan Sunan Gresik, Maulana Malik Ibrahim. Untuk sampai di atas bukit tersebut seorang peziarah harus menaiki tangga berundak sebanyak sembilan puluh sembilan anak tangga. Selain dua makam ini, di desa Kailolo terdapat banyak makam tua yang berserakan sedemikian rupa. Sebagian makam-makam tua itu ada yang dikenal dan banyak lagi yang tidak dikenal sama sekali.

Secara fisik, kondisi kedua makam ini sangat terawat. Masing-masing berada di dalam ruangan yang sengaja didirikan untuk melindunginya dari terpaan panas dan hujan. Masing-masing memiliki juru kunci yang bertugas menjaganya. Secara ilmiah memerlukan penelitian mendalam mengenai sosok yang berada di dalam makam ini. Apalagi jika secara arkeologis telah disepakati bahwa makam Sunan Gresik berada di Desa Gapura, Kota Gresik, Jawa Timur. Sementara makan Sayyidia Ali Zainal Abidin berada di Baqi’.

Di sinilah uniknya kajian Islam Nusantara yang tidak hanya berkonsentrasi pada sejarah dan arekologi faktual yang bersifat material, tetapi juga melibatkan arkeologi dan sejarah mental yang mengandalkan sastra lisan sebagai wahana mengarungi segala macam pengetahuan, kepercayaan, nilai serta berbagai unsur lain sebagai modal utama membangun kebudayaan lokal yang kemudian diejawantahkan oleh masyarakat dalam praktik kehidupan sehari-hari. 

Salah satu hal penting yang harus dipahami sehubungan dengan masyarakat Islam Kailolo adalah sistem kepercayaan mereka dalam memaknai dan menggunakan kata 'karomah'. Berbeda dari makna karomah pada umumnya yang hanya dipahami sebagai sebuah keistimewaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada para kekasih (wali)-Nya, karomah menurut masyarakat Kailolo memiliki makna lebih khusus. 

Kata karomah digunakan untuk menandai sebuah makam yang muncul secara tiba-tiba sebagai bukti keistimewaan seorang ulama. Makam yang muncul begitu saja tanpa campur tangan seorang pun, tanpa proses penggalian dan peletakan batu nisan. Selain makam asli yang secara fisik menjadi tempat dikebumikannya jenazah, seorang kekasih (wali) Allah, menurut kepercayaan masyarakat Kailolo bisa memiliki lebih dari dua makam karomah di tempat yang berbeda. 

Informasi tentang kemunculan suatu karomah diterima dari Bapak Raja. Bapak Raja adalah kepala desa yang memiliki hak atas kerajaan di desa Kailolo yang diwariskan secara turun temurun. Secara ghaib, Bapak Raja menerima pesan dari seseorang ulama yang telah meninggal entah melalui mimpi atupun firasat akan kemunculan karomahnya di suatu tempat tertentu. Dari Bapak Raja inilah kemudian diketahui profil pemilik karomah tersebut, yang kemudian diyakini oleh masyarakat Kailolo. Fenomena karomah yang muncul baru-baru ini adalah karomah Tuan Guru Abdul Latif (murid Tuan Guru Ali Marasabessy yang meninggal di Makkah) yang terletak di desa Morella.

Keberadaan karomah secara tidak langsung memposisikan Bapak Raja sebagai tokoh kunci yang menjembatani informasi dari alam ghaib dan dunia nyata. Bapak raja menjadi sosok perantara yang menghubungkan masyarakat Kailolo dengan para wali dan ulama. Sebagai mediator, Bapak Raja bisa saja mengusulkan kepada seorang wali tentang letak sebuah karomah, sekira kemunculannya berada di lokasi yang kurang tepat.

Sebagaimana pernah terjadi kemunculan karomah di masjid Kailolo yang dinilai dapat mengurangi fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Maka Bapak Raja dan para tokoh masyarakat segera berkomunikasi secara ghaib dengan pemilik karomah seperlu memindahkan tempat karomah tersebut di lokasi yang lebih tepat.

Dalam konteks inilah kemudian menjadi mafhum keberadaan makam karomah Sayyidina Ali Zainal Abidin dan Maulana Malik Ibrahim. Keberadaan kedua makam tersebut di perbukitan Kailolo tidak bisa dibaca menggunakan kacamata sejarah dan arkeologi yang bersifat materiil, tetapi harus dibaca sebagai potongan puzzle dari gambar besar kebudayaan Kailolo. Tentunya puzzle ini tidak bisa berdiri sendiri, perlu potongan puzzle lain untuk memperjelas gambar kebudayaan masyarakat Kailolo. []

(Ulil Abshar Hadrawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar