Gus Baha’: Kekuatan Militer atau Kekuatan
Masyarakat?
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam
diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberikan kisah-kisah nabi
terdahulu supaya Nabi Muhammad mendapatkan pelajaran tentang bagaimana bersikap
dan mempelajari sejarah. Dengan begitu, jalur pemikiran dan sikap Nabi Muhammad
serta nabi-nabi yang lain selalu sama. Kesamaan metodologi berpikir yang
diajarkan Al-Qur’an dengan mengisahkan nabi terdahulu kepada Nabi Muhammad
merupakan salah satu bentuk pertalian sanad yang menyambung. Nabi satu dengan
nabi yang lain menyambung secara gagasan dan sikap.
KH Bahaudin Nur Salim, asal Rembang, Jawa
Tengah, atau yang akrab disapa Gus Baha’ memaparkan sebuah bukti melalui contoh
sikap kiai alumni-alumni pesantren. Sejak ia jadi santri sudah mendapat contoh
perilaku kiai di atasnya. Bagaimana kiai tersebut menyikapi satu masalah, akan
ditiru santrinya bahkan sampai santrinya tersebut menjadi kiai.
Sebagai contoh, seorang kiai pada saat
melihat ada orang mabuk di pinggir jalan. Sekeras apa pun pandangan kiai NU,
jika melihat orang mabuk di pinggir jalan, kiainya hanya membaca istighfar atau
mendoakan, bukan bereaksi dengan cara memukul orang yang sedang mabuk. Tradisi
tersebut kemudian menjadi turun-menurun kepada santri, santrinya kepada santri
di bawahnya. Santrinya kelak saat jadi kiai, akan meniru sikap kiainya. Inilah
yang disebut dengan pertalian sanad.
Dahulu saat zaman Hadratussyekh Muhammad
Hasyim Asy’ari, perbedaan identitas antara “orang hijau” (Islam taat) dan
“orang abangan” sangat tampak, namun tidak ada catatan sejarah Mbah Hasyim
memukul atau menyerang orang mabuk. Kita ditradisikan oleh guru-guru kita dalam
memberantas kemungkaran itu dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Kita lebih
memilih tradisi doa:
اللهم
اهد قومي فانهم لا يعلمون
Artinya: “Ya Allah, semoga Engkau beri
petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak tahu.”
Kiai-kiai bijak itu, sebagai orang alim,
bukan tidak mengerti bahwa kemungkaran harus diberantas. Namun, menurut sanad
perilaku memang metodologinya tidak dengan cara keras. Mungkin ini berbeda dari
kebanyakan orang Arab. Saat melihat kemungkaran, mereka bereaksi dengan cara
keras seketika. Jangankan kepada peminum, kepada sesama Muslim yang tidak
sealiran saja bisa saling bunuh. Yang terjadi, orang Sunni menghalalkan
darahnya orang Syi’ah, begitu pula sebaliknya. Kitab-kitab fiqih klasik
pesantren justru banyak mengomentari tentang kehalalan darah orang yang berbeda
aliran, tapi di Indonesia tidak dijalankan sebab tidak mempunyai tradisi atau
sanad menjalankan keterangan tersebut.
Gus Baha’ bercerita, “Kami kalau sedang
bertahajud, mengirim fatihah kepada para wali seperti Wali Songo dan lain
sebagainya. Kami ingat bahwa Islam mempunyai sumber utama Al-Qur’an dan hadits.
Namun kenyataan di lapangan tetap berimprovisasi atau berkembang sesuai
karakter siapa yang mendakwahkan Islam di satu tempat di mana Islam itu
berkembang.”
Di India pernah terjadi bentrok besar-besaran
pada masa Abu al-A’la al-Maududi di bawah kepemimpinan Muhammad Iqbal sehingga
India pisah dengan Pakistan dan selanjutnya Pakistan menjadi negara Islam. Hal
ini berawal karena konseptor negara Pakistan adalah orang-orang yang tidak
setuju dengan negara sekuler yang memisahkan diri dari India. Di kemudian hari,
akhirnya memang Pakistan menjadi negara Islam. Islam menjadi ideologi negara.
Di negara-negara Timur Tengah, formalisasi
Islam ke dalam negara lebih banyak menimbulkan kekacauan. Banyak orang Iran
yang berideologi Syiah menganggap darah orang Sunni halal. Begitu pula
sebaliknya di Irak. Irak di bawah kepemimpinan Sadam Husain, banyak orang Syiah
dan suku Kurdi dibantai. Era Saddam kalah, kelompoknya pun menjadi target
sasaran balik. Arab Saudi saat ingin menjadikan Wahabi sebagai ideologi negara,
secara besar-besaran mereka membuang orang Sunni. Begitu pula yang terjadi di
Sudan, Khortum, Dalfur, hingga Sayyid Qutub sebagai tokoh muslim populer, dan
meninggalnya bagaimana saja tidak jelas, padahal mereka ini Islam semua.
Berbeda mazhab bisa menjadikan saling bunuh. Masyarakat Indonesia paling tinggi
kelasnya, hanya berhenti sampai pada level polemik soal pendapat saja, tidak
lebih.
Kita harus bersyukur karena mempunyai tradisi
konflik terbaik di dunia. Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) di
Indonesia harusnya berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada para ulama kita
yang tidak sampai mentradisikan perang. Kalau kita lihat peran Ikhwanul Muslimin
di Mesir, mereka bisa memicu kekacauan yang luar biasa. Sebagai orang
pesantren, kita tahu banyak sejarah perselisihan pendapat, misalnya antara Kiai
Imam dengan Kiai Zubair, Kiai Maemun dengan kiai lain. Walaupun mereka berbeda
pandangan, paling keras hanya sampai pada level adu statemen dengan tamu-tamu
yang datang saja, tidak sampai ada pertumpahan darah. Itulah kenapa kita
menjadi punya “tradisi konflik” terbaik di dunia.
Kita lihat bagaimana orang NU marah pada saat
Gus Dur dilengserkan dari presiden. Tensi marah tertingginya orang NU, tidak
sampai menumpahkan darah. Dalam forum seminar mereka sudah duduk bersama lagi
dengan orang-orang yang dulu menggulingkan Gus Dur. Kita mendapati satu sejarah
bagaimana Ahmad Hasan berbeda dengan tokoh-tokoh NU, bagaimana pula bedanya Gus
Dur dengan Kiai As’ad Syamsul Arifin tentang asas tunggal Pancasila. Kita
saksikan mereka menyelesaikan masalah dengan beradab dibanding cara-cara
penyelesaian konflik seperti di Irak.
Dengan menjalin persaudaraan di bawah payung
Islam, orang-orang akan menjadi damai hatinya. Dalam Al-Qur’an
disebutkan:
وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Artinya: “Dan ingatlah kalian atas nikmat
Allah yang atas kalian saat kalian bermusuhan kemudian Allah mempersatukan
hatimu sehingga kalian menjadi bersaudara.” (QS Ali Imran: 103)
Ayat di atas menunjukkan, atas barakahnya
Islam, suku Auz dan Khazraj yang semula bermusuhan bisa berubah menjadi
bersaudara. Berbeda jika umat Islam masih saja perang atau konflik dalam
tubuhnya sendiri, akan mudah dicampurtangani oleh pihak luar, contohnya adalah
Perang Irak. Di sana orang Muslim Sunni dan Syiah bertempur, akhirnya Amerika,
Rusia ikut campur tangan.
Gus Baha’ kembali melanjutkan, “Di Indonesia
juga muncul kelompok-kelompok kecil yang sangat banyak. Namun seumpama Allah
bertanya kepada saya, saya jawab bahwa saya memilih NU. Bukan karena saya
oportunis. Namun, saya memilih yang paling besar ini supaya jika ada konflik,
pemetaannya mudah. Apabila setiap orang yang merasa benar sendiri kemudian
membuat kelompok sendiri-sendiri, maka tidak akan ada selesainya.” Oleh karena
itu, Rasulullah bersabda:
تَلْزَمُ
جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
Artinya: “Kamu harus selalu bersama kelompok
besarnya orang-orang Muslim dan imamnya.” (Muttafaq 'alaih)
Setiap orang perlu berkelompok dengan
mainstream. Melawan arus utama bisa berakibat konflik atau tidak bersaudara
(ikhwânâ). Mengapa Iran tidak mudah diintervensi atau diserang Amerika? Karena
mereka cenderung seragam (homogen), kompak, dengan basis identitas dominan
Syiah. Bagi musuh, melawan sebuah kekompakan itu merupakan perkara sulit. Arab
Saudi, walaupun awalnya bentrok dengan Sunni, tidak mudah diadu pihak luar
karena mereka seragam dengan Wahabi sebagai identitas Islamnya. Terlepas aqidah
mereka apa. Kenapa Indonesia itu aman? Karena ada NU dan Muhammadiyah yang
masih bersatu. Platform besar seperti ini lebih mudah kompak daripada lahir
faksi-faksi kecil baru yang sulit bersatunya.
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa kekuatan
negara tidak disebabkan alat perangnya yang canggih, tapi masyarakatnya yang
tidak bentrok (kompak). Seumpama Jawa yang mayoritas Muslim ingin mendirikan
negara Islam, orang NTT akan tersinggung, dan wajar jika mereka ingin
memisahkan diri dari Indonesia. Begitu pula Papua, Maluku, Ambon, dan lain
sebagainya. Apakah militer bisa mengatasi hal tersebut? Tidak bisa.
Dengan penjelasan Gus Baha’ di atas, dapat
kita tarik kesimpulan bahwa persatuan merupakan hal yang sangat penting
sehingga siapa saja yang ingin mengoyak Indonesia akan dapat dikalahkan dengan
persatuan masyarakatnya. []
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar