Mengenal Macam-macam Barang
Ribawi
Riba secara bahasa bermakna ziyâdah (tambahan).
Adapun pengertian secara syara’, riba didefinisikan sebagai:
عقد
على عوض مخصوص غير معلوم التماثل في معيار الشرع حالة العقد أو مع تأخير في
البدلين أو أحدهما
Artinya: “(Riba adalah): suatu akad
pertukaran barang tertentu yang tidak diketahui padanannya menurut timbangan
syara’ yang terjadi saat akad berlangsung atau akibat adanya penundaan serah
terima barang baik terhadap kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya
saja.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi Manhaji
al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 161)
Dalil asal keharaman riba sebelum Ijma’
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Rasulullah ﷺ bersabda:
لعن
رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهده
Artinya: “Rasulullah ﷺ melaknat orang yang
memakan riba, orang yang mewakilkan riba, penulisnya dan orang yang bersaksi
atas nama riba .” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi
Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal.
161)
Syekh Zakaria Al-Anshary menjelaskan, ada
tiga macam riba antara lain sebagai berikut:
وهو
ثلاثة أنواع ربا الفضل وهوا لبيع مع زيادة أحد العوضين على الآخر وربا اليد وهو
البيع مع تأخير قبضهما أو قبض أحدهما وربا النساء وهو البيع لأجل
Artinya: “Ada tiga macam riba. Riba
al-fadl, yaitu riba yang terjadi akibat transaksi jual beli yang disertai
dengan adanya kelebihan pada salah satu dari dua barang yang hendak ditukarkan.
Riba al-yadi, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli yang disertai
penundaan serah terima kedua barang yang ditukarkan, atau penundaan terhadap
penerimaan salah satunya. Riba al-nasa’, yaitu riba yang terjadi akibat
jual beli tempo.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi
Syarhi Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal.
161!)
Ketiga jenis riba di atas adalah riba yang
berasal dari jenis “jual beli” barang ribawi. Apa saja yang dimaksud dengan
barang ribawi itu? Simak ulasan dari kitab Manhaju al-Thulab, berikut:
إنما
يحرم في نقد وماقصد لطعم تقوتا أوتفكها أوتداويا
Artinya: “Sesungguhnya riba diharamkan dalam
emas, perak (nuqud), dan bahan pangan yang berfaedah sebagai sumber kekuatan,
lauk pauk dan obat-obatan.” (Syekh Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf
al-Nawawy, Manhaju al-Thulâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt.: 1/161)
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa riba
dilarang dalam jual beli barang yang terdiri atas emas, perak, dan bahan
makanan. Oleh karena itu, emas dan perak (nuqud) serta bahan makanan
dikenal dengan istilah barang ribawi, yaitu barang yang dapat mengakibatkan
terjadinya akad riba bila terjadi kelebihan dalam salah satu pertukarannya
(jual belinya).
Nuqud adalah barang yang
terdiri atas emas (dzahab) dan perak (fidlah). Kadang kala ia
dicetak dalam bentuk mata uang logam (fulûs), dan kadang pula dicetak
dalam rupa perhiasan (huliyyun) atau emas batangan (tibrun).
Masing-masing rupa emas dan perak ini, adalah sama-sama merupakan barang
ribawi. Oleh karena itu berlaku akad ribawi bila bertransaksi dengannya.
Sifat ribawi mata uang logam (fulûs)
ini ditentukan oleh sifat fisiknya sebagai barang berharga (jauhariyatu
al-atsmân). Untuk mengetahui sifat fisik mata uang ini, kita bisa membuat
sebuah perumpamaan bahwa suatu ketika kita melebur kembali uang tersebut
sehingga kembali ke bentuk dasarnya berupa lantakan emas atau perak yang
menghilangkan sifat alat tukarnya sebagai mata uang. Hasilnya, meskipun uang
tersebut telah kehilangan nilai tukar, namun ia tetap berharga disebabkan ia
merupakan barang berharga (atsman). Inilah mengapa kemudian fulus tetap
dimasukkan sebagai barang ribawi. Kelak kajian akan berbeda bila sudah masuk
pembahasan wilayah fiqih kontemporer yang mana fulus tidak lagi mengandung
simpanan berupa emas dan perak sehingga ia murni alat tukar.
Selain emas dan perak, barang ribawi
berikutnya adalah bahan pangan. Maksud dari bahan pangan ini adalah:
بأن
يكون أظهر مقاصده الطعم وإن لم يؤكل نادرا كالبلوط
Artinya: “Bahan yang sebagian besar
dimaksudkan untuk tujuan pangan, meskipun jarang dikonsumsi, contoh:
buah-buahan.” (Syekh Abu Yahya Zakaria Al-Anshary, Fathul Wahâb bi Syarhi
Manhaji al-Thullâb, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt., Juz 1 Hal. 161)
Dalam teks hadits disebutkan bahwa pada
dasarnya bahan pangan yang masuk kelompok ribawi ada tiga, yaitu:
1. Gandum: baik gandum merah (burr)
maupun gandum putih (sya’îr),
Bur dan sya’îr, keduanya dianggap
mewakili fungsi sebagai sumber kekuatan pokok (taqawwut). Dari keduanya
kemudian muncul penyamaan hukum terhadap beberapa jenis bahan makanan lain,
seperti beras dan jagung dan kacang-kacangan (al-fûl).
2. Kurma (al-tamr).
Kurma ini mewakili kelompok lauk-pauk
(taaddum), camilan (tafakkuh), dan manisan (tahalla) karena ia
bukan termasuk makanan pokok. Ia hanya berperan sebagai sumber makanan
sekunder. Dari kurma ini selanjutnya muncul penyamaan hukum terhadap anggur (zabib)
dan buah tiin dan tebu.
3. Garam (al-milhu).
Fungsi dari garam ini pada dasarnya untuk
membaguskan (li al-ishlaahi). Dari peran membaguskan ini, maka ditarik
persamaan hukum untuk bahan-bahan yang berperan sebagai obat-obatan (tadâwa),
seperti za’farân dan jahe-jahean.
Maksud dari kelompok pangan ini adalah
kelompok pangan yang dikonsumsi oleh anak adam, meskipun suatu saat ada
kesamaan dengan bahan pangan hewan, maka ia masuk barang ribawi, kendati
manusia hanya sedikit menggunakannya. Adapun untuk bahan pangan yang secara
khusus dikonsumsi oleh hewan, maka tidak masuk kategori barang ribawi.
Apabila barang ribawi tersebut di atas
diniatkan untuk diperjualbelikan dengan sesama jenisnya, maka ada syarat yang
harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut:
1. Harus hulul, yaitu barang dan harganya
harus diserahkan secara kontan serta tidak boleh diutang. Bilamana terjadi
penundaan dalam penyerahannya, maka ia bisa masuk kategori transaksi
riba.
2. Taqabudl, yaitu barang dan harganya harus
diserahterimakan di tempat transaksi. Di luar majelis transaksi, maka ia juga
bisa masuk kategori riba.
3. Tamatsul, yaitu barang harus sama jenis
ukuran dan timbangannya. Bila barang diukur dengan liter, maka keduanya harus
sama-sama dengan liter. Bila barang ditimbang dengan kilogram, maka keduanya
juga harus ditimbang dengan kilogram. Perbedaan ukuran dan timbangan dapat
menarik kepada transaksi riba.
Adapun bila barang ribawi di atas, diniatkan
untuk diperjualbelikan tidak dengan sesama jenisnya, maka syarat yang harus
dipenuhi, adalah harus kontan (hulul) dan harus saling menerima (taqabud).
Penting sebagai catatan bahwa kesamaan ukuran
dan timbangan antara kedua barang dan harga barang-barang ribawi, adalah harus
ditentukan dengan keadaan bahwa barang tersebut telah sampai kepada kondisi
sempurna. Gambaran dari maksud sempurna ini misalnya adalah untuk ukuran padi,
ia dianggap sempurna sebagai ukuran sesungguhnya, manakala telah mencapai usia
buah padi yang sempurna serta menguning. Ia belum disebut sempurna manakala
masih berwarna hijau atau wujud buahnya masih berisi air saripati makanan.
Begitu pula dengan jagung, ia disebut
sempurna manakala telah mencapai usia tua, dengan ciri tabun tandan jagungnya
berwarna putih. Ia belum disebut sempurna manakala tabun jagung masih berwarna
hijau dan biji jagung masih berwarna putih atau kuning. Dengan demikian, maka
tidak sah menjual padi dalam kondisi masih berbentuk bulir hijau ditukar dengan
padi lainnya yang juga masih berbulir hijau, atau menjual jagung yang masih
hijau ditukar dengan jagung lainnya yang juga masih hijau kecuali bila padi
tersebut sudah menguning dan biji jagung sudah berwarna orange. Namun, ada
pengecualian dari qaidah ini untuk sistem jual beli araaya, yaitu jual beli
buah yang masih dipohon dan masih hijau serta belum menemui ukuran sempurna
masaknya disebabkan banyak orang yang menyukai kondisi muda ini untuk dimakan.
Adapun harganya, menyesuaikan dengan kondisi matang. Contoh gampangnya adalah
jual beli tebasan jagung manis di ladang petani, yang insyaallah kelak akan
kita kaji bersama dalam forum ini. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar