Tiga Jenis
Praktik Riba dalam Jual Beli
Semua transaksi jual
emas dan perak dan transaksi jual beli bahan makanan, apa pun jenisnya,
merupakan transaksi barang ribawi. Baik jual beli bahan makanan pokok, seperti
beras, jagung, ketela pohon, maupun barang konsumsi tambahan/pelengkap, seperti
buah-buahan, susu, daging ikan dan lain sebagainya, bahkan air dan krupuk,
hukum riba dapat berlaku kepadanya.
Hal ini berbeda bila
materi bahan jual belinya adalah berupa bahan bangunan, seperti semen, paku,
dan lain-lain. Mengapa hanya dua emas dan perak serta bahan makanan yang masuk
kategori barang ribawi? Tidak lain adalah disebabkan karena keberadaan emas dan
perak saat itu menjadi alat transaksi untuk semua barang. Sebagai alat
transaksi, maka ia menjadi alat ukur dan menjadi neraca nilai bagi barang.
Posisi emas dan perak
saat ini digantikan dengan uang tunai. Oleh karena itu, transaksi mata uang
dalam kurs, sejatinya juga masuk kategori transaksi ribawi disebabkan peran
pengganti emas dan perak tersebut. Seandainya suatu saat ada alat transaksi
lain yang menggantikan peran uang emas dan perak, atau mata uang,
misalnya dalam bentuk mata uang virtual, bitcoin atau sejenisnya, maka ia juga
bisa digolongkan sebagai transaksi barang ribawi karena peran yang dimilikinya
sebagai alat tukar dan alat ukur nilai barang. Dan sebagai alat transaksi
barang ribawi, maka ia bisa terkenal pasal riba apabila tidak memperhatikan
berbagai pedoman yang sudah diatur oleh syara’. Semua macam transaksi riba,
hukumnya adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’. Dengan
demikian, penting kiranya kita mengenali transaksi riba dalam jual beli.
Dalam praktik jual
beli, ada tiga praktik transaksi riba yang terkenal, yaitu riba al-fadl, riba
al-yad dan riba al-nasa’. Karena butuh ruang khusus untuk membahas riba al-nasa’
(riba yang terjadi akibat jual beli tempo), dalam kesempatan ini hanya akan
dijelaskan dua riba jual beli, yaitu riba al-fadl dan riba al-yad.
Pertama, riba
al-fadl, yaitu: transaksi jual beli harta ribawi (emas, perak dan bahan
makanan) yang disertai dengan sesama jenisnya, dan disertai adanya melebihkan
di salah satu barang yang dipertukarkan. Karena adanya unsur melebihkan
(fudlul) ini maka riba ini diberi nama sebagai riba al-fadl (riba kelebihan).
Suatu misal Bu Eko
memiliki beras bagus seberat 1 kilogram. Bu Hasan memiliki beras jelek seberat
2 kilogram. Bu Eko bermaksud memiliki beras kualitas jelek milik Bu Hasan
tersebut untuk campuran pakan ternaknya. Sementara itu Bu Hasan membutuhkan
beras bagus untuk konsumsi keluarganya. Akhirnya, terjadilah transaksi keduanya
untuk saling menukarkan beras tersebut. Bu Eko membawa beras bagus seberat 1
kilogram dan Bu Hasan membawa beras kualitas buruk seberat 2 kilogram.
Transaksi terjadi dengan penukaran beras 1 kg ditukar dengan beras 2 kg.
Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam contoh ini adalah termasuk transaksi riba, disebabkan ada
kelebihan timbangan dari beras miliknya Bu Hasan, dengan selisih 1 kilogram.
Pasal yang dilanggar dalam hal ini adalah karena ketiadaan sama timbangannya,
sebagaimana syarat sah transaksi barang ribawi, yaitu harus kontan, saling
menyerahkan, dan sama timbangannya.
Sebagai solusinya,
agar terhindar dari transaksi riba, yaitu seharusnya Bu Eko membeli beras yang
dimiliki Bu Hasan dengan tunai. Demikian pula, Bu Hasan membeli berasnya Bu Eko
dengan tunai. Selanjutnya, dari uang yang diterima, dibelikan beras yang
dikehendaki oleh masing-masing. Uang Bu Eko dibelikan beras milik Bu Hasan.
Demikian pula, uang yang didapat Bu Hasan dibelikan beras milik Bu Eko.
Kedua, transaksi riba
al-yad, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli barang ribawi (emas, perak dan
bahan makanan) yang disertai penundaan serah terima kedua barang yang
ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah satunya. Karena ada unsur
penundaan inilah, maka riba ini disebut sebagai riba al-yad (riba kontan).
Demikian logikanya:
Emas, perak dan bahan makanan merupakan bahan yang cenderung mengalami
perubahan (fluktuasi) harga. Harga emas saat ini bisa jadi berbeda dengan harga
emas untuk esok hari. Harga cabe hari ini juga memungkinkan berbeda dengan
harga cabe esok hari. Karena kondisi inilah, maka diperlukan syarat mutlak
“penetapan harga” yang disepakati oleh kedua belah pihak apabila terjadi
transaksi barang ribawi.
Ambil contoh,
misalnya transaksi jual beli barang ribawi antara Pak Ahmad (pedagang jagung)
dengan Pak Hasan (pedagang beras). Pak Ahmad hendak membeli beras milik Pak
Hasan dengan standart 1 kg beras untuk 4 kg jagung. Standart ini dibangun,
karena kebetulan harga beras saat itu adalah 10 ribu rupiah per kilogram.
Sementara jagung memiliki harga 2.500 rupiah per kilogram. Keduanya sudah
sama-sama sepakat. Setelah Pak Ahmad menerima beras milik Pak Ahmad, ternyata
Pak Ahmad tidak segera menyerahkan jagung yang dimilikinya kepada Pak Hasan di majelis
akad dan saat itu juga. Transaksi inilah yang disebut sebagai riba al-yad
disebabkan ada kemungkinan harga 1 kg beras di kemudian hari berbeda dengan
harga 4 kg jagung. Bahkan adakalanya harga 1 kg beras sama dengan harga 5 kg
jagung.
Muncul pertanyaan,
bagaimana caranya akad transaksi tukar-menukar barang seperti di atas agar
hukumnya tetap boleh?
Ada beberapa solusi
yang ditawarkan dalam kesempatan ini, antara lain:
1. Harus ada
ketetapan harga barang untuk masing-masing pihak yang berakad. Misalnya: harga
beras dihitung 10 ribu rupiah per kilogram dan harga jagung dihitung 2.500
rupiah per kilogram.
2. Setelah ditetapkan
harga masing-masing barang, selanjutnya Pak Ahmad membeli beras milik Pak Hasan
dengan standart harga yang ditetapkan tersebut. Misalnya, 1 juta rupiah untuk 1
kuintal beras. Demikian juga dengan Pak Hasan, membeli jagung milik Pak Ahmad
dengan ketetapan harga yang sudah disepakati, yaitu 1 juta rupiah untuk 4
kuintal jagung.
3. Dalam kondisi
sudah ada ketetapan harga sebagaimana dimaksud di atas, maka boleh dilakukan
penundaan penyerahan barang salah satu yang hendak dipertukarkan oleh
masing-masing pihak disebabkan ada nilai uang yang menjembatani di antara
keduanya.
4. Bila terjadi
penundaan penyerahan barang, maka pada dasarnya salah satu pihak yang
bertransaksi adalah sama dengan sedang hutang uang, dan bukan hutang komoditas.
Oleh karena itu pendapat yang melemahkan akan kebolehan dari transaksi ini
adalah unsur taqabudl-nya, yaitu saling menerima barang saat transaksi di
majelis transaksi.
5. Bila ternyata
harga beras atau harga jagung di satu bulan kemudian mengalami kenaikan, maka
akad dikembalikan pada asalnya, yaitu bahwa pada dasarnya akad tersebut bukan
akad jual beli. Keberadaan uang yang menjadi alat ukur nilai komoditas berubah
haluan menjadi uang yang dihutang. Dengan demikian, pihak yang menunda dihukumi
sebagai pihak yang berhutang uang sebesar 1 juta rupiah, dan bukan hutang
komoditas beras seberat 1 kuintal atau hutang jagung seberat 4 kuintal.
6. Karena adanya
unsur taqabudl yang melemahkan kekuatan dari pendapat ini, maka diperlukan
unsur saling ridha/saling menyadari di antara kedua pihak yang saling berakad,
bahwa akad terjadi dengan standart uang sehingga yang wajib dikembalikan adalah
dalam bentuk uang.
Lemahnya pendapat
ini, kadang disebabkan timbul rasa tidak enak di dalam hati kedua orang yang
berakad. Misalnya, timbul pemikiran dari Pak Ahmad: “1 bulan yang lalu, harga
beras masih 10 ribu rupiah. Uang 1 juta yang aku serahkan, saat itu bisa
mendapatkan beras 1 kuintal. Namun, karena saat ini beras naik menjadi 10.500
rupiah per kilogram, uang sebesar 1 juta rupiah itu tidak lagi mendapat 1
kuintal beras. Ia hanya mendapatkan 95,2 kg beras.”
Timbulnya rasa ini
merupakan hal yang manusiawi dan bisa terjadi kapan saja dan bisa menyasar
siapa saja yang melakukan transaksi ribawi sebagaimana di atas. Itulah
sebabnya, agar muncul kehati-hatian, maka ditetapkan dalam teks fiqih bahwa
riba al yad, merupakan riba jual beli barang ribawi, akibat “pertukaran” barang
sejenis atau tidak sejenis, namun salah satu dari kedua belah pihak ada yang
melakukan penundaan penyerahan barang.” Frasa “pertukaran” ini merupakan batas
fiqih yang harus dipatuhi. “Pertukaran antara jagung dengan beras”, akan sangat
berbeda pengertiannya dengan “menjual jagung, kemudian uang yang didapat
digunakan untuk membeli beras.” Untuk kasus terakhir, ada uang yang menjadi
timbangan harga di antara komoditas yang ditawarkan oleh dua orang yang
bertransaksi. Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, P.
Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar