Jumat, 16 Agustus 2019

(Hikmah of the Day) Gus Baha’: Kekuatan Militer atau Kekuatan Masyarakat?


Gus Baha’: Kekuatan Militer atau Kekuatan Masyarakat?

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberikan kisah-kisah nabi terdahulu supaya Nabi Muhammad mendapatkan pelajaran tentang bagaimana bersikap dan mempelajari sejarah. Dengan begitu, jalur pemikiran dan sikap Nabi Muhammad serta nabi-nabi yang lain selalu sama. Kesamaan metodologi berpikir yang diajarkan Al-Qur’an dengan mengisahkan nabi terdahulu kepada Nabi Muhammad merupakan salah satu bentuk pertalian sanad yang menyambung. Nabi satu dengan nabi yang lain menyambung secara gagasan dan sikap. 

KH Bahaudin Nur Salim, asal Rembang, Jawa Tengah, atau yang akrab disapa Gus Baha’ memaparkan sebuah bukti melalui contoh sikap kiai alumni-alumni pesantren. Sejak ia jadi santri sudah mendapat contoh perilaku kiai di atasnya. Bagaimana kiai tersebut menyikapi satu masalah, akan ditiru santrinya bahkan sampai santrinya tersebut menjadi kiai.

Sebagai contoh, seorang kiai pada saat melihat ada orang mabuk di pinggir jalan. Sekeras apa pun pandangan kiai NU, jika melihat orang mabuk di pinggir jalan, kiainya hanya membaca istighfar atau mendoakan, bukan bereaksi dengan cara memukul orang yang sedang mabuk. Tradisi tersebut kemudian menjadi turun-menurun kepada santri, santrinya kepada santri di bawahnya. Santrinya kelak saat jadi kiai, akan meniru sikap kiainya. Inilah yang disebut dengan pertalian sanad. 

Dahulu saat zaman Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, perbedaan identitas antara “orang hijau” (Islam taat) dan “orang abangan” sangat tampak, namun tidak ada catatan sejarah Mbah Hasyim memukul atau menyerang orang mabuk. Kita ditradisikan oleh guru-guru kita dalam memberantas kemungkaran itu dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Kita lebih memilih tradisi doa:

اللهم اهد قومي فانهم لا يعلمون

Artinya: “Ya Allah, semoga Engkau beri petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak tahu.” 

Kiai-kiai bijak itu, sebagai orang alim, bukan tidak mengerti bahwa kemungkaran harus diberantas. Namun, menurut sanad perilaku memang metodologinya tidak dengan cara keras. Mungkin ini berbeda dari kebanyakan orang Arab. Saat melihat kemungkaran, mereka bereaksi dengan cara keras seketika. Jangankan kepada peminum, kepada sesama Muslim yang tidak sealiran saja bisa saling bunuh. Yang terjadi, orang Sunni menghalalkan darahnya orang Syi’ah, begitu pula sebaliknya. Kitab-kitab fiqih klasik pesantren justru banyak mengomentari tentang kehalalan darah orang yang berbeda aliran, tapi di Indonesia tidak dijalankan sebab tidak mempunyai tradisi atau sanad menjalankan keterangan tersebut.

Gus Baha’ bercerita, “Kami kalau sedang bertahajud, mengirim fatihah kepada para wali seperti Wali Songo dan lain sebagainya. Kami ingat bahwa Islam mempunyai sumber utama Al-Qur’an dan hadits. Namun kenyataan di lapangan tetap berimprovisasi atau berkembang sesuai karakter siapa yang mendakwahkan Islam di satu tempat di mana Islam itu berkembang.” 

Di India pernah terjadi bentrok besar-besaran pada masa Abu al-A’la al-Maududi di bawah kepemimpinan Muhammad Iqbal sehingga India pisah dengan Pakistan dan selanjutnya Pakistan menjadi negara Islam. Hal ini berawal karena konseptor negara Pakistan adalah orang-orang yang tidak setuju dengan negara sekuler yang memisahkan diri dari India. Di kemudian hari, akhirnya memang Pakistan menjadi negara Islam. Islam menjadi ideologi negara.

Di negara-negara Timur Tengah, formalisasi Islam ke dalam negara lebih banyak menimbulkan kekacauan. Banyak orang Iran yang berideologi Syiah menganggap darah orang Sunni halal. Begitu pula sebaliknya di Irak. Irak di bawah kepemimpinan Sadam Husain, banyak orang Syiah dan suku Kurdi dibantai. Era Saddam kalah, kelompoknya pun menjadi target sasaran balik. Arab Saudi saat ingin menjadikan Wahabi sebagai ideologi negara, secara besar-besaran mereka membuang orang Sunni. Begitu pula yang terjadi di Sudan, Khortum, Dalfur, hingga Sayyid Qutub sebagai tokoh muslim populer, dan meninggalnya bagaimana saja tidak jelas, padahal mereka ini Islam semua. Berbeda mazhab bisa menjadikan saling bunuh. Masyarakat Indonesia paling tinggi kelasnya, hanya berhenti sampai pada level polemik soal pendapat saja, tidak lebih.

Kita harus bersyukur karena mempunyai tradisi konflik terbaik di dunia. Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) di Indonesia harusnya berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada para ulama kita yang tidak sampai mentradisikan perang. Kalau kita lihat peran Ikhwanul Muslimin di Mesir, mereka bisa memicu kekacauan yang luar biasa. Sebagai orang pesantren, kita tahu banyak sejarah perselisihan pendapat, misalnya antara Kiai Imam dengan Kiai Zubair, Kiai Maemun dengan kiai lain. Walaupun mereka berbeda pandangan, paling keras hanya sampai pada level adu statemen dengan tamu-tamu yang datang saja, tidak sampai ada pertumpahan darah. Itulah kenapa kita menjadi punya “tradisi konflik” terbaik di dunia. 

Kita lihat bagaimana orang NU marah pada saat Gus Dur dilengserkan dari presiden. Tensi marah tertingginya orang NU, tidak sampai menumpahkan darah. Dalam forum seminar mereka sudah duduk bersama lagi dengan orang-orang yang dulu menggulingkan Gus Dur. Kita mendapati satu sejarah bagaimana Ahmad Hasan berbeda dengan tokoh-tokoh NU, bagaimana pula bedanya Gus Dur dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin tentang asas tunggal Pancasila. Kita saksikan mereka menyelesaikan masalah dengan beradab dibanding cara-cara penyelesaian konflik seperti di Irak. 

Dengan menjalin persaudaraan di bawah payung Islam, orang-orang akan menjadi damai hatinya. Dalam Al-Qur’an disebutkan: 

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا 

Artinya: “Dan ingatlah kalian atas nikmat Allah yang atas kalian saat kalian bermusuhan kemudian Allah mempersatukan hatimu sehingga kalian menjadi bersaudara.” (QS Ali Imran: 103) 

Ayat di atas menunjukkan, atas barakahnya Islam, suku Auz dan Khazraj yang semula bermusuhan bisa berubah menjadi bersaudara. Berbeda jika umat Islam masih saja perang atau konflik dalam tubuhnya sendiri, akan mudah dicampurtangani oleh pihak luar, contohnya adalah Perang Irak. Di sana orang Muslim Sunni dan Syiah bertempur, akhirnya Amerika, Rusia ikut campur tangan. 

Gus Baha’ kembali melanjutkan, “Di Indonesia juga muncul kelompok-kelompok kecil yang sangat banyak. Namun seumpama Allah bertanya kepada saya, saya jawab bahwa saya memilih NU. Bukan karena saya oportunis. Namun, saya memilih yang paling besar ini supaya jika ada konflik, pemetaannya mudah. Apabila setiap orang yang merasa benar sendiri kemudian membuat kelompok sendiri-sendiri, maka tidak akan ada selesainya.” Oleh karena itu, Rasulullah bersabda: 

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

Artinya: “Kamu harus selalu bersama kelompok besarnya orang-orang Muslim dan imamnya.” (Muttafaq 'alaih) 

Setiap orang perlu berkelompok dengan mainstream. Melawan arus utama bisa berakibat konflik atau tidak bersaudara (ikhwânâ). Mengapa Iran tidak mudah diintervensi atau diserang Amerika? Karena mereka cenderung seragam (homogen), kompak, dengan basis identitas dominan Syiah. Bagi musuh, melawan sebuah kekompakan itu merupakan perkara sulit. Arab Saudi, walaupun awalnya bentrok dengan Sunni, tidak mudah diadu pihak luar karena mereka seragam dengan Wahabi sebagai identitas Islamnya. Terlepas aqidah mereka apa. Kenapa Indonesia itu aman? Karena ada NU dan Muhammadiyah yang masih bersatu. Platform besar seperti ini lebih mudah kompak daripada lahir faksi-faksi kecil baru yang sulit bersatunya.

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kekuatan negara tidak disebabkan alat perangnya yang canggih, tapi masyarakatnya yang tidak bentrok (kompak). Seumpama Jawa yang mayoritas Muslim ingin mendirikan negara Islam, orang NTT akan tersinggung, dan wajar jika mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia. Begitu pula Papua, Maluku, Ambon, dan lain sebagainya. Apakah militer bisa mengatasi hal tersebut? Tidak bisa. 

Dengan penjelasan Gus Baha’ di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa persatuan merupakan hal yang sangat penting sehingga siapa saja yang ingin mengoyak Indonesia akan dapat dikalahkan dengan persatuan masyarakatnya. []

(Ahmad Mundzir) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar