Jumat, 02 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Mengenal Macam-macam Barang Ribawi


Mengenal Macam-macam Barang Ribawi

Riba secara bahasa bermakna ziyâdah (tambahan). Adapun pengertian secara syara’, riba didefinisikan sebagai:

عقد على عوض مخصوص غير معلوم التماثل في معيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير في البدلين أو أحدهما

Artinya: “(Riba adalah): suatu akad pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui padanannya menurut timbangan syara’ yang terjadi saat akad berlangsung atau akibat adanya penundaan serah terima barang baik terhadap kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya saja.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 161)

Dalil asal keharaman riba sebelum Ijma’ adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Rasulullah bersabda: 

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهده

Artinya: “Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilkan riba, penulisnya dan orang yang bersaksi atas nama riba .” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 161)

Syekh Zakaria Al-Anshary menjelaskan, ada tiga macam riba antara lain sebagai berikut:

وهو ثلاثة أنواع ربا الفضل وهوا لبيع مع زيادة أحد العوضين على الآخر وربا اليد وهو البيع مع تأخير قبضهما أو قبض أحدهما وربا النساء وهو البيع لأجل

Artinya: “Ada tiga macam riba. Riba al-fadl, yaitu riba yang terjadi akibat transaksi jual beli yang disertai dengan adanya kelebihan pada salah satu dari dua barang yang hendak ditukarkan. Riba al-yadi, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli yang disertai penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya. Riba al-nasa’, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli tempo.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 161!)

Ketiga jenis riba di atas adalah riba yang berasal dari jenis “jual beli” barang ribawi. Apa saja yang dimaksud dengan barang ribawi itu? Simak ulasan dari kitab Manhaju al-Thulab, berikut:

إنما يحرم في نقد وماقصد لطعم تقوتا أوتفكها أوتداويا 

Artinya: “Sesungguhnya riba diharamkan dalam emas, perak (nuqud), dan bahan pangan yang berfaedah sebagai sumber kekuatan, lauk pauk dan obat-obatan.” (Syekh Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawy, Manhaju al-Thulâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt.: 1/161)

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa riba dilarang dalam jual beli barang yang terdiri atas emas, perak, dan bahan makanan. Oleh karena itu, emas dan perak (nuqud) serta bahan makanan dikenal dengan istilah barang ribawi, yaitu barang yang dapat mengakibatkan terjadinya akad riba bila terjadi kelebihan dalam salah satu pertukarannya (jual belinya). 

Nuqud adalah barang yang terdiri atas emas (dzahab) dan perak (fidlah). Kadang kala ia dicetak dalam bentuk mata uang logam (fulûs), dan kadang pula dicetak dalam rupa perhiasan (huliyyun) atau emas batangan (tibrun). Masing-masing rupa emas dan perak ini, adalah sama-sama merupakan barang ribawi. Oleh karena itu berlaku akad ribawi bila bertransaksi dengannya. 

Sifat ribawi mata uang logam (fulûs) ini ditentukan oleh sifat fisiknya sebagai barang berharga (jauhariyatu al-atsmân). Untuk mengetahui sifat fisik mata uang ini, kita bisa membuat sebuah perumpamaan bahwa suatu ketika kita melebur kembali uang tersebut sehingga kembali ke bentuk dasarnya berupa lantakan emas atau perak yang menghilangkan sifat alat tukarnya sebagai mata uang. Hasilnya, meskipun uang tersebut telah kehilangan nilai tukar, namun ia tetap berharga disebabkan ia merupakan barang berharga (atsman). Inilah mengapa kemudian fulus tetap dimasukkan sebagai barang ribawi. Kelak kajian akan berbeda bila sudah masuk pembahasan wilayah fiqih kontemporer yang mana fulus tidak lagi mengandung simpanan berupa emas dan perak sehingga ia murni alat tukar. 

Selain emas dan perak, barang ribawi berikutnya adalah bahan pangan. Maksud dari bahan pangan ini adalah: 

بأن يكون أظهر مقاصده الطعم وإن لم يؤكل نادرا كالبلوط

Artinya: “Bahan yang sebagian besar dimaksudkan untuk tujuan pangan, meskipun jarang dikonsumsi, contoh: buah-buahan.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 161)

Dalam teks hadits disebutkan bahwa pada dasarnya bahan pangan yang masuk kelompok ribawi ada tiga, yaitu: 

1. Gandum: baik gandum merah (burr) maupun gandum putih (sya’îr), 

Bur dan sya’îr, keduanya dianggap mewakili fungsi sebagai sumber kekuatan pokok (taqawwut). Dari keduanya kemudian muncul penyamaan hukum terhadap beberapa jenis bahan makanan lain, seperti beras dan jagung dan kacang-kacangan (al-fûl).

2. Kurma (al-tamr). 

Kurma ini mewakili kelompok lauk-pauk (taaddum), camilan (tafakkuh), dan manisan (tahalla) karena ia bukan termasuk makanan pokok. Ia hanya berperan sebagai sumber makanan sekunder. Dari kurma ini selanjutnya muncul penyamaan hukum terhadap anggur (zabib) dan buah tiin dan tebu. 

3. Garam (al-milhu). 

Fungsi dari garam ini pada dasarnya untuk membaguskan (li al-ishlaahi). Dari peran membaguskan ini, maka ditarik persamaan hukum untuk bahan-bahan yang berperan sebagai obat-obatan (tadâwa), seperti za’farân dan jahe-jahean. 

Maksud dari kelompok pangan ini adalah kelompok pangan yang dikonsumsi oleh anak adam, meskipun suatu saat ada kesamaan dengan bahan pangan hewan, maka ia masuk barang ribawi, kendati manusia hanya sedikit menggunakannya. Adapun untuk bahan pangan yang secara khusus dikonsumsi oleh hewan, maka tidak masuk kategori barang ribawi. 

Apabila barang ribawi tersebut di atas diniatkan untuk diperjualbelikan dengan sesama jenisnya, maka ada syarat yang harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut: 

1. Harus hulul, yaitu barang dan harganya harus diserahkan secara kontan serta tidak boleh diutang. Bilamana terjadi penundaan dalam penyerahannya, maka ia bisa masuk kategori transaksi riba. 

2. Taqabudl, yaitu barang dan harganya harus diserahterimakan di tempat transaksi. Di luar majelis transaksi, maka ia juga bisa masuk kategori riba. 

3. Tamatsul, yaitu barang harus sama jenis ukuran dan timbangannya. Bila barang diukur dengan liter, maka keduanya harus sama-sama dengan liter. Bila barang ditimbang dengan kilogram, maka keduanya juga harus ditimbang dengan kilogram. Perbedaan ukuran dan timbangan dapat menarik kepada transaksi riba. 

Adapun bila barang ribawi di atas, diniatkan untuk diperjualbelikan tidak dengan sesama jenisnya, maka syarat yang harus dipenuhi, adalah harus kontan (hulul) dan harus saling menerima (taqabud). 

Penting sebagai catatan bahwa kesamaan ukuran dan timbangan antara kedua barang dan harga barang-barang ribawi, adalah harus ditentukan dengan keadaan bahwa barang tersebut telah sampai kepada kondisi sempurna. Gambaran dari maksud sempurna ini misalnya adalah untuk ukuran padi, ia dianggap sempurna sebagai ukuran sesungguhnya, manakala telah mencapai usia buah padi yang sempurna serta menguning. Ia belum disebut sempurna manakala masih berwarna hijau atau wujud buahnya masih berisi air saripati makanan.

Begitu pula dengan jagung, ia disebut sempurna manakala telah mencapai usia tua, dengan ciri tabun tandan jagungnya berwarna putih. Ia belum disebut sempurna manakala tabun jagung masih berwarna hijau dan biji jagung masih berwarna putih atau kuning. Dengan demikian, maka tidak sah menjual padi dalam kondisi masih berbentuk bulir hijau ditukar dengan padi lainnya yang juga masih berbulir hijau, atau menjual jagung yang masih hijau ditukar dengan jagung lainnya yang juga masih hijau kecuali bila padi tersebut sudah menguning dan biji jagung sudah berwarna orange. Namun, ada pengecualian dari qaidah ini untuk sistem jual beli araaya, yaitu jual beli buah yang masih dipohon dan masih hijau serta belum menemui ukuran sempurna masaknya disebabkan banyak orang yang menyukai kondisi muda ini untuk dimakan. Adapun harganya, menyesuaikan dengan kondisi matang. Contoh gampangnya adalah jual beli tebasan jagung manis di ladang petani, yang insyaallah kelak akan kita kaji bersama dalam forum ini. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar